Kisah Sepasang Lansia di Gubuk Reyot Bantaeng

Suami-istri lanjut usia bahagia menikmati kehidupannya di sebuah gubuk reyot kawasan pesisir pantai Kabupaten Bantaeng.
Gubuk Sumiati yang terbuat dari kayu dan seng bekas, beralas pasir pantai di Kabupaten Bantaeng. (Foto: Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

Bantaeng - Suami-istri lanjut usia (lansia) tinggal di gubuk reyot, di pesisir pantai tak jauh dari pelabuhan Kecamatan Pajukukang, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Konon, bangunan lapuk itu berdiri tanah kosong yang bukan miliknya.

Sama sekali tidak layak. Gubuk itu terbuat dari susunan kayu lapuk dan seng bekas. Lantainya beralas pasir dan tempat tidurnya dari kayu. Di sanalah Abdul Ganing dan istrinya Sumiati menghabiskan hari tua.

Anak-anakku semua sudah menikah, saya juga sering diajak ke rumah mereka tapi saya lebih suka di sini.

Lokasi gubuknyo sekitar 50 meter dari jalan poros. Mereka tinggal tanpa tetangga. Gubuknya tanpa lantai, apalagi kursi hingga listrik. Tak terbayang dinginnya setiap malam dijamah angin malam.

Bagi nenek Sumiati, jauh dari hiruk pikuk kehidupan di masa tua adalah suratan takdir yang dipilihnya. Dia mengaku pernah ditawari rumah panggung yang lebih layak huni oleh Kepala Desa setempat, namun ia tolak.

"Biar kecil kalau kita bangun sendiri akan lebih nyaman," kata Sumiati sewaktu ditemui di kediamannya, Kamis, 30 April 2020.

Sumiati sudah terbiasa gelap tanpa cahaya listrik ditemani deburan ombak. Sumber cahayanya hanya dari sebuah lampu teplok. Sumiati dan suaminya sudah lama menyendiri jauh sebelum social distancing diterapkan di tengah wabah Covid-19.

Hanya sesekali ia ke luar ke keramaian, semisal jika kehabisan bahan pokok dan mengharuskannya ke warung. Paling tidak hanyak sekali atau dua kali seminggu.

Mereka hanya tinggal berdua. Empat orang anaknya tinggal di pemukiman lain dan masih dalam satu kampung.

"Anak-anakku semua sudah menikah, saya juga sering diajak ke rumah mereka tapi saya lebih suka di sini. Mereka selalu datang menjenguk, bawa sembako juga, kopi, sabun, gula," katanya.

nenekSumiati, warga pesisir Bantaeng yang tinggal di gubuk reyot beralas pasir pantai. (Foto: Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

Tak jarang ketika angin laut sedang tak bersahabat, kata Sumiati, ia dipaksa anak-anaknya meninggalkan gubuk. Namun, ia tetap kukuh memilih tetap di sana.

"Lubang-lubang pasir itu tempat tinggal kepiting kecil, orang sini bilang kanjara'. Biasanya kalau ke luar semua, banyak di sini mereka lalu lalang," kata Sumiati menunjuk kondisi di sekitar gubuknya.

Gubuk kecil berukuran sekitar 4x4 meter persegi itu disekat dua. Sekitar 3 meter dijadikan ruang dalam yang sekaligus tempat tidur dan dapur. Ruang luarnya digunakan sebagai teras dengan dipan bambu yang digunakan untuk menyimpan rumput-rumput laut yang menjadi sumber mata pencahariannya.

Untuk menyambung hidup, pasangan yang sudah beruban ini mengelola lahan rumput laut milik orang lain. Penghasilan yang mereka peroleh dari berumput laut setiap 40 hari atau saat masa panen berkisar Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu. Namun, beberapa terakhir harga rumput sangat tidak stabil.

"Kita punya lahan sendiri tapi tidak banyak, jadi tetap dikerjakan juga punya orang lain biar bisa mencukupi kebutuhan shari-hari," kata perempuan berusia 58 tahun itu.

Sambil melirik ke sisi kiri gubuknya. Tak jauh dari situ, suaminya berdiri sambil menarik empat ekor kambing yang masih sedang asik mengunyah rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar sana.

kakekKakek Abdul Ganing, menopang hidup dengan kerja serabutan sejak ia kehilangan pendengaran karena terjatuh dari ketinggian sembilan meter. (Foto: Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

Mereka ternyata juga memelihara kambing orang lain yang tak lain sanak saudaranya. Dia akan mendapat satu ekor kambing setiap induk melahirkan dua ekor. Sayang sekali, suaminya Ganing tak dapat bercakap banyak karena masalah pendengaran.

Menurut Sumiati, telinga suaminya bermasalah sejak kecelakaan kerja yang pernah dialaminya. Ganing pernah jatuh dari sebuah bangunan di ketinggian sembilan meter. Beruntung, nyawanya masih selamat meski ia harus kehilangan pendengarannya.

"Kejadiannya sekitar lima tahun lalu, bapak kerja bangunan lalu kecelakaan akhirnya berhenti karena sudah tidak mampu dan di sinilah kami sekarang," katanya.

Kondisi yang memprihatinkan itu ditelannya dalam-dalam. Ia tak menuntut siapa pun atas kejadian-kejadian yang menimpanya. Justru ia merasa nyaman menikmati kehidupan damai yang saat ini dijalaninya.

Tak ada gaduh yang harus ia pikirkan. Tentang corona, aturan-aturan pemerintah serta kabar warga yang terdampak juga ia tahu belum lama ini. Termasuk aktivitas kantor desa yang katanya sibuk mengatur sembako.

"Iya saya dengar juga tapi cukup tahu saja. Soal kebagian atau tidak ya itu saya pasrahkan. Kalau rezeki pasti dapat," katanya.

Tempat tidurnyaDipan kayu menjadi tempat tidur Sumiati dan suaminya, serta pelita minyak yang jadi sumber pencahayaan di gubuknya. (Foto: Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

Hingga saat ini, Sumiati tidak menerima sembako atau bantuan bagi warga terdampak Covid-19 dari pihak mana pun. Namun pantang pula baginya untuk datang ke kantor desa dan menuntut hak. Ia merasa terlalu tua jika harus pusing untuk hal-hal duniawi seperti itu. []



Berita terkait
Cara Baru Jualan di Pasar Saat Pandemi Covid-19
Manusia makhluk berakal selalu temukan cara bertahan hidup di tengah pandemi Covid-19. Termasuk para pedagang di pasar, berjualan dengan cara aman.
Es Degan Pak Ambon, dari Krismon ke Pandemi Covid-19
Es degan Pak Ambon menjadi bukti usaha kecil di Semarang yang mampu melewati tantangan krismon 1998 hingga pandemi Covid-19.
Sepinya Masjid Ramadan Tahun Ini
Di tengah pandemi Covid-19, sejumlah kegiatan rutin masjid di Yogyakarta saat Ramadan tak terlihat lagi keramaian warga.