Kenapa Banjir Selalu Berulang di Bantaeng

Banjir yang selalu berulang di Bantaeng Sulawesi Selatan membuat warga resah. Ada apa sebenarnya. Apa tidak ada yang bisa dilakukan pemerintah.
Tumpukan sampah di sisi jalan, jejak banjir bandang di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, Jumat malam, 12 Juni 2020. (Foto: Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

Bantaeng - Banjir yang selalu berulang di Bantaeng, Sulawesi Selatan, membuat warga tidak tenang. Mereka setiap tahun menyambut datangnya musim hujan dengan waswas, cemas, khawatir. Air sangat dibutuhkan petani untuk mengairi sawah, tapi kalau berlebihan akhirnya menjadi bencana. Seperti banjir yang terjadi Jumat malam, 12 Juni 2020.

Hingga kini hujan lebat disertai angin kencang masih terjadi sesekali waktu. Sampah-sampah sisa banjir menjadi pemandangan tidak menyenangkan di beberapa ruas jalan.

Sepekan setelah banjir, lumpur licin tidak lagi menyelimuti aspal, sudah dibersihkan. Tidak lagi ada kabar pengendara motor terkapar karena hilang kendali. Sebelumnya ada saja yang tergelincir di aspal berlumpur setelah terjadi banjir. Kini lumpur ampas banjir bandang telah mengering. Saat matahari terik, debu beterbangan, mengusik pengguna jalan, apalagi kalau tidak memakai masker padahal masih dalam situasi pandemi.

Dampak dari banjir Jumat malam itu, dapur-dapur umum masih beroperasi. Dapur umum untuk menanggapi situasi darurat ini akan terus berlangsung hingga dua pekan setelah banjir. Banjir memang telah berlalu, tapi masih banyak warga belum bisa memasak sendiri karena kompor hilang, terbawa arus banjir, atau rusak akibat terendam air lumpur.

Banyak orang tergerak membantu warga yang menjadi susah karena banjir ini. Para donatur datang dari mana-mana, ada yang dari kabupaten tetangga, ada yang datang perorangan, ada yang mewakili komunitas atau organisasi. Mereka bersama pemerintah bergerak bersama memulihkan situasi setelah banjir.

Kalau dibiarkan tanggul dalam keadaan hancur, kami semua warga di sini terus-menerus ketakutan.

Adam KurniawanAdam Kurniawan, pemerhati lingkungan dari Balang Institute. (Foto: Dok Pribadi/Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

Pemerhati lingkungan Balang Institute Adam Kurniawan mengatakan banjir bandang melanda Bantaeng akibat luapan air sungai. Bencana ini membuat seorang pemuda meninggal dunia.

"Bencana adalah hal yang berulang. Jika tatanan kota diperbaharui, mungkin bencana bisa dihindari," kata Adam saat ditemui Tagar, Jumat, 19 Juni 2020.

Balang Institute adalah organisasi nonpemerintahan, bergerak di bidang konservasi alam. Adam bersama tim melakukan survei lapangan usai banjir melanda.

Ia menjelaskan Kabupaten Bantaeng didominasi wilayah pegunungan dengan kelerengan lebih besar dari 40 derajat mencapai sekitar 70 persen dari luas wilayah. Jarak horizontal dari ketinggian 2.500 meter dari permukaan laut (MPDL) ke muka laut hanya 20 kilometer. Curah hujan di daerah hulu tergolong tinggi, bulan kering hanya berlangsung 3 bulan.

"Beberapa fakta lapangan yang ditemui di antaranya tersumbatnya saluran air akibat penumpukan sampah, konstruksi saluran air, bobolnya tanggul penahan air Cek Dam Balang Sikuyu," kata Adam.

Di sisi lain, jenis tanah di Bantaeng adalah andosol yang cocok dengan tanaman hortikultura. Tanah jenis andosol memiliki kepekaan tinggi terhadap erosi. Penggunaan lahan yang didominasi tanaman hortikultura membuat sebagian lahan pada bagian barat wilayah Bantaeng menjadi terbuka. Pada lahan terbuka, air yang mengalir di permukaan 51 kali lebih cepat dibandingkan dengan permukaan lahan berhutan.

Hujan yang berlangsung sejak pagi hingga malam, Jumat, 12 Juni 2020, menyebabkan 8 sungai di hilir meluap. Hasil pemetaan Balang institute yang dilakukan sehari setelah banjir menunjukkan wilayah yang terendam seluas 197 hektare tersebar di Kelurahan Pallantikang, Tappanjeng, Malilingi, Bonto Rita, Bonto sunggu, Bonto Atu, Bonto Lebang, dan Desa Bonto Jai.

"Oleh karena itu upaya untuk mengurangi potensi banjir dan dampaknya di bagian hulu di antaranya penerapan agroforestri terasering, pembuatan embung, rorak dan bipori," tutur Adam

Sementara di bagian hilir mereka menawarkan dilakukannya normalisasi sungai dan memastikan kebersihan lingkungan.

Banjir BantaengYulita dan keluarga, korban banjir di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Foto ini diambil sebelum terjadi banjir. (Foto: Dok Pribadi/Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

Bupati Bantaeng Ilham Azikin sangat mengharapkan partisipasi organisasi nonpemerintahan yang kompeten memantau situasi yang ada di Bantaeng. Menurutnya, pemerintah juga perlu pengawalan dan hasil peninjauan dari berbagai lembaga agar pemerintahan berjalan dengan baik.

"Tidak hanya Balang Institute. Satu di antara upaya yang kita lakukan agar kondisi ini bisa kita antisipasi ke depan, tentu perlu kita mendengarkan tinjauan-tinjauan, baik dari tinjauan NGO (non-government organization) maupun lembaga yang konsentrasi dalam hal seperti ini," kata Ilham.

Mengenai banjir Jumat malam ini, Ilham mengharapkan ini menjadi referensi bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan. 

"Kita bersyukur mendapatkan gambaran yang mudah-mudahan itu akan menjadi referensi kita dalam mengambil kebijakan yang bisa secara cepat, praktis, dan efisien, agar kondisi banjir kemarin bisa kita antisipasi," kata Ilham Azikin.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bantaeng mendata sebanyak 2.333 rumah terendam banjir Jumat malam itu. 

Yulita, seorang ibu rumah tangga, ibu dari dua putri, adalah bagian dari pemilik rumah yang terendam banjir. Yulit tinggal di Kampung Be'lang, Kecamatan Bissappu. 

Hati Yulita perih melihat kondisi rumahnya diterjang air dan lumpur. Bangunan rumahnya sedari awal memang belum sempurna, masih dalam proses pembangunan. Material yang digunakan dalam proses membangun rumah itu hanyut terbawa air.

"Semen, kursi, pakaian, lemari, tidak hilang, tapi hancur, sedangkan barang lain berupa kompor, kasur, baju sekolah untuk adikku terbawa banjir," kata Yulita dengan nada lesu.

Rumahnya berjarak hanya 500 meter dari tepi tanggul sebuah sungai, membuatnya terkena dampak hebat saat banjir. Rumah di sekitar tempat tinggalnya, kata Yulita, belasan rumah hancur diterjang air.

Yulita bersama suami dan dua anak berusia satu tahun dan tiga tahun, saat ini masih tinggal di pengungsian, yaitu di rumah saudara dari bapaknya. Karena ruamhnya benar-benar tidak bisa ditempati. 

Suami Yulita seorang buruh bangunan. Yulita dan suami berusaha menepis prasangka buruk bagaimana kehidupan mereka nanti ke depan. Yulita mengatakan selalu ada hikmah di balik musibah.

Ia berharap ada uluran tangan dari pemerintah, setidaknya memperbaiki kerusakan tanggul. "Karena kalau dibiarkan tanggul dalam keadaan hancur, kami semua warga di sini terus-menerus ketakutan." []

Baca cerita lain:

Berita terkait
Bumbu Rahasia Tongseng Kambing di Yogyakarta
Potongan-potongan daging kambing setengah matang tertata di nampan anyaman bambu di sebuah warung tongseng terkenal sangat laris di Yogyakarta.
Laki-laki yang Kunikahi Ternyata Perempuan
Memakai jas hitam, peci menutupi rambut cepaknya, dia tampak gagah layaknya pria tangguh. Hingga kemudian rahasianya terungkap. Dia perempuan.
Kisah Mbah Uti, Penjual Gorengan di Kota Semarang
Jangan kehilangan harapan. Kalau ada kesempatan jualan, tetap jualan di mana pun. Seperti saya jualan di depan rumah. Mbah Uti Semarang.
0
Aung San Suu Kyi Dipindahkan ke Penjara di Naypyitaw
Kasus pengadilan Suu Kyi yang sedang berlangsung akan dilakukan di sebuah fasilitas baru yang dibangun di kompleks penjara