Untuk Indonesia

Kelas Menengah Kampret

Denny Siregar menulis kelas menengah atas, jelas tidak banyak terpengaruh terhadap situasi ekonomi sekarang.
Ilustrasi Kelas Menengah (Foto: www.hfn.co.il)

Oleh: Denny Siregar*

"Ekonomi sulit!"

Begitu teriakan banyak orang di media sosial dan di banyak tempat. Narasi-narasi kesulitan ekonomi digaungkan dengan bahasa "apa-apa mahal", "lapangan pekerjaan kurang" dan segala macam rasa pesimis yang dipompakan. Tujuannya, teriakan itu mempengaruhi banyak orang.

Pertanyaannya, siapa mereka yang berteriak itu?

Kelas menengah atas, jelas tidak banyak terpengaruh terhadap situasi ekonomi sekarang. Terutama meski subsidi listrik dan bahan bakar minyak (BBM) dicabut, mereka tidak goyang. Mereka bisa membayar berapa saja biaya listrik dan BBM yang ditentukan. Kecuali mungkin saja pemilik pabrik yang terpengaruh dengan pencabutan subsidi listrik dan BBM industri.

Kelas menengah kecil juga tidak banyak berpengaruh. Tarif listrik bersubsidi tetap mereka nikmati. BBM bersubsidi seperti premium tetap ada, meski beberapa waktu sempat langka. Bahkan di wilayah Timur seperti Papua, harga BBM turun drastis dan jadi setara dengan Jawa. Mereka malah menikmati situasi pencabutan subsidi ini..

Lalu siapa mereka?

Jelas kelas menengah di perkotaan. Mereka inilah yang benar-benar terpengaruh dengan dicabutnya subsidi yang selama ini mereka nikmati dengan nyaman.

Pencabutan subsidi listrik dan BBM oleh Jokowi membuat sebagian kelas menengah berteriak. "Semua mahal!" adalah jargon yang digaungkan dimana-mana.

Tapi apakah benar mereka menderita seperti yang diteriakkan?

Tidak juga ternyata. Mereka hanya tidak bisa meningkatkan taraf gaya hidupnya.

Yang kemarin pakai motor bebek dan pengen ganti "motor lanang" yang 250 cc, harus mengurungkan niatnya, karena cicilan jadi semakin besar.

Baca Juga: Kenapa Rupiah Terpuruk?

Yang kemarin pake handphone China dan pengen bergaya Amerika dengan "apple"nya, harus gigit jari karena cicilan teralihkan untuk bayar listrik yang dicabut subsidinya. Gaya hidup mereka tetap standar, jadi tidak bisa bergaya lebih di depan orang. Inilah yang mereka sesalkan...

Kekesalan ini mereka tumpahkan kemana-mana, terutama di media sosial. Mereka mengeluh sulit membeli bahan pangan, tapi tetap rajin membeli kuota untuk sekedar pamer diri di Instagram.

Dan sekarang mereka juga teriak dollar naik, padahal pegangpun jarang. Padahal harga bahan pokok juga tidak terkena dampaknya. Pokoknya, jika ada yang harus dijadikan kambing hitam, jadikan...

Itulah yang terjadi. Kelas menengah perkotaan ini yang sibuk sendiri mengatas-namakan "rakyat kecil" sejatinya menderita bukan karena mereka tidak punya, tetapi tidak bisa menaikkan standar hidupnya.

Mereka bergabung dengan para pengangguran, para pekerja yang tidak mampu menaikkan kapasitasnya dan emak-emak penonton sinetron yang sering nonton kemewahan tapi gak sanggup memenuhi hasratnya. Inilah yang memenuhi ruang media sosial.

Tapi lucunya, beberapa dari mereka juga masih bisa umroh bahkan naik haji dan beli emas untuk gelang. Ironis, kan?

Ketidakmampuan menyikapi perubahan ini mirip seperti saat gelombang teknologi melanda dunia, dimana mereka yang terbiasa pakai mesin tik tidak mau mengubah diri dengan belajar komputer. Akhirnya mereka tersingkirkan dan tidak terpakai, bukan karena tidak mampu, tetapi karena malas belajar. Hanya bisa memaki keadaan..

Kaum inilah yang ditangkap para politisi yang ingin berkuasa. Keresahan mereka dijadikan propaganda seakan kesulitan ini milik keseluruhan. Padahal, jika politisi itu sudah nyaman di tempat duduknya, mereka juga akan segera dilupakan..

Ah, secangkir kopi seharusnya menyadarkan. Beradaptasi dalam setiap kondisi itu adalah kewajiban. Karena tidak ada yang abadi, kecuali perubahan itu sendiri...

Seruput kopinya?

*Denny Siregar, Penulis Buku "Tuhan dalam Secangkir Kopi"

Berita terkait
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.