Kepala Polri Jenderal Idham Azis melakukan gebrakan awal kepemimpinannya dengan memerintahkan jajarannya tidak bergaya hidup mewah dalam kehidupan sehari-hari. Perintah ini tentu tidak keluar jika Idham tak melihat ada sesuatu yang harus dibenahi pada jajarannya. Dan karena itu mesti lewat “perintah,” tidak “imbauan” yang tentu saja bisa dipatuhi atau dianggap angin lalu.
Perintah Idham disebarkan melalui Surat Telegram Rahasia (TR) pada 15 November 2019 kepada seluruh anak buahnya. Setidaknya ada tujuh poin yang diserukan Kapolri. Mereka yang melanggar perintah ini akan mendapat sanksi.
Perintah Kapolri ini tentu kita sambut gembira. Memamerkan kekayaan, memamerkan gaya hidup hedonis, jelas bukan tabiat bagus. Sebaliknya tercela, memalukan, apalagi jika dilakukan aparat yang sehari-hari hidup berinteraksi dengan masyarakat. Apalagi jika ia bertugas di lingkungan masyarakat berkekurangan.
Selama ini publik memang bisa melihat bagaimana banyak para pejabat -atau “setengah pejabat”- yang dalam kesehariannya --sadar atau tidak-- memamerkan kekayaannya. Di media sosial, istri dan keluarga mereka, menginformasikan di mana mereka berlibur, di mana mereka makan malam, berbelanja, dan seterusnya. Tentu bukan berlibur biasa dan bukan malam di tenda kaki lima. Demikian pula dengan polisi. Kita bisa melihat di sekitar kita, bagaimana “polisi-polisi kita yang sukses” wara-wiri dengan kendaraan terbilang mewah.
Tak ada yang salah jika seorang polisi menjadi kaya atau ingin menjadi kaya. Peraturan Kapolri No 9 Tahun 2017 tentang Usaha Bagi Anggota Polri membolehkan polisi melakukan usaha demi meningkatkan kesejahteraan selama tak mengganggu tugas pokok, tidak memanfaatkan jabatan/kedudukan, dan tidak menggunakan fasilitas dinas.
Namun, manakala kekayaan itu kemudian dimunculkan di depan publik sebagai suatu “gaya hidup” yang dianggap hal biasa, memang tak pantas. Di sini kita patut memuji sikap Jenderal Idham yang melarang hal demikian. Perintah Idham yang meminta jajarannya hidup sederhana adalah tepat.
Kesederhanaan semestinya memang dicontohkan dari atas. Kepolisian memiliki “legenda polisi,” Hoegeng Imam Santoso, yang demikian sederhana hidupnya sehingga saat pensiun sebagai kapolri, sejumlah sejawatnya membelikan mobil dinas yang dipakainya agar ia memiliki mobil. Kesederhanaan hidup Hoegeng sejalan dengan kejujurannya sehingga memunculkan anekdot bahwa di Indonesia polisi jujur hanya ada dua: Hoegeng dan polisi tidur!
Di sisi lain kita mungkin pernah geleng-geleng kepala melihat harta kekayaan mantan Kepala Korps Lalu-Lintas Irjen Djoko Susilo. Menjadi tersangka kasus korupsi pengadaan simulator SIM tahun 2011, Djoko memiliki kekayaan luar biasa: 28 rumah mewah, 3 SPBU, apartemen, villa, hingga sejumlah sawah di berbagai tempat.
Seperti institusi lain pendapatan, gaji, seorang polisi adalah terukur. Artinya pendapatan seorang ajun komisaris besar atau komisaris besar sudah ditentukan negara -dengan segala rinciannya. Dengan ia tidak melakukan kegiatan ekonomi lainnya maka berapa yang ia dapat setiap bulan dari negara sudah bisa diperkirakan. Karena itu jika para polisi itu tampil di masyarakat dengan gaya hidup hedonis tak salah jika publik bertanya: darimana kelimpahan harta itu didapat.
Jenderal Idham Azis telah melakukan langkah awal yang baik untuk jajarannya. Semestinya ini tidak hanya kepolisian, tapi seluruh pimpinan lembaga lain pun perlu mencontoh yang dilakukan Idham.
Mungkin sulit menghentikan kebiasaan gaya hidup mewah (hedonisme) yang bertumpu pada ukuran banyaknya materi yang dimiliki, sesuatu yang seolah merupakan simbol kesuksesan. Namun, dengan ancaman sanksi, semoga tabiat tak terpuji itu bisa direm. []
Penulis: wartawan dan pengamat hukum