Keluh Petani Bunga di Kota Batu Beralih ke Sayuran

Para petani bunga mulai beralih menjadi petani sayuran dikarenakan harga bunga yang turun drastis di Kota Batu, Jawa Timur.
Petani bunga Saroni, 70 tahun, saat membersihkan penyakit tanaman di batang pohon bunganya. (Foto: Tagar/Moh Badar Risqullah)

Malang – Pandemi Covid-19 atau virus corona menjadi nestapa berkepanjangan bagi petani bunga di Kota Batu. Walaupun pemerintah pusat maupun daerah sudah menggaungkan semangat untuk bangkit dari keterpurukan dengan menerapkan kebijakan new normal atau tatanan baru di beberapa sektor, khususnya perekonomian masyarakat.

Sebagian dari mereka mengaku masih harus berputar otak dengan beralih ke tanaman lain seperti sayuran agar tetap produktif dan pekerjanya tidak menganggur. Namun, tidak sedikit ada yang terpaksa membiarkan tanaman bunganya begitu saja hingga layu dan rontok.

Cuma tinggal itu saja yang ditanami bunga. Sisanya sudah diganti dengan sayuran.

Petani bunga asal Desa Sidomulyo, Kecamatan Batu, Kota Batu, Budiarto mengungkapkan sebagian besar lahannya sudah diganti dengan ditanami beragam sayuran dan hanya menyisakan beberapa petak untuk tanaman bunga.

Bapak 65 tahun ini menyebutkan seperti sayuran sawi daging, tomat, cabe merah dan brokoli. Sedangkan masih adanya tanaman bunga tersebut, kata dia, hanya untuk memenuhi kebutuhan mendadak masyarakat sekitar di Malang Raya saja.

”Cuma tinggal itu saja yang ditanami bunga (menunjuk lahan di ladangnya). Sisanya sudah diganti dengan sayuran,” kata dia saat ditemui Tagar diladangnya, Jumat, 26 Juni 2020.

Dia menjelaskan, beralihnya ke tanaman sayur tersebut karena kondisi pandemi virus corona ini sangat memukul kondisi perekonomian para petani bunga. Di mana harga bunga sangat murah dengan dipatok separuh dari biasanya yaitu dari Rp 1000 menjadi Rp 500 per batangnya.

Murahnya harga bunga tersebut dikatakannya imbas tidak adanya kegiatan seremonial besar seperti pernikahan ataupun seminar yang biasanya menggunakan dekorasi bunga. Akibatnya berujung pada kerugian besar tersebut.

”Kira-kira kerugian bisa mencapai 70 persenan dari biasanya. Selain harganya murah. Kalaupun nanam dan panen tidak akan terjual dan terbuang sia-sia,” ucapnya.

Selain itu, kata dia, adanya pembatasan sosial di beberapa kota beberapa waktu lalu juga berimbas pada kerugian. Hal itu karena pengiriman bunganya terhambat dan tidak bisa terjual.

Dicontohkannya seperti Jakarta dan Bali. Padahal, dua kota tersebut dikatakannya merupakan konsumen terbesar dan ladang rejeki bagi para petani bunga selama ini.

”Kita kan pasar terbesarnya di sana. Jadi ya mau tidak mau kita setop kirim juga dan beralih ke sayur ini untuk dijual ke masyarakat sekitar ini saja. Sekaligus agar pekerja saya tidak nganggur,” tuturnya.

Akan tetapi, Budiarto mengungkapkan suatu saat pastinya akan kembali beralih ke tanaman bunga. Dengan catatan semuanya sudah benar-benar normal kembali dan kegiatan-kegiatan seperti pernikahan dan seminar tadi sudah tidak dilarang.

”Masih belum tentu kapan (beralih ke tanaman bunga). Walaupun saat ini sudah digaungkan new normal. Kegiatan-kegiatan seperti itu kan masih belum ada. Jadi, kita fokus dengan sayur ini dulu,” tuturnya.

Hal sama pun dialami petani bunga lainnya yaitu Saroni. Bahkan, kakek 70 tahun ini mengaku sudah membiarkan tanaman bunganya begitu saja dan lebih fokus mengolah tanaman sayur di ladang lainnya.

”Sudah dibiarkan begitu saja (tanaman bunga). Fokus menggarap tanaman sayur. Tapi, kadang-kadang juga masih dicek untuk merawatnya dengan membuang penyakit di batangnya,” ujarnya saat ditemui disela-sela membersihkan batang tanaman bunga di ladangnya.

Meski begitu, dia mengungkapkan tidak semua petani di desanya melakukan hal sama yaitu beralih ke sayur dan membiarkan tanaman bunga. Walaupun merugi, beberapa petani lain dikatakannya masih tetap menanam dan menjualnya kepada masyarakat sekitar di Malang Raya.

”Tidak semua. Ada yang seperti saya (membiarkan tanaman bunga dan beralih ke sayur). Tapi, ada juga yang tetap naman dan menjualnya,” tuturnya.

Sebagaimana diketahui, kota berjuluk De Klein Switzerland atau Swiss kecil di Pulau Jawa ini merupakan sentra budi daya pertanian holtikultura. Terutama di Desa Sidomulyo, Kota Batu dengan 85 persen sebagian penduduknya membudidayakan tanaman hias seperti bunga mawar, krisan dan anggrek. []

Berita terkait
Khofifah: Malang Raya Masih Belum Layak New Normal
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengatakan masa transisi New Normal di Malang Raya kembali diperpanjang hingga satu pekan ke depan.
Penanganan Covid-19 Malang Raya Sebatas Seremonial
Sosiolog Universitas Muhammadiyah Malang menilai tidak efektifnya penanganan Covid-19 dikarenakan sering mengubah kebijakan membingungkan warga.
Toleransi dan Ketahanan Pangan Gusdurian Malang
Jaringan Gusdurian Peduli Kota Malang memberdayakan pemuda lintas agama untuk menciptakan ketahanan pangan di tengah pandemi Covid-19.
0
Kekurangan Pekerja di Bandara Australia Diperkirakan Samapi Tahun Depan
Kekurangan pekerja di bandara-bandara Australia mulai bulan Juli 2022 diperkirakan akan berlanjut sampai setahun ke depan