Jakarta - Kabar duka menyambangi dunia sastra Tanah Air, penyair senior Sapardi Djoko Damono meninggal dunia pada Minggu pagi, 19 Juli 2020. Sapardi mengembuskan napas terakhir dalam usia 80 tahun di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan.
"Telah meninggal dunia dengan tenang, Prof. dr. Sapardi Djoko Damono di EKA Hospital BSD, Tangerang Selatan pada hari ini 19 Juli 2020, pukul 09.17 WIB," kata pihak keluarga melalui pesan singkat kepada Tagar, Minggu, 19 Juli 2020.
Sapardi Djoko Damono seorang akademisi sekaligus sastrawan ternama di Indonesia. Berkat kerja kerasnya, sederet karya ia ciptakan. Tak sedikit penghargaan dikantonginya berkat perannya di bidang sastra.
Pria yang lahir di Ngadijayam, Solo, Jawa Tengah ini merupakan anak dari pasangan suami istri Sadyoko dan Saparian.
Sapardi Djoko Damono lahir dari pasangan suami istri bernama Sadyoko dan Saparian pada tanggal 20 Maret 1940 di Ngadijayam, Solo, Jawa Tengah. Dirinya menjadi anak sulung dari dua bersaudara.
Anang sulung dari dua bersudara ini menghabiskan masa kecilnya dengan mengenyam bangku pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) Kraton Kasatriyan, Baluwarti, Solo. Ia melanjutkan jenjang akademinya di SMP Negeri II Solo, lalu ke SMA Negeri 2 Surakarta pada 1958.
Selepas masa sekolahnya, Sapardi kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Ia mengambil jurusan Sastra Inggris. Sapardi meraih gelar doktornya di Universitas Indonesia dengan jurusan Ilmu Sastra pada tahun 1989. Disertasinya kala itu ia mengangkat tema Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur.
Pada tahun 1964-1968, Sapardi menjadi sosen tetap sekaligus Ketua Jurusan Bahasa Inggris di IKIP Malang cabang Madiun, Jawa Timur. Setelah itu, ia diangkat sebagai dosen tetap di Fakultas Sastra Budaya Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, dari tahun 1968-1973.
Memasuki tahun 1974, Sapardi mulai bekerja sebagai dosen tetap di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia alias UI, Jurusan Sastra Indonesia. Bahkan di fakultas dan universitas yang sama, ia menjabat sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Sastra UI dari tahun 1979-1982, lalu diangkat sebagai Pembantu Dekan I pada 1982-1996 dan akhirnya menjabat Dekan pada 1996-1999.
Selain mengajar sebagai dosen di beberapa kampus Indonesia, Sapardi juga aktif di berbagai lembaga seni dan sastra dari tahun 1970-1980an, menjadi Direktur Pelaksana Yayasan Indonesia Jakarta dari tahun 1973-1980, anggota redaksi majalah sastra Horison pada tahun 1973.
Selanjutnya Sekretaris Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin pada 1975, anggota Dewan Kesenian Jakarta dari 1077-1979, anggota redaksi majalah Pembinaan Bahasa Indonesia, Jakarta pada 1983, anggota Badan Pertimbangan Perbukuan Balai Pustaka Jakarta pada 1987.
Sejak tahun 1978, Sapardi menjabat sebagai Country Editor majalah Tenggara Journal of Southeast Asian Literature, Kuala Lumpur. Dirinya juga tercatat sebagai anggota penyusun Anthropology of Asean Literature, COCI, ASEAN, tahun 1982. Tahun 1988 ia juga menjadi panelis dalam Discussion dan sebagai anggota Komite Pendiri Asean Poetry Centre di Bharat Bhavan, Bhopal, India.
Pada tahun 1995, Sapardi akhirnya dikukuhkan sebagai guru besar di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.
Tahun 2005, Sapardi memasuki masa pensiun sebagai guru besar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Namun, ia masih diberikan tugas sebagai promotor konsultan dan penguji di sejumlah perguruan tinggi, termasuk menjadi konsultan Badan Bahasa.
Pertemuan Internasional
Sapardi juga kerap hadir dalam berbagai pertemuan internasional guna mendukung pengembangan karirnya sebagai sastrawan. Ia tercatat pernah menghadiri Tranlation Workshop dan Poetry International, Rotterdam, Belanda, tahun 1971.
Pada tahun 1978, Sapardi kembali hadir di Seminar on Literature and Social Change in Asia di Australia National University, Canberra, sebagai penulis dalam Festival Seni di Adelaide. Pada tahun yang sama ia mengikuti Bienale International de Poesie di Knokke-Heusit, Belgia.
Kumpulan Puisi Fenomenal Sapardi Djoko Damono
1. Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
2. Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
3. Kuhentikan Hujan
Kuhentikan hujan
Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan
Ada yang berdenyut dalam diriku
Menembus tanah basah
Dendam yang dihamilkan hujan
Dan cahaya matahari
Tak bisa kutolak
Matahari memaksaku menciptakan bunga-bunga
4. Yang Fana Adalah Waktu
Yang fana adalah waktu. Kita abadi
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu
Kita abadi
5. Hatiku Selembar Daun
Hatiku selembar daun
melayang jatuh di rumput
Nanti dulu
biarkan aku sejenak terbaring di sini
ada yang masih ingin kupandang
yang selama ini senantiasa luput
Sesaat adalah abadi
sebelum kausapu tamanmu setiap pagi
6. Ruang Tunggu
Ada yang terasa sakit
di pusat perutnya
Ia pun pergi ke dokter
belum ada seorang pun di ruang tunggu
Beberapa bangku panjang yang kosong
tak juga mengundangnya duduk
Ia pun mondar-mandir saja
menunggu dokter memanggilnya
Namun mendadak seperti didengarnya
suara yang sangat lirih
dari kamar periksa
Ada yang sedang menyanyikan
beberapa ayat kitab suci
yang sudah sangat dikenalnya
Tapi ia seperti takut mengikutinya
seperti sudah lupa yang mana
mungkin karena ia masih ingin
sembuh dari sakitnya
7. Pada Suatu Hari Nanti
Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau tak akan kurelakan sendiri
Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi di antara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati
Pada suatu hari nanti
Impianku pun tak dikenal lagi
Namun di sela-sela huruf sajak ini
Kau tak akan letih-letihnya kucari
8. Hanya
Hanya suara burung yang kau dengar
dan tak pernah kaulihat burung itu
tapi tahu burung itu ada di sana
Hanya desir angin yang kaurasa
dan tak pernah kaulihat angin itu
tapi percaya angin itu di sekitarmu
Hanya doaku yang bergetar malam ini
dan tak pernah kaulihat siapa aku
tapi yakin aku ada dalam dirimu
9. Menjenguk Wajah di Kolam
Jangan kau ulang lagi
menjenguk wajah yang merasa
sia-sia
yang putih
yang pasi
itu
Jangan sekali- kali membayangkan
Wajahmu sebagai rembulan
Ingat
jangan sekali-kali
Jangan
Baik, Tuan
10. Sajak Tafsir
Kau bilang aku burung?
Jangan sekali-kali berkhianat
kepada sungai, ladang, dan batu
Aku selembar daun terakhir
yang mencoba bertahan di ranting
yang membenci angin
Aku tidak suka membayangkan
keindahan kelebat diriku
yang memimpikan tanah
tidak mempercayai janji api yang akan menerjemahkanku
ke dalam bahasa abu
Tolong tafsirkan aku
sebagai daun terakhir
agar suara angin yang meninabobokan
ranting itu padam
Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat
untuk bisa lebih lama bersamamu
Tolong ciptakan makna bagiku
apa saja — aku selembar daun terakhir
yang ingin menyaksikanmu bahagia
ketika sore tiba.
Buku Sapardi Djoko Damono
- Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978)
- Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang (1979)
- Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1999)
- Novel Jawa Tahun 1950
- Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur (1996)
- Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999)
- Sihir Rendra: Permainan Makna (1999)
- Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan: Sebuah Catatan Awal
Terjemahan Karya Sastra Asing ke dalam Bahasa Indonesia Sapardi Djoko Damono
- Lelaki Tua dan Laut (The Old Man and the Sea, Hemingway)
- Daisy Manis (Daisy Milles, Henry James)
- Puisi Brasilia Modern
- George Siferis
- Sepilihan Sajak
- Puisi Cina Klasik
- Puisi Klasik
- Shakuntala
- Dimensi Mistik dalam Islam karya Annemarie Schimmel
- Afrika yang Resah (Song of Lowino dan Song of Ocol oleh Okot p'Bitek)
- Duka Cita bagi Elektra (Mourning Becomes Electra oleh Eugene O'Neill)
- Amarah I dan II (The Grapes of Wrath, John Steinbeck)
Penghargaan Sapardi Djoko Damono
- 1963 Hadiah Majalah Basis atas puisinya "Ballada Matinya Seorang Pemberontak"
- 1978 penghargaan Cultural Award dari Pemerintah Australia
- 1983 hadiah Anugerah Puisi-Puisi Putera II untuk bukunya Sihir Hujan dari Malaysia
- 1984 hadiah dari Dewan Kesenian Jakarta atas bukunya yang berjudul Perahu Kertas
- 1985 Mataram Award
- 1986 hadiah SEA Write Award (Hadiah Sastra Asean) dari Thailand.
- 1990 Anugerah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun
- 1996 Kalyana Kretya dari Menristek RI
- 2003 penghargaan The Achmad Bakrie Award for Literature
- 2004 Khatulistiwa Award
- 2012 penghargaan dari Akademi Jakarta
Baca Juga: