Oleh: Syaiful W. Harahap*
Catatan: Artikel ini pertama kali ditayangkan di Tagar.id pada tanggal 2 Juni 2023. Redaksi.
TAGAR.id - Dua pekan terakhir di bulan Mei 2023 ini media massa dan media online diramaikan dengan berita tentang kejahatan seksual yaitu pelecehan dan kekerasan seksual, terhadap anak-anak di berbagai daerah yang melibatkan warga, aparat, guru dan guru agama sebagai pelaku.
Kasus-kasus kejahatan seksual yang ditangani polisi mulai dari pelecehan sampai perkosaan. Ada pula pada tataran pedofilia (laki-laki dewasa yang menyalurkan dorongan seksual kepada anak-anak umur 7-12 tahun) dan pelaku sodomi (tidak otomatis pedefilia).
Celakanya, tidak ada pihak, selain institusi terkait, yang mengutuk kekerasan seksual tersebut. Bahkan, dalam banyak kasus setengah orang justru menyalahkan korban.
“Abis, pakaiannya, sih!”
Itu yang sering terdengar ketika ada perempuan yang jadi korban pelecehan dan kekerasan seksual.
Padahal, fakta menunjukkan perempuan yang jadi korban pelecehan dan kekerasan seksual ada yang memakai pakaian yang menutup semua bagian tubuhnya kecuali wajah.
Lihat saja perempuan penumpang bus Transjakarta yang mengalami kekerasan seksual di Halte Harmoni, Jakarta Pusat, tahun 2014. Dia memakai pakaian yang membalut badannya sehingga hanya wajahnya yang terlihat.
Di beberapa daerah juga korban kejahatan seksual memakai pakaian yang membalut badannya.
Tapi, setiap ada perempuan yang jadi korban kejahatan seksual banyak orang yang mencibir dengan menyalahkan korban.
Sama sekali nyaris tidak ada empati dari banyak orang serta institusi di negeri yang selalu berkoar-koar sebagai bangsa yang berbudaya, beradat dan beragama ini.
Bahkan, ada calon hakim agung, Muhammad Daming Sanusi, ketika menjalani fit and proper test di Komisi III DPR mengatakan: Korban dan Pelaku Pemerkosaan Saling Menikmati (kompas.com, 14/1-2013).
Hukumpun mengharuskan korban perkosaan membawa saksi dan alat bukti. Bahkan, ketika pemeriksaan konon kabarnya korban ditanya apakah goyang ketika diperkosa. Petugas yang lalu lalang pun nyelutuk: Dipekosa ni ye …. Astaga ….
Kondisi itu memberikan angin kepada pelaku kejahatan seksual karena secara empiris mereka justru dibela oleh segelintir masyarakat, bahkan oleh perempuan sendiri.
Tidak jarang pula polisi dan media memberikan panggung bagi pelaku kejahatan seksual untuk membela diri yang justru merugikan posisi korban.
Dalam matriks di atas korban kejahatan seksual ada di posisi tidak berdaya (powerless) dan tak bisa bersuara (voiceless). Korban jadi objek yang disalahkan, diejek, dipecat dari sekolah dan pekerjaan, dan seterusnya.
Sementara pihak lain jadi subjek, termasuk wartawan, ada di posisi voice full (bersuara) dan powerfull (berdaya) karena bisa menyalahkan, mengejek, menyudutkan dan mencelakai.
Selain itu banyak pula kalangan yang bicara di talkshow (acara bercakap-cakap) di TV yang selalu menyalahkan orang tua karena tidak menjaga anaknya. Ini benar-benar di luar nalar karena adalah hal yang mustahil anak-anak selalu dikepit di ketika sepanjang hari.
Lalu, di mana negara (dalam hal ini pemerintah) yang diamanatkan oleh UU untuk melindungi segenap jiwa dan raga bangsa?
Tidak tanggung-tanggug seorang menteri, dalam hal ini Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, ketika itu Yohana Yambise, menyalahkan orang tua Yy, gadis berumur 14 tahun yang tewas diperkosa 14 begundal di Bengkulu pada April 2016. “Itu yang salah sebenarnya adalah orang tuanya. YY ditinggal orang tuanya ke kebun. Dia di rumah sendirian," ujar Yohana saat rapat kerja gabungan bersama Komisi VIII DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 30 Mei 2016 (nasional.tempo.co, 30/5-2016).
Padahal, Yy diperkosa ketika pulang dari sekolah. Itu adalah ranah publik yang merupakan kawasan yang menjadi jangkauan pemerintah, dalam hal ini aparat keamaman, seperti polisi di desa (Bhabinkamtibmas - Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat), Babinsa (Bintara Pembina Desa) dan dan perangkat desa.
Sementara menteri yang lain juga ‘membela’ 14 begundal itu. Menteri Sosial, ketika itu, Khofifah Indar Parawansa, menemui para pelaku pemerkosaan terhadap gadis 14 tahun di Bengkulu. Khofifah mengatakan, minuman keras dan konten pornografi menjadi pemicu tindakan perkosaan yang berujung pembunuhan itu (news.detik.com, 8/5-2016).
Rupanya, Mensos Khofifah ketika itu tidak mengetahui ada ratusan juta warga dunia yang minum miras dan menonton konten serta video porno tapi tidak melakukan perkosaan.
Jika mengacu ke hukum di Amerika Serikat (AS), maka 14 begundal itu harus didakwa dengan pasal berlapis termasuk perkosaan dan pembunuhan berencana karena mereka minum miras dan menoton konten porno dulu sebelum melakukan perkosaan dan pembunuhan.
Di AS pengemudi yang terjaring kadar alkohol lewat ambang batas didakwa dengan pasal percobaan pembunuhan. Jika terjadi kecelakaan lalu lintas dengan korban tewas, maka pengemudi yang menabrak jika terdeteksi dengan kadar alkohol lewat ambang batas didakwa dengan pembunuhan berencana.
Untuk itulah wartawan sejatinya jadi subjek bersama korban agar bersuara dan berdaya dengan memberikan kondisi riil korban serta harapan pemulihan dan jaminan masa depan mereka.
Maka, perlu ada pasal di KUHP yang menjerat orang-orang yang membela pelaku kejahatan seksual sebagai perbuatan pidana dengan tuduhan turut membantu.
Ancaman dari aspek agama juga tidak efektif karena pelaku akan menjalani ritual pertobatan dalam berbagai cara.
Maka, tanpa perlindungan dan dukungan yang komprehensif melalui UU kejahatan seksual terhadap anak dan remaja (laki-laki dan perempuan) serta perempuan dewasa akan terus terjadi. []
* Syaiful W. Harahap adalah redaktur di Tagar.id