Kasus Novel Baswedan, Refly Harun: Walau Punya Imajinasi, Kita Tak Boleh Berspekulasi

'Walau kita punya imajinasi masing-masing terkait kasus Novel Baswedan, kita tidak boleh berspekulasi.' - Refly Harun
Penyidik senior KPK Novel Baswedan memberi penjelasan dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) di Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (14/11/18). Rakornas UPG yang diselenggarakan KPK tersebut diikuti perwakilan kementerian, lembaga, organisasi dan pemerintah daerah bertujuan membangun sinergi, harmoni dan persepsi pada masing-masing UPG di setiap instansi untuk bersama-sama mengendalikan gratifikasi. (Foto: Antara/Arif Firmansyah)

Jakarta, (Tagar 3/12/2018) - Ahli Hukum Tata Negara dan Pengamat Politik Indonesia, Refly Harun mengatakan berlarut-larutnya pengungkapan kasus Novel Baswedan harus ditelusuri apakah terkendala masalah teknis atau politis. 

"Saya kira jika hambatannya soal politik, maka intervensi politik diperlukan. Tapi kalau hambatan teknis, tinggal ditanyakan kepada pihak penyidik," ujar Refly Harun saat dihubungi Tagar News, Senin (3/12).

Refly Harun menyatakan hal tersebut menanggapi Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (WP KPK) yang mendesak Presiden Jokowi turun tangan dalam pengungkapan kasus penyerangan air keras yang melukai mata penyidik KPK Novel Baswedan pada 11 April 2017.

Baca juga: Pegawai KPK Sebut Jokowi Menghindar dari Kasus Novel Baswedan

"Soal ini kita lihat apakah masalah politik atau teknis, jika teknis tentu kepolisian harus lebih meningkatkan kinerjanya untuk mengungkapkan kasus ini, karena sudah 600 hari. Jika masalah politis, kasus ini terkendala masalah politik, tentu Presiden harus turun tangan," ujar Refly.

"Saya tidak tahu ini masalah teknis atau politik. Karena tentu jika dikaitkan dengan suara masyarakat, ya tentu masyarakat bertanya-tanya mengapa begitu lama pengungkapan kasus ini. Apakah terkendala masalah politik? Karena itulah tidak heran jika orang meminta Presiden Jokowi turun tangan. Saya bukan penyidik, harusnya jika ini masalah teknis, polisi harus tingkatkan kinerja untuk ungkap kasus ini," jelas Refly lagi.

Ia menambahkan, "Presiden harus tanya pihak kepolisian apa kendala dalam mengungkapkan kasus ini, apakah masalah teknis apakah masalah politis. Kalau teknis minta polisi tingkatkan kinerja. Jika politis, apa masalah politiknya."

Refly mengatakan, setiap orang boleh saja punya imajinasi terkait kasus Novel Baswedan, tapi tidak boleh berspekulasi, karena kasus ini harus dilihat berdasarkan data. 

Ia mengatakan desakan WP KPK pada Presiden itu hal yang wajar. "Saya kira itu langkah yang tepat, karena yang menjadi korban itu kan pegawai KPK dan ini bukan kasus korupsi," kata Refly.

Sementara itu, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz saat dihubungi Tagar News, Senin (3/12) mengatakan, "Menurut saya ini tanggung jawab negara, tanggung jawab presiden dalam mengungkap kasus penyerangan Novel yang tidak kunjung terungkap."

Sedangkan Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar mengatakan, "Boleh saja setiap WNI meminta Presiden Jokowi intervensi kasus NB, apalagi wadah pegawai di mana NB bernaung. Dengan tidak atau belum menjawab, bisa dikatakan Presiden Jokowi belum atau tidak mendengar aspirasi rakyat khususnya yang konsen terhadap kasus NB."

"Polri kelihatannya sangat hati-hati bahkan cenderung tidak berani, hal ini yang menimbulkan prasangka dalam masyarakat termasuk prasangka negatif," lanjut Fickar pada Tagar News, Senin (3/12).

Seharusnya, lanjut Fickar, Presiden Jokowi segera membentuk tim independen untuk membantu polisi mengungkap kasus NB. []

Berita terkait