Kisah Heroik Anak Muda di Balik Gedung Tua di Tepi Jalan

Kisah heroik anak muda di balik gedung tua di tepi Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.
oke deh

Jakarta, (Tagar 28/10/2018) - Gedung tua di tepi jalan itu sama sekali tidak menarik perhatian, apalagi di tengah keramaian Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.

Bila tidak ada papan nama atau penanda bertuliskan Museum Sumpah Pemuda, barangkali tidak akan ada yang menyadari keberadaan bangunan tua itu.

Museum Sumpah Pemuda merupakan satu di antara puluhan museum yang ada di Jakarta. 

Sebagai ibu kota negara dan pusat perjuangan merebut kemerdekaan, Jakarta memiliki banyak gedung bersejarah yang kemudian ditetapkan sebagai museum.

Tak sulit menemukan Museum Sumpah Pemuda. Dari Kampus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, berjalan ke arah utara menuju Pasar Senen. Museum itu terletak sebelum kampus STIE YAI.

Di gedung bersejarah itu, 90 tahun silam, berbagai organisasi pemuda Indonesia bersepakat untuk mengadakan kongres kedua. Salah satu putusan yang muncul adalah kesepakatan untuk bersumpah satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa.

"Kongres Pemuda II diadakan selama dua hari di tiga tempat yang berbeda. Rapat ketiga di hari kedua baru diadakan di gedung ini," kata Edukator Museum Sumpah Pemuda Dwi Nurdadi mengutip kantor berita Antara.

Kongres Pemuda II dimulai pada Sabtu, 27 Oktober 1928. Pembukaan dan rapat pertama diadakan di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB) yang saat ini berada di kawasan Lapangan Banteng dan digunakan sebagai sekolah Santa Ursula.

Pada Minggu, 28 Oktober 1928, diadakan rapat kedua di Gedung Oost-Java Bioscoop yang berada di jalan yang kini disebut Jalan Medan Merdeka Utara. Sayang, bangunan tersebut sudah tidak ada jejaknya.

Baru rapat ketiga diadakan di bangunan yang kini disebut Museum Sumpah Pemuda. "Gedung Museum Sumpah Pemuda ini dulu adalah rumah pemondokan mahasiswa milik seorang Tionghoa bernama Sie Kong Liong," kata Dwi.

Suasana Museum 

Memasuki ruang pertama museum itu, pengunjung akan disambut patung tiga pemuda seukuran manusia dewasa. Dua di antara patung itu duduk di kursi kayu, mengelilingi meja berbentuk bundar, sedangkan satu patung dalam posisi berdiri.

Bila diamati, ketiga patung pemuda yang ada di ruangan itu terlihat sedang belajar atau berdiskusi, sesuai dengan latar belakang gedung yang merupakan pemondokan pemuda pelajar.

Belok kiri memasuki ruangan berikutnya, pengunjung akan mendapat penjelasan mengenai organisasi pemuda sebelum Sumpah Pemuda. Organisasi pemuda seperti Jong Java, Pemuda Kaum Betawi, Jong Sumatranen Bond dan Jong Islamieten Bond merupakan pelopor persatuan Indonesia.

Memasuki ruangan berikutnya, terlihat patung seorang pemuda yang sedang duduk di kursi kayu sambil  mendengarkan radio. Di ruangan itu, pengunjung akan mendapat penjelasan mengenai Kongres Pemuda I pada 30 April 1926 di Gedung Vrijmetselaarsloge, Jalan Budi Utomo.

Bertindak sebagai ketua Kongres Pemuda I adalah Mohammad Tabrani, ketua Jong Java saat itu.

Suasana Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda bisa didapatkan di ruang utama. Di ruangan itu, pengunjung bisa melihat patung enam pemuda duduk di meja panjang, menyaksikan WR Supratman memainkan lagu Indonesia Raya dengan biolanya.

"Patung-patung ini hanya diorama. Yang bisa dikenali hanya patung WR Supratman yang sedang memainkan biola," kata Dwi.

Di ruangan itu juga terdapat prasasti putusan Kongres Pemuda II yang mengemukakan kesepakatan untuk berbangsa satu, bertanah air satu dan menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Dalam putusan kongres itu disebutkan organisasi pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Islamieten, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemuda Kaum Betawi dan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia memiliki persamaan kemauan, sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan dan kepanduan.

Kongres Pemuda II juga mengeluarkan putusan, asas berbangsa satu, bertanah air satu dan menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan wajib dipakai seluruh perkumpulan kebangsaan Indonesia.

Pemuda IndonesiaIlustrasi pemuda Indonesia | Pengunjung mengamati koleksi yang dipajang di Museum Sumpah Pemuda, Jakarta, Jumat (26/10/2018). Masyarakat ramai mengunjungi museum ini menjelang peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-90 yang jatuh pada Minggu 28 Oktober 2018. (Foto: Antara/Rivan Awal Lingga)

Sejarah Bangunan 

Menurut Buku Panduan Museum Sumpah Pemuda (2018), seiring dengan pendirian sekolah-sekolah di kota-kota besar di Jawa pada permulaan abad XX, muncul kebutuhan akan pemondokan bagi pelajar dan mahasiswa pendatang.

Karena asrama di sekolah-sekolah tidak bisa menampung seluruh pelajar dan mahasiswa yang datang untuk belajar, mulai muncul rumah-rumah keluarga yang diubah menjadi rumah pemondokan.

Pemondokan pelajar yang terletak di Jalan Kramat 106 itu terdiri dari dua bangunan. Bangunan utama digunakan sebagai kamar, berdiskusi, membaca, kegiatan kesenian dan bermain biliar; sedangkan bangunan lain berupa kamar-kamar.

Gedung Kramat 106 mula-mula menjadi tempat pemondokan bagi anggota "Jong Java" yang sebelumnya menyewa bangunan di Jalan Kwitang 3 yang dirasa sudah terlalu sempit.

Oleh Jong Java, bangunan milik Sie Kong Liong itu kemudian dinamai "Langen Siswo". Selain untuk pemondokan, bangunan itu juga untuk latihan kesenian dan diskusi politik.

Sejak 1926, penghuni gedung Kramat 106 bukan hanya dari "Jong Java" tetapi mulai beragam seperti Amir Sjarifuddin, Muhammad Yamin, Assaat, dan lain-lain.

Karena keberagaman penghuni, para pelajar dan mahasiswa mulai mendiskusikan konsep persatuan nasional. Kegiatan di pemondokan itu juga mulai beragam, bukan hanya kesenian dari satu suku saja melainkan juga kepanduan dan olahraga.

September 1926, para mahasiswa yang tinggal di gedung Kramat 106 mendirikan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI). Gedung Kramat 106 menjadi pusat kegiatan mereka.

Menurut R Katjasungkana, seorang pelajar yang pernah tinggal di Kramat 106, dalam "Jejak Langkah Pergerakan R Katjasungkana" (2015) terbitan Museum Sumpah Pemuda, sebelum 1926 pemondokan itu dikelola oleh seorang nyonya Belanda yang mengurusi makanan para penghuninya.

Baru pada 1926, nyonya Belanda itu tidak lagi mengelola pemondokan itu, sehingga para pelajar dan mahasiswa kemudian menunjuk seseorang untuk mengurusi makanan.

Dalam Buku Panduan Museum Sumpah Pemuda, pengurus tersebut disebut bernama Bang Salim bersama seorang pemuda yang biasa dipanggil "si Bujang". Para pelajar membayar biaya makan 7,5 gulden setiap bulan sedangkan pembayaran kamar langsung kepada Sie Kong Liong.

Katjasungkana menuturkan, baru pada 1927 atau 1928, gedung Kramat 106 berganti nama dari "Langen Siswo" menjadi "Indonesisch Clubhuis" atau "Indonesisch Clubgebouw" yang disingkat "IC".

Setelah Sumpah Pemuda Dalam buku "Peranan Gedung Kramat Raya 106 dalam Melahirkan Sumpah Pemuda" (1996) terbitan Museum Sumpah Pemuda, sebagai bentuk realisasi Sumpah Pemuda, para pelajar dan mahasiswa mengadakan pementasan drama "Ken Arok dan Ken Dedes" setelah Kongres Pemuda II.

Naskah drama itu ditulis oleh Muhammad Yamin, disutradarai Roesmali, dengan pengatur musik Purbatajaraka dan koreografer IndroSugondo.

Latihan drama dilakukan di IC, sedangkan pementasan diadakan di Gedung Komedi, Pasar Baru yang saat ini disebut Gedung Kesenian Jakarta.

Pementasan drama juga dilakukan di Solo dan Yogyakarta untuk mempopulerkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Meskipun musik dan tariannya berasal dari Jawa, tetapi dialog drama menggunakan bahasa Indonesia.

Riwayat gedung Kramat 106 sebagai IC dapat ditelusuri hingga 1934. Saat itu, pembayaran sewa pemondokan kepada Sie Kong Liong mulai tidak tertib karena anggota-anggotanya tidak membayar.

Utang sewa pemondokan itu semakin bertumpuk, hingga kemudian Sie Kong Liong datang menemui Roesmali yang saat itu menjadi ketua IC. Sie Kong Liong meminta Roesmali menandatangani pernyataan bahwa IC memiliki utang sewa.

Surat pernyataan itu kemudian Sie Kong Liong bawa ke pengadilan sehingga pengurus IC dipanggil ke pengadilan. Atas hal itu, Roesmali sempat diomeli oleh kawan-kawannya seperti Muhammad Yamin, Assaat, Amir Sjarifuddin dan Surjadi.

Dalam sidang di pengadilan, IC ternyata mendapat kemenangan berkat kelihaian Muhammad Yamin dan Amir Sjarifuddin sebagai pengacara. Merasa tidak puas Sie Kong Liong kemudian mengajukan banding.

Menghadapi upaya banding itu, Yamin dan Sjarifuddin menyarankan agar pengurus IC tidak usah menghadiri sidang dan berusaha menghindar.

Roesmali kemudian pulang ke Sumatera, sedangkan anggota-anggota dan pengurus lainnya bersembunyi di berbagai tempat.

Sejak itu, IC pun membubarkan diri di Kramat 106, meskipun para anggotanya tidak membekukan diri dan mengalihkan kegiatan mereka di tempat lain.

Gedung Kramat 106 kemudian sempat disewakan ke beberapa orang lain dan digunakan untuk berbagai hal mulai dari toko bunga, hotel hingga kantor bea cukai pada masa kemerdekaan.

Namun akhirnya gedung tua di Jalan Kramat Raya no 106 yang pernah menjadi saksi para pemuda Indonesia di masa lalu dalam memperjuangkan persatuan itu berhasil dijadikan sebagai Museum Sumpah Pemuda hingga sekarang. []

Berita terkait