Untuk Indonesia

Kenapa Harus Bersyukur Akhirnya Jokowi Mengutuk Peristiwa Sigi

Ada alasan mendasar sangat penting kenapa kita harus bersyukur akhirnya Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan kutukannya atas peristiwa Sigi.
Polisi memeriksa bangunan yang dibakar kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora di Dusun Lewonu, Desa Lemban Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Sabtu, 28 November 2020. (Foto: Tagar/Courtesy/Humas Polda Sulteng)

Oleh: Syafiq Hasyim*

Pembunuhan satu keluarga non-muslim di Sigi beberapa waktu lalu yang kemudian menyadarkan kita bahwa teroris ternyata masih ada di sekitar kita. Kejadian Sigi sulit untuk dikatakan tidak keji dan bengis. Sebenarnya yang harus kita pikirkan bukan hanya tindakan terorisme, namun sebab-musabab yang menghantarkan tindakan kejam dan keji ini masih saja berlanjut sampai kini.

Sudah lama kita diingatkan oleh para ahli bahwa serangan terorisme itu tidak sekali jadi. Ada proses-proses yang mendahuluinya dan mematangkannya. Kegagalan kita dalam menganalisis dan mengantisipasi semua ini akan menyebabkan kita gagal dalam melakukan pemberantasan terorisme.

Bahkan bagi saya pribadi berpendapat, sebaiknya energi nasional kita lebih diarahkan pada hal-hal yang menyebabkan dan mengantarkan kejadian terorisme. Dalam teori-teori yang sudah banyak dikupas, tahapan-tahapan menuju tindakan terorisme itu adalah pertama menjadi intoleran dulu. Kedua, menjadi radikal, artinya lebih tertanam dalam pikiran dan hati mereka. Dan ketiga, puncaknya adalah tindakan terorisme itu sendiri.

Melihat kehidupan kita akhir-akhir ini, ada kecenderungan yang berkembang di wacana publik untuk memaklumi tindakan intoleran. Tindakan intoleran kata mereka yang gemar melakukannya adalah hak mereka. Bukan dosa untuk menjadi intoleran, karena menjadi intoleran itu justru sesuatu yang diajarkan oleh agama mereka, itu klaim dari kebanyakan mereka.

Sebagai contoh, jika tidak mengucapkan selamat hari besar pada agama lain, mereka anggap itu bukan intoleransi, karena mengucapkan ini dan itu pada hari besar agama lain bukan dianjurkan oleh agama. Bagi mereka, agama mereka bukan urusan kita, urusan mereka adalah agama mereka sendiri.

Apalagi ditambahi bumbu-bumbu dalil agama yang mereka tafsirkan sebagai pelanggaran akidah jika mereka mengucapkan Selamat Natal, Selamat Waisak, dan selamat-selamat yang lain. Bahkan, mereka mengklaim boleh tidak mengutuk tindakan rasial asalkan tindakan rasial itu dilakukan dengan tanpa kekerasan.

Mereka tidak paham bahwa hal itu masuk dalam ranah ujaran kebencian. Situasi di sekitar kita memang sudah akut. Menurut banyak jejak pendapat, tingkat intoleransi kita terus meningkat. Bahkan mereka yang intoleran ini memiliki latar belakang yang bermacam-macam. Keberadaan mereka tidak lagi terbatas pada organisasi-organisasi keagamaan vigilante, namun sudah meluas ke guru, pegawai negeri sipil, akuntan, dan masih banyak profesi lainnya.

Karenanya, dalam hal ini, kita merasa bersyukur pada akhirnya Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan kutukannya atas peristiwa Sigi, meskipun agak terlambat.

Mereka tidak merasa risih memiliki sikap intoleran, karena menurut mereka banyak yang melakukannya. Guru-guru agama, ustaz, politisi, serta panutan mereka di masyarakat banyak yang intoleran, toh dari mereka tidak ada yang menjadi teroris, itu klaim mereka. Kalau demikian halnya, mengapa orang tidak boleh bersikap dan bertindak intoleran?

Saya setuju bahwa tidak semua intoleransi itu akan berakhir pada tindakan terorisme, namun hampir dipastikan bahwa mereka yang menjadi teroris memiliki pandangan yang intoleran.

Berdasarkan studi-studi yang ada, hampir semua tindakan terorisme di Indonesia itu memiliki kaitan dengan motivasi keagamaan. Jika motivasi keagamaan sudah tertanam jauh pada level intoleransi, jelas bahwa hubungan intoleransi dan terorisme itu sangat dekat.

Bahkan jika terorisme itu menargetkan perusakan, pembunuhan, dan tindakan-tindakan sadis yang lain, intoleransi tidak jarang menumbuhkan teror. Bukankah kita sering menyaksikan orang-orang intoleran menebarkan teror di mana-mana.

Mereka menganggap diri dan kelompok merekalah yang paling benar. Junjungan dan pimpinan merekalah yang paling suci. Parahnya mereka mengaitkan tindakan ini dengan agama. Karenanya muncul pernyataan siapa saja yang mengkritik pimpinan mereka itu berarti mengkritik agama mereka.

Katakanlah, jika pemimpin yang mereka tasbihkan itu beragama Islam, namun si pemimpin sering melanggar hukum, mencaci-maki orang yang berbeda dengannya, bahkan mengobarkan permusuhan pada waliyul amri atau ulil amri jika kita mengkritiknya, pengikutnya langsung menyatakan wah itu anti Islam, dan lain sebaginya.

Jangan anggap intoleransi itu perkara biasa dan normal. Intoleransi itu tetap berbahaya karena dengan intoleransi itu banyak teror bermunculan. Misalnya baru-baru ini ada kejadian di mana seorang ibu dari seorang pejabat negara diteror oleh sebuah cabang organisasi nasional, karena si pejabat itu dengan tegas mengatakan tindakan hukum pada pemimpin ormas itu pada level nasional.

Teror ini berbahaya karena itu berarti hukum rimba. Siapa yang kuat itu yang menang. Memang kita tidak bisa menyerahkan semua persoalan penghilangan terorisme dan teror semata-mata pada negara. Kita harus akui bahwa negara itu memiliki batas kemampuan. Namun sebagai masyarakat, kita juga punya tanggung jawab.

Karenanya, dalam hal ini, kita merasa bersyukur pada akhirnya Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan kutukannya atas peristiwa Sigi, meskipun agak terlambat.

Kembali lagi pada kemampuan negara, keterbatasan yang mungkin ada pada negara, namun kita perlu ingatkan kembali bahwa keterbatasan itu tidak menghapus wewenang negara untuk memiliki hak penuh dalam penanggulangan terorisme dan teror.

Sebenarnya negara bisa memulainya dengan cukup menegakkan hukum secara konsisten. Setiap ada gejala intoleransi yang mengancam keselamatan pihak lain atau menimbulkan kerusakan, maka proseslah masalah ini secara cepat dan tepat. Ada kesan selama ini pihak aparatur negara ragu berhadapan dengan kekuatan-kekuatan intoleran dan teror yang mengatasnamakan agama. Alasannya klise, mereka, para aparatur negara, tidak mau dianggap memusuhi agama mereka, karena itu stigmatisasi yang biasa disematkan kaum intoleran dan teror pada diri mereka.

Perasaan seperti itu harus dihilangkan dengan cara melihat damage atau kerusakan yang disebabkan oleh pembiaran pada tindakan kaum intoleran dan teror. Risikonya, rusaknya negara, pecahnya masyarakat, dan kepercayaan yang rendah pada aparatur negara.

Sebagai catatan, percayalah teror dan terorisme adalah dua hal yang harus kita perangi bersama. Terorisme dan teror adalah hasil dari perbuatan intoleran, maka untuk menghilangkan keduanya, intoleransi harus dihilangkan.

Jika kita mau hidup secara damai, sikap intoleransi harus dikikis habis. 

*Direktur Perpustakaan dan Pusat Budaya Universitas Islam Internasional Indonesia sekaligus Wakil Ketua Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama

Berita terkait
Bobby Nasution: Rumah Quran Insyaallah Bawa Berkah di Medan
Dengan banyaknya rumah quran di Kota Medan, kata Bobby, akan membawa keberkahan bagi seluruh masyarakat.
Solusi Bobby Nasution soal Banjir dan Sampah di Medan
Masalah banjir dan sampah, menjadi salah satu tugas berat yang ingin dituntaskan Calon Wali Kota Medan nomor urut 2, Bobby Nasution jika terpilih.
Emak-emak Medan Curhat di Medsos, Air PDAM Tirtanadi Mirip Kopi
Emak-emak Kota Medan mengeluhkan pelayanan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi, Sumatera Utara.
0
Putra Mahkota Arab Saudi Melawat ke Turki
Persiapan untuk menghadapi kunjungan Presiden Joe Biden, Putra Mahkota Arab Saudi lakukan lawatan regional kali ini ke Turki