Kisah Mencekam Empat Sopir Ambulans

Mengantar jenazah ke tempat pemakaman, dan perjalanan jauh menuju keluarga di luar kota, ini kisah mencekam empat sopir ambulans.
Ambulans di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional di Cawang Jakarta Timur, Rabu siang, 10 Juli 2019. (Foto: Tagar/Moh Irkhamni)

Jakarta - Siang itu mentari sedang panas-panasnya di atas Rumah Sakit Pusat Otak Nasional di kawasan Jakarta Timur. Di parkiran bagian belakang, seorang pria berkemeja coklat bergaris putih-putih, memegang kemoceng, membersihkan ambulans.

Namanya Rodie, 30 tahun. Ia seorang sopir ambulans. Baru enam bulan bekerja di rumah sakit tersebut. 

"Saya dari kampung, Mas. Baru enam bulan ini bekerja sebagai sopir di sini," kata Rodie saat ditemui Tagar, Rabu, 10 Juli 2019.

Ia berasal dari Desa Cimunding, Kecamatan Banjarharjo, Kabupaten Brebes.

"Sebelum jadi sopir ambulans, kerjaan apa saja aku lakukan, Mas. Dari bekerja di pabrik spare part motor, hingga berdagang," ujar Rodie. Karena mendapat kesempatan pekerjaan dengan gaji lebih tinggi, ia memutuskan pindah ke Jakarta.

Sopir AmbulansRodie 30 tahun, sopir ambulans Rumah Sakit Pusat Otak Nasional di Cawang, Jakarta Timur. (Foto: Dok Pribadi)

Ambulans, kendaraan ini kerap dipandang seram oleh banyak orang, tetapi tidak dengan Rodie. Ia mengaku menikmati pekerjaannya ini, walau kadang terjadi hal-hal yang tidak mengenakkan.

"Dari suara orang menangis, hingga orang ketawa, Mas. Tetapi itu gak pas di mobil ambulans, tetapi pas mau pulang ke rumah," tutur Rodie tentang hal-hal yang ia maksud tidak mengenakkan itu.

Walaupun demikian, ia menganggap itu hal wajar. Mungkin karena sudah terbiasa. Kalau belum, pasti bulu kuduk sudah berdiri, hingga lari.

Bapak dua anak ini mensyukuri pekerjaannya. "Karena pekerjaan ini sangat mulia. Bisa membantu orang yang membutuhkan, Mas," katanya dengan seulas senyum di bibir.

Prasutyo, 24 Tahun

Seperti Rodie, Prasutyo juga bekerja di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional. Ia sopir ambulans khusus jenazah.

Siang itu pukul 12.00 waktu istirahat. Pemuda berbaju biru lengan pendek itu duduk santai sembari memegang ponsel, tidak jauh dari mobil ambulans. Wajahnya tampak lebih tua dari usianya. Tubuhnya gempal, kulitnya coklat sawo matang. 

Sopir AmbulansPrasutyo 24 tahun, sopir ambulans di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional di Cawang, Jakarta Timur, Rabu siang, 10 Juli 2019. (Foto: Tagar/Moh Irkhamni)

"Saya lagi santai-santai ini, Mas. Nungguin pasien meninggal," kata Prasutyo.

"Saya sudah lama di sini, dari tahun 2015. Sekarang saya sudah menjadi karyawan tetap, Mas. Alhamdulillah," ujar Prasutyo. 

Sebelum menjadi sopir ambulans, Prasutyo bekerja di Dinas Kebersihan selama 4 tahun, dari 2010 hingga 2014.

Selama menjadi sopir ambulans, ia mengaku telah melewati banyak pengalaman.

"Pengalaman yang tak pernah terlupakan waktu itu pas pengiriman jenazah ke luar kota, Mas, dari Kediri, Ponorogo, Bojonegoro, hingga Gresik," kata Prasutyo.

"Kalau ada hal-hal yang aneh itu sudah biasa, Mas. Sudah gak takut lagi," ujarnya. 

Prasutyo selain bekerja di RS Pusat Otak Nasional, juga bekerja di RS Melia Cibubur dengan profesi yang sama. 

“Karena Rumah Sakit Pusat Otak Nasional dan Rumah Sakit Melia Cibubur itu satu cabang, Mas,” kata Prasutyo.

Abdul Rachman 48 Tahun, dan Hendra 49 Tahun

Embusan angin malam itu membuat dingin di sekitar Rumah Sakit Premier Jatinegara, Jakarta Timur. Pancaran lampu dari segala penjuru memercikkan keindahan tersendiri, menyamarkan polusi yang beterbangan ke udara.

Dari kejauhan terlihat ambulans di depan gedung Instalasi Gawat Darurat.

Abdul Rachman 48 tahun, sopir ambulans itu. Ia memakai seragam berwarna biru dan sepatu hitam. Ia sibuk dengan pulpen dan kertas di tangan.

“Aku sedang menata nota perjalanan, Mas, agar gak hilang. Karena seminggu sekali nota ini harus dikumpulkan di bagian keuangan,” kata Abdul Rachman.

Menjadi sopir ambulans selama 10 tahun, ia termasuk senior di kalangan sopir ambulans Rumah Sakit Premier.

“Aku masuk jam 2 siang, Mas. Pulang jam 9 malam. Hari ini dapat shift siang, jadi bisa berkumpul sama keluarga,” katanya.

Ia mengatakan rumah sakit ini mempunyai tiga sopir ambulans, dibagi 3 shift. Pagi, siang, dan malam.

Delapan jam kerja dalam sehari ia anggap cukup singkat. D luar jam kerja, ia menjalani pekerjaan lain untuk mencari pundi-pundi tambahan. Dari sopir panggilan, hingga jadi pengemudi ojek online

“Alhamdulillah, Mas. Pokoknya luamayanlah,” ujarnya.

Sopir AmbulansAbdul Rachman 48 tahun, dan Hendra 49 tahun, sopir ambulans di Rumah Sakit Premier Jatinegara, Jakarta Timur, Rabu malam, 10 Juli 2019. (Foto: Tagar/Moh Irkhamni)

Menjadi sopir ambulans selama 10 tahun, tentu kaya pengalaman. Entah itu mengerikan, mendebarkan hingga menyenangkan. 

“Selama pas di perjalanan, aku tak pernah mengalami hal mistis, Mas. Mungkin pas tidur di mobil aja aku di-mimpiin. Selebihnya gak pernah,” kata Abdul Rachman.

“Mobil ambulans kalau di jalan, bebas hambatan, dihargai di jalan, macet dikasih jalan,” katanya tentang hal yang menyenangkan.

Ia juga bisa kesal.

“Terkadang kami juga kesel, sudah melayani sebaik mungkin, tetapi masih ada saja dari pihak keluarga pasien yang mengkomplain kinerja kami. Entah itu katanya kalau jalan goyang-goyang. Kan semua jalan gak sama, ada yang mulus dan juga ada yang berlubang,” ujarnya.

Tak berselang lama, teman satu profesi Abdul Rachman sesama sopir ambulans datang. Seorang pria berbadan gempal dengan kaos lengan panjang. Hendra namanya, 49 tahun usianya.

Hendra ternyata lebih senior dari Abdul Rachman. Sudah 15 tahun bekerja sebagai sopir ambulans di rumah sakit ini.

Ia masuk ke dalam ambulans. Begitu keluar, kostumnya sudah berganti seragam berwarna biru dongker.

Waktu menunjukkan pukul 21.00. Artinya jam kerja Abdul Rachman telah usai. Sementara Hendra baru mulai.

“Aku balik dulu ya, Ndra,” teriak Abdul kepada Hendra.

Hendra antusias saat ditanya peristiwa mendebarkan yang ia pernah alami. 

“Oh ia, Mas. Waktu itu sehabis nganterin jenazah pulang ke rumahnya, aku di-liatin bayangan putih. Kayak semacam pocong, terbang di sebelah kanan kaca mobil. Aku mencoba untuk tenang dan tidak panik,” kata Hendra.

Profesi sebagai sopir ambulans mendorongnya untuk bersikap tenang, sabar, dan berhati-hati dalam menjalankan tugas. Risiko harus siap ia terima dalam kondisi apa pun di lapangan.

Ia menjalani profesi sopir ambulans dengan segenap jiwa raga, dari mula sistem kontrak hingga menjadi karyawan tetap.

Seperti Abdul Rachman, Hendra juga punya pekerjaan sampingan.

“Selain sopir ambulans, di rumah saya juga mengerjakan pembuatan taman, Mas,” kata Hendra. []

Tulisan feature lain:

Berita terkait