Kisah Selamatnya Atlet Paralayang Jember di Palu

"Apabila saat itu saya punya uang banyak dan memilih menginap di Hotel Roa-Roa, mungkin saya sudah tidak punya harapan untuk hidup," ujar Wahyudi.
Presiden Joko Widodo didampingi Menteri PUPR Basuki Hadimuljono (kiri) meninjau proses evakuasi korban gempa dan tsunami di Hotel Roa Roa, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (3/10/2018). Presiden kembali mengunjungi Palu untuk memastikan perkembangan pencarian korban dan penanganan korban luka, distribusi logistik, perbaikan jaringan listrik serta penyaluran bahan bakar minyak. (Foto: Antara/Puspa Perwitasari)

Tidak menyangka kompetisi untuk meraih prestasi berakhir menjadi tragedi yang memilukan. Inilah yang dialami atlet paralayang yang bertanding dalam "Open Paragliding Nomoni" yang menjadi bagian dari Festival Pesona Palu Nomoni 2018.

Kompetisi kejuaraan paragliding berlangsung pada 25-30 September 2018, diikuti oleh 34 atlet paralayang dari dalam negeri dan luar negeri. Namun, bencana gempa bumi 7,4 SR disertai tsunami mengguncang Sulawesi Tengah pada 28 September 2018, kejuaraan pun terhenti dengan sendirinya.

Wahyudi Widodo, atlet paralayang Jawa Timur yang tinggal di Kabupaten Jember dan Bondowoso, selamat dari gempa bumi dan tsunami, sehingga tak henti-hentinya dia mengucapkan rasa syukur karena selamat dari maut.

Mantan jurnalis Radar Jember yang menjadi atlet itu datang ke Kota Palu bersama rombongan kontingen paralayang dari Jawa Timur. Mereka tiba di Palu pada Senin (24/9) malam, empat hari sebelum terjadi gempa bumi dan tsunami yang menghancurkan.

Wahyudi bersama sejumlah atlet menginap di Borneo guest house, jaraknya sekitar 1 kilometer dari bibir pantai karena keterbatasan dana yang dimiliki. Sejumlah atlet yang memiliki uang lebih memilih menginap di Hotel Roa-Roa yang berada di tepi pantai.

Awalnya Wahyudi sempat ingin menginap di Hotel Roa-Roa lantaran beberapa atlet menginap di sana. Namun uang saku yang menipis dan pertimbangan keuangan lainnya, akhirnya bersama rekan-rekannya dia menginap di "guest house" yang harga sewanya lebih terjangkau.

Wahyudi juga tidak membayangkan apabila jadi menginap di Hotel Roa-Roa yang kini ambruk akibat gempa bumi berkekuatan 7,4 SR. Bahkan, sebagian atlet paralayang yang menginap di sana tertimbun reruntuhan bangunan hotel dan baru ditemukan beberapa hari kemudian pasca-gempa.

EVAKUASI KORBAN HOTEL ROA-ROA PALUSejumlah anggota Basarnas dan TNI melakukan evakuasi korban gempa di Hotel Roa-Roa, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (4/10/2018). Memasuki enam hari tim evakuasi sudah menemukan korban jiwa sebanyak 23 orang. (Foto: Antara/Akbar Tado)

"Apabila saat itu saya punya uang banyak dan memilih menginap di Hotel Roa-Roa, mungkin saya sudah tidak punya harapan untuk hidup karena bangunan hotel ambruk dan sebagian penghuni hotel tertimbun di sana," ujar Wahyudi.

Gempa bumi terjadi saat sejumlah atlet paralayang yang menginap di Borneo guest house sedang bersantai. Sore hari menjelang magrib tiba-tiba semua barang-barang bergerak hingga dinding pembatas rumah penginapan itu ambruk. Terdengar teriakan di sana-sini.

Getaran gempa yang semakin kuat menyebabkan para atlet yang menginap di Borneo guest house dan warga sekitar sulit untuk berdiri tegak. Bahkan mereka jatuh berguling-guling akibat getaran yang sangat kuat.

Semuanya panik berhamburan keluar dan lari ke jalan menyelamatkan diri. Beberapa warga terluka di sepanjang jalan dan beruntung ada mobil pikap panitia "Open Paragliding Nomoni" di sekitar penginapan yang mereka gunakan untuk menyelamatkan diri.

Mengendarai mobil pikap itu, sejumlah atlet paralayang domestik dan luar negeri terus mencari jalan menjauhi laut karena khawatir gempa bumi berpotensi tsunami tersebut "menyapu" semua yang ada di dekat pantai.

Menurut Wahyudi, tidak mudah mencari jalan menyelamatkan diri, banyak jalan beraspal mengelupas hingga retak. Tiang listrik roboh di mana-mana. Listrik padam hingga gelap gulita. Reruntuhan bangunan berserakan di mana-mana, bahkan ribuan warga berhamburan di jalanan untuk menyelamatkan diri.

Rombongan atlet itu juga sempat mengevakuasi anak-anak dan orang lanjut usia (lansia) yang berlarian di jalanan menyelamatkan diri dengan naik mobil pikap. Terbayang ancaman tsunami mengingat lokasi mereka tidak jauh dari pantai.

Wahyudi bersama sejumlah atlet paralayang terus mencari lokasi yang dirasa aman untuk istirahat. Bahkan sempat berpindah-pindah mencari lokasi yang benar-benar aman dan baru berkirim kabar kepada keluarganya kalau selamat dari bencana gempa bumi dan tsunami itu.

Wahyudi sempat meminjam telepon salah seorang warga untuk menghubungi keluarganya karena sinyal di telepon genggamnya tidak ada. Kemudian keesokan harinya seluruh atlet paralayang yang selamat dievakuasi ke Makassar pada Sabtu (29/9).

Rekan atlet paralayang yang mengalami luka-luka akibat reruntuhan bangunan mendapat perawatan di Makassar. Seluruh atlet paralayang asal Jawa Timur yang selamat kemudian diterbangkan ke Bandara Abdurrahman Saleh Malang pada Minggu (30/9).

Namun ada dua rekan atlet paralayang Jatim yang menjadi korban, yakni Ardi Kurniawan dan Serda Fahmi Risky yang berkunjung ke Hotel Roa-Roa saat terjadi gempa bumi. Setelah kedua jenazah atlet ditemukan, diterbangkan menuju Malang pada Sabtu (6/10).

EVAKUASI KORBAN RERUNTUHAN HOTEL ROA-ROATim SAR mengevakuasi seorang korban dari reruntuhan di Hotel Roaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (1/10/2018). Menurut General Manager Hotel Roaroa, jumlah tamu yang menginap di hotel berlantai tujuh tersebut sebanyak 160 orang yang sebagian besarnya adalah atlet paralayang dari berbagai daerah, termasuk dari luar negeri, peserta Kejuaraan Paralayang Terbuka Indonesia. (Foto: Ant/Basri Marzuki)

Wahyudi mengaku masih trauma dengan gempa bumi dan tsunami yang dialaminya di Kota Palu. Bahkan saat melihat tayangan televisi terkait bencana di Sulawesi Tengah itu, ia masih teringat saat kepanikan dan suasana menyelamatkan diri saat gempa bumi.

Parasut dan perlengkapan paralayang para atlet hilang tersapu tsunami dan kabarnya ditemukan pada Senin (8/10). Mengenai soal trauma, dia mengaku perlahan-lahan mulai berkurang dan kini lebih mendekatkan diri dengan Allah SWT.

Kengerian gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Sulawesi Tengah membuat Wahyudi sadar bahwa manusia harus selalu bersyukur apa pun kondisinya. Harta yang melimpah tidak akan berarti ketika ajal menjemput.

"Kejadian gempa bumi yang saya alami seperti kiamat saja, kemudian saya sadar bahwa harta benda duniawi hanya bersifat sementara. Namun begitu juga sebaliknya, apa pun kondisinya saat susah, harus tetap bersyukur karena kita diberi nikmat untuk hidup," ucap pria yang pernah tinggal di Kabupaten Jember itu.

Mantan jurnalis itu mengaku tidak trauma untuk tetap mengikuti kejuaraan paralayang yang digelar di sejumlah daerah di Indonesia karena rahasia hidup dan mati seseorang hanya Tuhan yang tahu. Dia siap berangkat untuk berkompetisi ketika diberi kesempatan untuk meraih prestasi di sejumlah kejuaraan paralayang.

Korban Asal Jember

Data Pusat Pengendali Operasi (Pusdalop) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jember mencatat, sebanyak 100 korban bencana gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah merupakan warga Jember, baik yang selamat, belum ditemukan, dan meninggal dunia.

Anggota Pusdalops BPBD Jember Rezha Pratama mengatakan, sebanyak 20 warga asal Jember yang tinggal di Kota Palu dan Kabupaten Donggala masih belum ditemukan berdasarkan laporan keluarganya yang melaporkan kepada BPBD Jember.

Kemudian korban selamat tercatat sebanyak 57 warga. Dua korban mengalami luka-luka atas nama Dartik yang dirawat di RS Undata Kota Palu dan Lia Ratna yang mengalami luka ringan. Sedangkan tiga korban meninggal, dunia yakni pasangan suami istri Sulaiman dan Zubaidah yang merupakan warga Kecamatan Balung, serta Indah Dwi Wahyuni yang merupakan warga Kecamatan Ambulu.

Menurut Rezha, BPBD Jember juga mendapat laporan sebanyak 18 warga Jember yang sudah pulang ke kampung halamannya di beberapa kecamatan, di antaranya warga Kecamatan Panti, Mumbulsari, dan Puger.

BPBD Jember terus memperbarui data warga Jember yang menjadi korban gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah, baik yang selamat, belum ditemukan, dan meninggal dunia.

Sementara itu, Bupati Jember Faida juga memberikan perhatian kepada korban gempa bumi dan tsunami yang sudah dipulangkan ke Kabupaten Jember dengan berkunjung ke rumah mereka untuk memastikan warganya selamat dan dalam kondisi sehat.

Bupati perempuan pertama di Jember itu mengunjungi rumah korban yang berada di Desa Lampeji, Kecamatan Mumbulsari, pada Senin (8/10) malam.

Dalam upaya pemulangan korban gempa bumi tersebut, Pemerintah Kabupaten Jember bisa membantu menjemput dari Surabaya menuju Jember karena evakuasi warga dari Palu ke Surabaya dilakukan secara kolektif yang diikuti oleh warga dari berbagai daerah.

"Mereka mengaku masih trauma dan sementara ini belum ingin merantau, sehingga dengan pembangunan di Jember yang dipadatkaryakan, baik menggunakan anggaran dari pusat maupun dari daerah, maka bisa memberikan lapangan pekerjaan kepada mereka," kata Faida.

Faida berharap, para korban bencana gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah itu memiliki kesempatan untuk membangun Jember bersama-sama. (Zumrotun Solichah/ant)

Berita terkait
0
Menkeu AS dan Deputi PM Kanada Bahas Inflasi dan Efek Perang di Ukraina
Yellen bertemu dengan Freeland dan janjikan kerja sama berbagai hal mulai dari sanksi terhadap Rusia hingga peningkatan produksi energi