Bandung - Gerakan Ganyang Mafia Hukum (GGMH) Indonesia berharap lembaga penegak hukum, mulai dari Polri hingga Kejaksaan Agung mulai melakukan evaluasi internal atau mereformasi lembaga dengan benar. Momentum untuk bersih-bersih. “Rakyat sangat berharap beking dalam kasus Djoko Tjandra diadili, bukan hanya di pecat saja,” harap Koordinator GGMH Indonesia, Torkis Parlaungan Siregar, saat dihubungi dari Bandung, 7 Agustus 2020.
Evaluasi internal (reformasi) memang harus dilakukan pada lembaga penegak hukum tersebut lanjut Torkis menjelaskan, karena di duga kuat adanya oknum-oknum yang menyalahgunakan kekuasaan di Polri maupun Kejaksaan Agung dalam kasus Djoko Tjandra ini.
1. Kasus Djoko Tjandra Bukti Indonesia Darurat Korupsi
“Untuk itu, kami (GGMH) sangat mendukung Kapolri Idham Azis melakukan bersih-bersih di tubuh Polri dari oknum-oknum yang telah merusak lembaga Polri, dan sistem penegakkan hukum. Termasuk mendukung Kejaksaan Agung untuk melakukan reformasi di tubuh Kejaksaan Agung,” ujar Torkis.
Adanya bekingan kuat dalam kasus Djoko Tjandra, menurut Torkis, tentu saja sudah menciderai penegakan hukum, termasuk lembaganya, hingga upaya pemberantasan korupsi. Hal ini menjadi bukti kuat Indonesia masih dalam kondisi darurat korupsi, dan ini menjadi persoalan besar bangsa ini. Sebab, dalam praktiknya menggurita dari hulu ke hilir.
“Realitas negara-negara yang indeks persepsi korupsinya tinggi mengindikasikan level atau tingkat korupsi suatu negara secara objektif. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dan Laporan Transparansi Internasional Indonesia, Indonesia masuk ke peringkat 90 dari 180 negara yang nilai IPK (Indeks Persepsi Korupsi )-nya 40 skala 1 sampai dengan 100 di tahun 2019,” keluh dia.
Belajar dari negara yang IPK-nya tinggi tambah Torkis, setidaknya beberapa rekomendasi yang seharusnya dilakukan pemerintah diantaranya; adanya political will pimpinan pemerintahan (legislatif, eksekutif, yudikatif) dari sebuah negara untuk memberantas dan mencegah kejahatan korupsi. Perundang-undangan yang dibuat pun harus memaksimalkan fungsi dan tugas penegak hukum, dan tentu saja harus ada perbaikan sistem yang transparan, akuntabel dan integritas.
2. Jangan Ada Lagi Putusan Hakim Tipikor Hanya 2,6 Tahun
“Selain itu, pendidikan anti korupsi harus sudah mulai masuk dalam kurikulum pendidikan formal minimal dari SD sampai SMA. Sosialisasi yang berkelanjutan, konsisten membangun kesadaran kolektif secara budaya, nilai-nilai anti korupsi menjadi masif, telah menjadi bagian dari praktik hidup,” tambah dia.
Terakhir, putusan hakim dalam tindak pidana korupsi (Tipikor) pun harus tidak ada lagi yang memutuskan hanya 2,6 tahun untuk koruptor. Namun, harus mulai berpedoman pada Perma) No.1 tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
“Karena dengan begitu dapat dimaknai ekspektasi dampak efek jera dan akomodasi rasa keadilan publik,” tegas dia. []