Untuk Indonesia

Ketika Siswi Kristen Diharuskan Berjilbab

Saya ingat ekspresi Bambang kawan saya. Dia tersenyum, wajahnya tampak bangga, dan jelas sekali raut puas terpancar di wajahnya.
Ilustrasi siswi SMA berjilbab | Sejumlah siswa SMAN 6 Kota Tasikmalaya menggalang dana usai melaksanakan Salat Gaib di Lapangan sekolahnya, Jawa Barat, Selasa (7/8/2018). Salat Gaib dan doa bersama serta penggalangan dana untuk korban bencana gempa bermagnitudo 6,4 mengguncang Lombok Utara pada 29/7/2018, sebagai kepedulian mereka terhadap sesama untuk meringankan penderitaan korban gempa meninggal dunia sebanyak 98 orang. (Foto: Antara/Adeng Bustomi)

Oleh: Iqbal Aji Daryono*

Saya masih ingat ekspresi Bambang (tentu nama palsu), kawan saya. Dia tersenyum, wajahnya tampak bangga, dan jelas sekali raut puas terpancar di wajahnya.

"Lhaaa memang banyak orang menyebut sekolahku itu SMA Muhammadiyah Negeri! Wangun, to? Keren, kan?"

Kalimat itu muncul setelah Bambang bercerita tentang sekolahnya. SMA tempat dia belajar adalah SMA negeri di salah satu kota terbesar di negeri ini. Sebagai sebuah SMA pada umumnya, sekolah Bambang juga punya tim khusus baris-berbaris. Nah, dari tim inilah gelar "SMA Muhammadiyah Negeri" itu bermula.

Sebagai sepasukan tonti atau peleton inti (istilah untuk tim khusus baris-berbaris), tentu saja kostum semua anggotanya harus seragam. Tonti tersebut beranggotakan sekian murid, lelaki maupun perempuan. Untuk tim lelaki tidak ada masalah. Berbeda halnya dengan tim perempuan. Seseragam-seragamnya mereka, ada sebagian siswi yang berjilbab dan ada yang tidak.

Maka, keputusan pun diambil: semua anggota peleton putri wajib berjilbab, tanpa kecuali!

Oke, untuk siswa muslimah yang semula tidak berjilbab, itu bukan masalah besar. Mereka tinggal mengganti kostum saja. Lalu bagaimana dengan siswi nonmuslim yang tentu saja tidak berjilbab dan tidak pernah punya rencana untuk berjilbab?

"Pokoknya semua wajib pakai jilbab. Yang Kristen pun harus pakai jilbab, namanya juga tonti. Harus seragam, dooong!" Bambang menjelaskan. Wajahnya cerah dan tersenyum bangga.

***

Dialog di atas itu kisah nyata, bukan cuma fantasi saya, dan terjadi belasan tahun silam (semoga sekarang tidak lagi). Saya menuliskannya lebih untuk menggambarkan bahwa sebenarnya cerita-cerita seperti itu memang sudah sejak dulu terjadi, di mana-mana. Bedanya, dulu belum ada media sosial, dan publik tidak mendengar apa-apa.

Sekarang, cerita serupa muncul lagi, dan kita bisa melongo bersama membacanya. Kali ini yang wajib berjilbab bukan cuma anggota tim tonti, melainkan seluruh siswi! Bahkan seluruh siswi beragama selain Islam pun wajib berjilbab!

Kejadiannya di Riau, persisnya di SMA Negeri 2 Rambah Hilir, Kabupaten Rokan Hulu. Praktik seperti itu ternyata sudah berjalan lama di sana, bahkan diakui kepala sekolah pula. Malangnya, yang seperti itu dianggap normal saja, dengan alibi "sudah sejak dulu memang seperti itu". Semua pun terbuka ketika muncul protes dari salah seorang siswi beragama Kristen yang menolak berjilbab, lalu protesnya itu muncul di media massa, tersebar di laman-laman medsos pula.

Melihat kasus-kasus demikian, saya tak pernah habis pikir dengan "logika marketing" para penganut agama (dalam kasus ini tentu saja Islam). Begini. Orang beragama tentu meyakini kebenaran agamanya. Karena ia yakin, maka wajar saja ia ingin mengajak orang lain yang berbeda keyakinan untuk ikut dengannya. Seorang muslim ingin mengajak orang Kristen masuk Islam itu wajar. Wajar pula orang Kristen ingin mengajak seorang muslim masuk Kristen.

Lho, jangan senyum sinis begitu, Mas. Saya kasih contoh saja ya. Saya yakin bahwa membaca itu baik dan menyehatkan pikiran. Maka saya ingin mengajak orang lain untuk ikut membaca bersama saya, karena saya percaya hobi membaca itu baik dan benar.

Saya merasa bahwa bermedia sosial dengan santai dan tidak baperan itu penting untuk kesehatan jiwa dan harmoni sosial, dan saya yakin itu sikap yang benar. Maka saya selalu mengajak orang lain untuk ikut bersama saya menjalani sikap seperti itu. Wajar, bukan?

Nah, kalau soal-soal semacam membaca dan bermedsos dengan santai saja bisa saya anggap keyakinan akan kebenaran, apalagi agama. Maka, jika kita meyakini sebuah sistem kepercayaan, jelas tidak ada salahnya mengajak orang lain untuk bergabung bersama kita. Adapun garis batasnya adalah aturan main yang disepakati dalam regulasi. Ada upaya kristenisasi yang terlarang secara peraturan, ada pula ikhtiar islamisasi yang tidak diperbolehkan secara tata krama kemasyarakatan. Begitu, to?

Pertanyaannya, apakah upaya "promosi keyakinan" sebagai konsekuensi atas keimanan kita itu akan berjalan efektif dengan tindakan-tindakan yang bersifat dominasi, sebagaimana yang terjadi di Riau atau di "SMA Muhammadiyah Negeri"-nya Si Bambang?

Saya yakin tidak. Pemaksaan semacam itu bukan sebentuk promosi. Ia justru akan membawa hasil yang berkebalikan dengan tujuan pemasaran. Apakah anak-anak Kristen itu akan masuk Islam atau minimal menyukai Islam hanya karena setiap hari dipaksa memakai jilbab? Begitu kira-kira pertanyaan simplistisnya.

Saya yakin, jawabannya adalah tidak.

Jika memang tidak, lalu apa yang sebenarnya sedang diburu oleh sekolah-sekolah yang mewajibkan murid nonmuslim untuk berjilbab? Kebanggaan? Perasaan gagah karena tampak dominan dan berkuasa? Memangnya apa yang akan didapatkan dengan rasa semacam itu?

Semuanya kebanggaan semu belaka. Sama semunya dengan senyum Bambang saat mengatakan bahwa sekolahnya adalah "SMA Muhammadiyah Negeri". Nama julukan itu terkesan gagah, keren, padahal di dalamnya yang terjadi bukanlah eskalasi ketakwaan para siswa-siswi muslim-muslimah, melainkan prosedur-prosedur pemaksaan yang justru kontraproduktif dengan upaya menampilkan citra baik dalam sebuah skema besar "marketing" ajaran Islam.

Tenang, jangan pada emosi dulu dengan mengira saya menyasar Islam saja. "Hobi kok menyerang saudara seiman!" Tidak, tidak. Kritik saya itu tidak terbatas pada umat Islam. Ini berlaku bagi siapa pun, dari agama apa pun, bahkan dalam kasus apa pun. Bagi daerah-daerah yang mayoritas nonmuslim dan ada satu-dua sekolah yang melarang siswi muslimahnya untuk berjilbab pun logika yang sama akan berlaku.

Sebenarnya saya bisa saja menarik kasus Riau itu ke soal-soal toleransi lah, HAM lah, atau kesadaran pendidikan karakter yang seringkali dilupakan oleh para pendidik. Namun saya paham, pertimbangan-pertimbangan demikian bukan kepentingan langsung para pelaku. Soal-soal seperti itu pasti dirasa tak lebih sebagai kepentingan negara yang ingin menjaga stabilitas, dan tidak menyentuh langsung kepentingan para aktor di lapangan.

Oleh karenanya, lebih baik saya mengajak kita berpikir dalam logika paling gampang, paling sederhana, paling tidak membutuhkan perspektif rumit semacam toleransi dan blablabla lainnya, dan paling menyentuh kepentingan kita sendiri sebagai orang beragama. Kita beragama, kita yakin agama kita benar, kita ingin mengajak orang lain agar ikut dengan agama kita, maka kita mesti bertindak dengan cara yang sejalan dengan visi mempromosikan agama kita masing-masing.

Percayalah, pamer dominasi itu tidak akan membuat "dagangan" kita itu tampak mempesona. Sebaliknya, kita justru dengan tolol akan menipu diri sendiri. Melihat lautan jilbab yang menyejukkan di sekolah yang kita kelola, misalnya, padahal sesungguhnya banyak kepala yang berselubung jilbab itu mengenakannya bukan karena iman melainkan sekadar karena takut dan terpaksa.

Kebanggaan macam apa itu?

*Iqbal Aji Daryono, seorang muslim, tinggal di Bantul

Berita terkait