Kaus Serat Bambu Buatan Yogyakarta Dijual di Swiss

Produsen kaus serat bambu itu nyempil di lorong kecil di kawasan Taman Sari, Yogyakarta. Siapa sangka pamornya sudah sampai ke Swiss dan Italia.
Seorang karyawan Voice of Jogja menunjukkan salah satu kaus buatan mereka, Jumat, 10 Juli 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Yogyakarta - Outlet sekaligus workshop kaus berbahan serat bambu itu terletak di tengah perkampungan warga, di kawasan wisata Taman Sari, Yogyakarta. Tapi, kaus produksinya sudah merambah Swiss dan beberapa negara lain. Lorong kecil di depan outlet Voice of Jogja tidak terlalu ramai pagi itu, Jumat, 10 Juli 2020. Hanya beberapa warga setempat, wisatawan, dan pemandu wisata yang melintas.

Tritisan beberapa rumah yang tertimpa matahari pagi, menimbulkan bayangan hitam di lantai lorong. Cahayanya juga menerpa sejumlah tanaman yang berjejer di pinggir lorong.

Seorang pemandu wisata sempat mengajak tiga wisatawan yang dipandunya untuk mengunjungi outlet, namun beberapa menit kemudian mereka kembali keluar. Mungkin mereka ingin menghabisakan waktu melihat-lihat seluruh objek wisata di kawasan Taman Sari terlebih dahulu.

Di ruangan depan outlet, tepatnya di belakang meja kasir, seorang pemuda bermasker duduk sambil memainkan ponsel. Di sekelilingnya tergantung kaus dengan beragam warna dan motif.

Sementara, di ruangan dalam, tempat lebih banyak kaus berbahan serat bambu, seorang perempuan muda pemilik outlet tersebut, Ganing, sedang mengatur kaus-kaus produksinya.

Bahan Mengandung Antibakteri

Perempuan 33 tahun itu menjelaskan kelebihan dari bahan kaus produksinya, yakni serat bambu. Menurutnya, walaupun disebut berbahan serat bambu, tapi kaus-kaus itu tetap mengandung bahan katun. Hanya saja serat bambunya lebih dominan.

"Kalau bahan kaus sebenarnya tetap ada campuran katunnya. Itu kan sudah buatan pabrik juga. jadi sebenarnya serat bambu itu untuk campuran katun tapi lebih dominan, karena efeknya beda dengan yang full 100 persen katun, atau yang campurannya serat kayu beach itu hasil di kainnya beda-beda," tutur Ganing.

Hampir semua kausku Voice. Saya suka motifnya yang eksklusif dan selalu khas Jogja. Dipakai juga enak ji.

Ia mengatakan memilih kaus berbahan serat bambu bukan tanpa alasan. Salah satu alasannya adalah serat bambu mengandung antibakteri, sehingga mampu meredam aroma tubuh pemakainya ketika kaus itu dipakai.

Kaus berbahan serat bambu, kata Ganing, biasanya digunakan pada produk-produk underwear atau pakaian dalam dan kaus kaki. Seperti di China dan beberapa negara Asia lainnya.

"Kalau di China, atau negara Asia lainnya bahan bambu itu biasanya untuk underwear atau kaus kaki. Nah, dari situ ternyata ada pabrik untuk bahan kausnya di Indonesia, jadi ya sudah kita pakai bahan itu saja, memang sengaja cari bahan yang beda, salah satu tujuannya untuk menaikkan harga jual," ujarnya.

Voice of Jogja, sebut Ganing, sudah memiliki suplayer khusus untuk bahan baku kaus buatan mereka. Tapi, dia mengaku tidak tahu pasti tentang outlet lain yang menjual kaus berbahan sama dengan produksinya.

"Saya enggak tahu kalau di Jogja apakah ada yang jual kaus berbahan serat bambu," ujarnya.

Voice of JogjaSetiap motif kaus Voice of Jogja hanya berjumlah maksimal 120 lembar, membuat pemakainya merasa eksklusif. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Lebih Berat dan Mudah Belel

Jika pun ada outlet lain yang menjual kaus berbahan serat bambu, ada kemungkinan mereka tidak menjelaskan pada pelanggannya bahwa kaus itu berbahan serat bambu. "Mungkin enggak dijelaskan bahwa itu berbahan serat bambu, karena ketahuannya kan setelah dicuci."

Untuk membedakan kaus berbahan murni katun atau serat bambu, kata Ganing, tidak bisa hanya dengan dipegang atau melihat bentuknya. Tapi, dibutuhkan keahlian khusus untuk mengetahuinya. Biasanya yang tahu hanya orang-orang yang paham tentang kain. "Kalau dia enggak paham kain, mau dipegang kayak apa hasilnya sama, kayak katun." 

Orang-orang yang paham tentang kain, akan mengetahui kaus berbahan serat bambu dari massa kain dan warnanya. Warna kaus berbahan serat bambu pasti lebih ngedoff dan tidak sesolid kaus berbahan katun. Sementara dari massa kain, juga lebih berat. "Dia juga lebih gampang berbulu, terus kalau dicuci, walaupun enggak disikat dia tetap lebih gampang mbladus atau belel."

Mengenai kenyamanan saat dikenakan, Ganing menyebut bahwa selain bahan, kenyamanan kaus saat dikenakan juga tergantung pada selera pemakai serta potongan atau pola kaus. Meskipun selama ini beberapa pelanggan Voice of Jogja lebih memilih kaus berbahan serat bambu daripada katun.

Khusus untuk menemukan pola yang pas di tubuh pemakainya, Voice of Jogja membutuhkan waktu eksperimen selama setahun. Itu dilakukan pada tahun pertama Ganing membuka outletnya, yakni pada 2012.

Waktu itu Ganing menerima masukan dari berbagai pihak, termasuk teman-temannya yang sudah membeli kaus buatannya. "Untuk trial polanya itu setahunan. Jadi setahun di awal itu kita masih berubah-ubah polanya. Pertama misalnya kayak kaus biasa, tapi setelah dicuci dia agak naik sedikit, bagian keteknya jadi enggak nyaman, besoknya potong lagi ternyata kepanjangan, terus dari teman-teman yang pakai juga kami minta saran."

Akhirnya setelah sekitar setahun bergelut dengan pola, mereka menemukan pola yang stabil, dan digunakan hingga saat ini.

Voice of JogjaTumpukan dus di ruangan belakang outlet kaus berbahan serat bambu, Voice of Jogja, Jumat, 10 Juli 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Motif Eksklusif

Pada awal membuka usahanya, satu motif hanya dicetak untuk 12 lembar kaus, sehingga terkesan eksklusif. Namun menurut Ganing, salah satu penyebab motif cuma dicetak untuk 12 lembar adalah minimnya modal. Tapi eksklusivitas itu tetap dipertahankan sampai sekarang. Hanya saja, jumlah kaus dengan motif yang sama diproduksi lebih banyak, yakni 120 lembar per motif.

"Awalnya bikin itu eksklusif 12 lembar karena kita masih minim modal he he he. Setelah putarannya banyak, sekarang sudah sampai satu motif itu 120 lembar, itu untuk all size. Mungkin yang bikin limited itu karena kami sekali cetak dan tidak mengulang motif," ujarnya.

Kalaupun ada gambar yang sama setelah dicetak 120 lembar, Ganing memastikan ada perbedaan, entah pada warna, aksesoris, atau ukuran gambar. "Enggak mungkin samalah dengan motif sebelumnya".

Desain dan motif yang dibuat Voice of Jogja dipastikan tidak akan ditemukan di kaus-kaus produksi tempat lain, sebab Ganing dan teman-temannya mendesain sendiri.

Selain kaus berbahan serat bambu, Voice of Jogja juga mulai memproduksi kaus berbahan serat kayu peach, yang idenya justru muncul saat pandemi Covid-19.

Saat awal pandemi Covid-19, Voice of Jogja sempat tutup selama beberapa bulan, seiring tutupnya objek wisata Taman Sari. Tapi, Ganing tidak mau melewatkan begitu saja hari-harinya. Dia justru mencoba proyek-proyek baru.

"Kita nyoba-nyoba lagi. Kan enggak ada tamu datang nih di Taman Sari, akhirnya kita kayak proyek baru, ngetes kain. Jadi jual baju bukan cuma yang potong, gambar, jual. Kita ngetes dibakar, dicuci, efek ke badan gimana, gitu," tuturnya.

Voice of Jogja mematok harga Rp 160 ribu ke atas untuk kaus berbahan serat bambu. Sedangkan kaus berbahan serat kayu Peach, dibanderol dengan harga Rp 220 ribu ke atas.

Pandemi Covid-19 bukan hanya menciptakan peluang proyek baru untuk Ganing, tapi juga berpengaruh pada karyawan Voice of Jogja. Empat karyawannya harus berhenti akibat pandemi.

"Sekarang tinggal berempat. Sebelum Covid ada delapan. Yang tiga kan part timer akhirnya berhenti, kan tinggal berlima. Terus, yang satu dengan berat hati kemudian diberhentikan karena keuangan belum stabil untuk menahan lima orang," ujarnya.

Voice of JogjaDampak pandemi membuat karyawan Voice of Jogja yang tadinya berjumlah delapan orang menjadi tinggal empat orang. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Dijual di Swiss

Meski tempat produksinya nyempil di lorong kecil di sekitar kawasan Taman Sari, Yogyakarta, kaus Voice of Jogja sudah dipasarkan hingga ke Swiss. 

Ganing mengaku pernah bekerja sama dengan orang Swiss pada 2017. Dia mengirim kaus-kaus buatannya ke sana. Sekali pengiriman biasanya sebanyak 20 kilogram atau 180 hingga 200 lembar kaus. Tapi sayang, kerja sama itu terpaksa berhenti setelah 1,5 tahun berjalan. Penyebabnya, kata Ganing, rekan bisnisnya tersebut sering berpindah negara untuk melakukan pameran keliling.

"Yang Swiss ini akhirnya berhenti, karena dia orangnya hobi keliling dunia. Jadi ketika dia ada ada jadwal pindah lagi. Saya pernah mengirim ke Bali, padahal yang menerima ya si orang Swiss itu. Dia lagi ada pameran di sana. Nah, model pameran yang pindah-pindah itu kadang enggak ter-cover shipping-nya kan," ujar Ganing.

Beberapa waktu lalu Ganing juga hampir bekerja sama dengan orang dari Italia. Tetapi kemudian batal karena ongkos pengiriman yang terlalu mahal. "Shipping-nya kemahalan, enggak masuk sama harga dia."

Untuk pasar domestik, kaus Voice of Jogja memiliki pelanggan dari Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Salah satunya adalah Mahathir, wisatawan asal kota Anging Mamiri, yang ditemui di outlet Voice of Jogja.

Menurut Mahathir, hampir semua kaus yang dimilikinya adalah produksi Voice of Jogja, dan setiap berkunjung ke Yogyakarta dia selalu menyempatkan diri untuk membeli kaus di situ.

"Hampir semua kausku Voice. Saya suka motifnya yang eksklusif dan selalu khas Jogja. Dipakai juga enak ji," ucap pria berjenggot ini.

Menurutnya harga kaus yang dipatok sudah sesuai dengan kualitas barang yang dibeli, dan cukup terjangkau. "Kadang ada teman juga titip dibelikan kalau saya ke Jogja." []

Baca cerita lain:

Berita terkait
Lulusan SD di Tegal, Bikin Robot Bantu Atasi Covid-19
Kejutan dari Tegal, Jawa Tengah, cuma lulusan SD, bisa bikin robot canggih untuk membantu tenaga medis merawat pasien Covid-19 di rumah sakit.
Mencari Berkah Sungai di Bawah Langit Bantaeng
Di sebuah sungai di Bantaeng, Sulawesi Selatan, Muhammad Ilyas mencari pasir dan batu. Ada Kamariah, istrinya, setia menemani dan turun tangan.
Laki-laki yang Kunikahi Ternyata Perempuan
Memakai jas hitam, peci menutupi rambut cepaknya, dia tampak gagah layaknya pria tangguh. Hingga kemudian rahasianya terungkap. Dia perempuan.