Untuk Indonesia

Kenapa Banyak Orang Berguru pada Ulama Radikal?

Agama menjadi sebuah tren, bukan lagi dimaknai sebagai sebuah petunjuk. - Ulasan Denny Siregar
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memberikan materi kepada ratusan santri saat mengisi kuliah umum di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, Selasa (9/10/2018). Kuliah umum bertajuk Merajut Kebersamaan di Tengah Kebhinekaan tersebut guna memberikan pemahaman wawasan kebangsaan sekaligus menangkal radikalisme di kalangan santri. (Foto: Antara/Prasetia Fauzani)

Oleh: Denny Siregar*

Dalam sebuah diskusi, seorang nonmuslim bertanya ke saya, "Kenapa banyak orang yang mengikuti ulama radikal ya, Bang?"

Pertanyaan yang menarik. Tentu banyak faktor kenapa seseorang mengikuti seorang guru. Ada yang karena mengikuti teman, ada yang karena terbawa arus bahkan ada yang karena salah jalan. Tidak bisa kita mengambil satu faktor sebagai penentu.

Tapi ada pola yang sama dari mereka yang saya perhatikan. Saya ingat dulu ketika mencari kebenaran melalui agama, saya melewati malam-malam panjang diskusi sekadar untuk membenturkan dari satu logika ke logika lainnya. Bagi saya agama adalah akal, jadi diperlukan logika dalam memahaminya bukan sekadar dogma belaka.

Model diskusi panjang yang memakan waktu lama ini yang tidak saya dapat dari mereka-mereka yang mengikuti ulama radikal. Dari mana saya tahu? Dari kekeringan logika mereka ketika memahami sebuah petunjuk.

Sebagian besar dari mereka memahami agama itu sebagai dogma. Patuhi, jangan dipikirkan. Padahal Tuhan menaruh akal pada manusia bukan tanpa alasan. Akal dan petunjuk harus saling mengisi. Tanpa petunjuk, akal akan tersesat. Begitu juga petunjuk tanpa akal, maka manusia juga akan tersesat.

Nah, model diskusi dengan akal inilah yang jarang ditemui dari "guru" radikal. Mereka tidak pernah mengajak muridnya untuk berpikir. Lidah mereka mudah mengucapkan kata "haram" dan "halal" seolah menegaskan bahwa mereka adalah kebenaran yang absolut. Tidak ada ruang untuk kritik, karena kritik itu haram. Akhirnya terjadilah kultus individu, mendewakan seorang guru.

Murid yang datang ke guru radikal ini juga punya model yang sama. Mereka kebanyakan penyuka sesuatu yang instan, tidak perlu banyak berpikir. "Cukup ikuti guru, maka surga ada di tanganmu. You jump, I jump."

Akhirnya supply and demand terpenuhi. Si murid merasa tenang karena sudah mendapat kunci surga, si guru juga tenang karena bisa hidup kenyang. Jualan ilusi ini persis seperti ketika seorang agen money game menawarkan jualan mimpi kemewahan.

Di kalangan anak muda sekarang juga model seperti ini laku. Anak muda cenderung suka sesuatu yang revolusioner. Ketika model agama konvensional menawarkan banyak pilihan dalam memahami sesuatu dan mengajak berpikir, model itu menjadi tidak menarik. Anak muda butuh sesuatu yang "keras" dan "bergejolak". Jadilah takbir-takbiran dianggap sebagai penyemangat.

Ibaratnya, model pembelajaran konvensional adalah musik jazz. Sedangkan ulama radikal menawarkan heavy metal sebagai alternatif beragama dan mereka membungkusnya dengan kata "hijrah".

Itulah yang terjadi sekarang ini. Agama menjadi sebuah tren, bukan lagi dimaknai sebagai sebuah petunjuk. Akhirnya kita melihat banyaknya zombie-zombie di jalanan, yang berpakaian agamis tapi akal menipis. Salat di jalan raya, supaya bisa dilihat sebagai ketaatan. Menunjuk orang lain kafir, seakan dirinya adalah bagian dari kesucian.

Dan tren "jalan instan masuk surga" ini yang akan kita lihat semakin membesar ke depan.

Seruput kopinya?

*Denny Siregar penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Berita terkait
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.