Kepak Bisnis Gadis Toba, Eksplorasi Kekayaan Lokal

Berlatar kebutuhan desain, akhirnya membuat gadis Toba ini kian tertarik belajar corak-corak Batak, dan eksplorasi humanisnya
Trisna Pardede, gadis Toba yang menggerakkan usaha di kampung halaman berbasis kekayaan yang ada di kawasan Danau Toba. (Foto: Dok. Trisna)

Balige - Sejak lama, memperhatikan aktivitasnya di media sosial Facebook. Dia suka membuat status menarik dan unik. Dari cara dia menuliskan status, dia orangnya kreatif.

Namanya Trisna, lengkapnya Trisnayanti Pardede. Gadis kelahiran 17 Juli 1986 ini jebolan S1 Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung.

Dia lahir di Balige, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Sumatera Utara. Setelah menempuh pendidikan di Unpad, sempat menjadi asisten dosen di sana. Pernah juga bekerja di perusahaan swasta di Jakarta.

Pengenalan terhadap dunia usaha dimulai di kampus. Angkatan Trisna, perdana di Fakultas Ekonomi yang menerima kurikulum kewirausahaan sebagai jurusan terbaru. Banyak kegiatan kampus yang mendorong mahasiswa menciptakan ide usaha.

Setelah bekerja di Jakarta, 2011 dia mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan jenjang master di Unpad.

"Saya kembali ke Bandung, dan komitmen tidak ingin meminta biaya bulanan lagi dari orang tua, idealisme anak muda," katanya, setengah bercanda.

Embrio menjadi entrepreneur muda, bermula saat dia menghadiri acara pernikahan orang Batak di Jakarta. Mayoritas bapak di sana kala itu sudah menggunakan batik sebagai busana dan bukan lagi jas.

"Kenapa nga pakai baju batik yang bercorak Batak saja, gorga dan ulos. Sesederhana itu awalnya. Saya mulai eksplorasi idenya, baik dari sisi belajar corak ulos dan gorga, juga dari sisi produksi," tutur Trisna.

Gadis TobaTrisna Pardede, gadis Toba yang bersemangat menggerakkan usaha berbasis kekayaan lokal di kawasan Danau Toba. (Foto: Istimewa)

Setelah menyusun rencana usaha, lalu ide dilempar ke investor, dan ternyata disambut baik. Pada 2011 dia memulai produksi. Penjualan semua dilakukan via online, Facebook dan Twitter. Trisna mengerjakan sendiri saat itu.

Berlatar kebutuhan desain, akhirnya membuat gadis berkaca mata ini semakin tertarik belajar corak-corak Batak, dan mulai masuk ke eksplorasi humanisnya.

"Mulai makin sering pulang ke huta (kampung) dan menyadari jika dari ratusan toko suvenir di pinggiran Danau Toba saat itu, belum ada yang representatif terlebih dengan pelayanannya," tukasnya.

Pada 2012 akhir, respons tamu online semakin baik. Dia memberanikan diri mulai membangun tim kerja di Bandung. Dan pada 2014, Batikta dibuka di Balige, di ruang tamu rumah orang tua. Timnya direkrut remaja yang tinggal di kampung.

"Hal utama yang saya paksa mereka pelajari adalah pelayanan ala "distro di Bandung". Nga mudah tapi buat adik-adik yang mau belajar, mereka tertantang dan bisa," urai gadis yang masih melajang ini.

Sembari dia melakukan eksplorasi kandungan nilai "habatakon", Trisna semakin sering keliling kawasan Danau Toba, makin banyak ketemu hal baru atau malah menyentuh kesadaran akan lingkungan sekitar.

Dia sadar alam Danau Toba yang begitu keren tapi tidak bersih. Tujuan wisata tersedia, tapi tidak ada yang mempromosikan, di sisi lain sumber daya manusia wisatanya juga tidak kuat.

"Menurut saya, salah satu penyebab masyarakat nga berperan aktif menjaga alam apalagi layanan wisatanya, karena nga ada kebanggaan atas kawasan Danau Toba itu sendiri. Jadinya nga peduli, nga cinta," tukasnya.

Berangkat dari kesadaran itu, dia mulai membuat kegiatan-kegiatan yang tujuannya ke sana, dan aktif terlibat mendukung program teman-teman lain di kawasan Danau Toba.

Di sisi lain, Trisna dengan tim kecilnya berusaha membangun layanan yang baik di Batikta. Harapannya pengalaman menyenangkan di Batikta jadi representatif para tamu menyebarkan cerita baik dari Toba, mengurangi berita-berita miring tentang kekecewaan selama di Toba.

Pada 2016, dia mulai mengajak teman-teman pemilik dana di perantauan untuk bersedia membantu mendukung para pengrajin lokal, dengan cara berkomitmen membeli karya-karya pengrajin tersebut agar mereka terus berproduksi, lalu Batikta akan berusaha memasarkan.

Batikta yang tadinya hanya menjual produksi sendiri, menjadi ruang display banyak pengrajin lokal dan bertanggung jawab menjual.

Lalu pada 2018, dia dan investor sepakat mengangkat kopi dari petani khusus Kabupaten Tobasa, Arabica dari Motung Sibisa, Robusta dari Parsoburan Habinsaran.

"Nama kopinya Hutanta, dengan tagline; Taste of Toba, Brings You Home," tuturnya.

Kopi TobaKopi kopi Arabika asli dati kebun yanga di Toba. (Foto: Facebook Trisna Pardede)

Seluruh proses produksi dilakukan di Balige, dan dibuatkan kafe sebagai lokasi penyajian kopi dengan berbagai teknik saji profesional ala barista.

Karena kami yakin kebanggaan akan melahirkan kecintaan yang berujung pada kekuatan untuk menjaga alam dan budayanya itu

Tim yang dimiliki Trisna berusaha mengangkat brand kopi ini ke level nasional setidaknya, membayangkan kopi Toba akan muncul di retailer-retailer nasional.

"Puji Tuhan, sertifikat MUI-nya sudah keluar, dan sedang menunggu registrasi MD dari BPOM," katanya antusias. "Jika ini sudah diterima, doanya kopi Toba akan ikut bersanding dengan brand-brand nasional lainnya, menjadi cerita baik baru dari Toba," sambung Trisna.

Setahun Lamuro Square

Awal Juni ini, persis setahun sejak pembukaan gedung Lamuro Square yang menjadi rumah berkarya dan bercerita untuk unit Batikta, Hutanta Balige, dan Galeri Rengget Tenun Ulos milik Trisna.

Ada empat ruang utama di gedung Lamuro Square, pertama Batikta. Ini ditujukan sebagai pusat oleh-oleh terbaik kawasan Danau Toba.

Awalnya di 2011, unit ini hanya menjual produksi sendiri berupa batik bercorak gorga dan ulos. Lalu sejak 2016, mulai menjalankan komitmen mendukung produksi dan penjualan produk karya pengrajin di kawasan Danau Toba.

Hutanta CoffeeTim Hutanta Coffee. (Foto: Facebook Trisna Pardede)

Batikta menjadi display pemasar produk-produk unggulan para pengrajin, menyebarkan cerita baik dan kebanggaan akan akar budaya juga alam Danau Toba ke seluruh orang yang terjangkau berita.

"Karena kami yakin kebanggaan akan melahirkan kecintaan yang berujung pada kekuatan untuk menjaga alam dan budayanya itu," kata Trisna.

Ruang ke dua adalah Hutanta Coffee, sebagai tempat produksi kopi sangrai khusus panen petani kopi Kabupaten Tobasa.

Ruang ke tiga, Family Zone Cafe yang melengkapi layanan Hutanta Coffee agar menjadi tempat makan yang nyaman untuk keluarga, ruang edukasi yang menyenangkan untuk anak-anak balita dengan berbagai pilihan permainan dan buku anak.

Ini juga tempat nongkrong dan berdiskusi yang asyik untuk kawula muda dan profesional dengan variasi pilihan boardgame juga koleksi buku bacaan teenlit, novel, hingga buku pengembangan diri.

"Hutanta Coffee dicita-citakan menjadi panggung terbuka bagi para komunitas kreatif khususnya di kota Balige sekitarnya," ungkap Trisna.

Dan ruang ke empat adalah Galeri Rengget Tenun dan Ulos, ruang yang didedikasikan untuk proses belajar mengenal kembali tenunan Batak dari berbagai kawasan, sejarah, fungsi adat dan fungsi ekonominya.[]

Baca juga:

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.