Kamis Putih, Simbol Pemimpin yang Melayani dan Rendah Hati

Paus Fransiskus telah menunjukkan jati dirinya sebagai seorang pemimpin yang melayani dan rendah hati kepada mereka yang dilayani.
Paus Fransiskus melakukan pembasuan kaki pada Kamis Putih. (Foto: Ist)

Kupang, (Tagar 29/3/2018) - Pemilu 2019 tampak masih lama. Namun, genderang politiknya sudah ditabuhkan pada tanggal 3 Oktober 2017 lewat pendaftaran partai politik di KPU serta mengiangnya pilkada serentak pada tanggal 27 Juli 2018.

Tahun politik tampaknya sangat ditunggu oleh rakyat Indonesia sebagai tahun pergantian kepemimpinan dengan sebuah optimisme bahwa mereka akan mendapatkan seorang pemimpin yang rendah hati, melayani menuju terciptanya masyarakat yang adil dan berkemakmuran menuju pintu sejahtera.

Momentum ini, menurut pengamat politik dari Universitas PGRI Yogyakarta Ahmad Jauhari, merefleksikan kembali secara kritis atas kepemimpinan Bung Karno, presiden ke-1 RI, yang dikenang sebagai pemimpin pemberani meski juga tidak luput dari kontroversi.

"Ini modal penting yang patut diteladani dan diwariskan kepada para calon pemimpin masa depan. Bung Karno juga dikenang sebagai pemimpin brilian. Di samping jago berpidato, Bung Karno juga tangkas menulis. Kemampuannya dalam menulis sungguh bernas, ranum, dan cerdas," katanya.

Namun, situasi politik yang terjadi saat ini berbeda jauh dengan situasi pada era kepemimpinan Bung Karno. Sungguh, kian jamak pemimpin yang diam, bahkan banyak bicara namun tanpa makna.

Mereka bukan malas berpikir lantas tidak mau bekerja, melainkan lemahnya kemampuan para pemimpin menatap dan mengurai problem-problem rumit dengan sikap sederhana.

Banyak orang berkumpul tetapi gaduh dan terasing dengan dunianya sendiri. Mereka tidak mampu lagi diam. Diam bukanlah hilangnya bunyi, juga bukan membisu melainkan hanya mendengarkan dalam kesunyian untuk menyimak dengan sungguh kegaduhan dalam berpolitik di republik ini.

Dalam situasi dan kondisi yang karut-marut sekarang ini, bangsa Indonesia membutuhkan seorang pemimpin yang mau mengobarkan semangat juang untuk banyak bicara, banyak bekerja, dan banyak mendengar keluhan rakyat.

Kondisi inilah yang tampaknya diinginkan oleh rakyat Indonesia dalam tahun politik ini untuk mendapatkan seorang pemimpin yang berani, tegas, dan peduli terhadap nasib rakyat sebab menjadi pemimpin harus memampukan diri untuk menggugah kesadaran menuju gerbang cita-cita luhur yang didambakan seluruh rakyat Indonesia.

Dalam tradisi Gereja Katolik, Kamis Putih yang akan dirayakan umat Katolik sedunia pada hari Kamis (29-3-2018) merupakan simbol dari Trihari Suci menjelang perayaan Paskah yang dikenang umat Kristen sedunia sebagai hari kebangkitan Yesus Kristus dari kematiannya di kayu salib.

Simbol terpenting dari perayaan Kamis Putih ini adalah perjamuan malam terakhir yang diadakan Yesus bersama 12 orang murid-Nya serta membasuh kaki mereka sebagai simbol pelayanan yang tulus dari seorang pemimpin kepada murid-murid-Nya.

Dokumen yang menuliskan ketentuan perayaan yang terkait dengan Paskah, yang disebut Paschales Solemnitatis, yang dikeluarkan oleh Congregation of Divine Worship (Kongregasi Penyembahan Ilahi), 1988 menyebutkan bahwa pencucian kaki dari para laki-laki dewasa yang terpilih, menurut tradisi, dilakukan pada hari ini Kamis Putih.

Hal ini untuk menyatakan bahwa pelayanan dan cinta kasih Kristus yang telah datang "bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani". Tradisi ini terus dipertahankan dan masih terus berlangsung pada setiap perayaan Kamis Putih.

Namun, keputusan Paus Fransiskus, pemimpin umat Katolik sedunia untuk membasuh kaki kaum wanita dalam kunjungannya ke sebuah penjara beberapa waktu lalu, tampaknya sangat tidak sesuai dengan dokumen yang dikeluarkan oleh Kongregasi Penyembahan Iilahi tahun 1988.

Paus Fransiskus memutuskan untuk tidak membasuh kaki laki-laki dewasa, tetapi remaja putra dan termasuk dua orang remaja putri yang salah satunya adalah muslim. Apakah Sri Paus salah menafsirkan makna pembasuhan kaki tersebut? Mungkin saja. Hanya karena Paus memasukkan upacara pembasuhan kaki kaum tersisih ini ke dalam liturgi Kamis Putih sehingga memunculkan kontroversi. Namun, di sini semua orang harus melihat secara objektif bahwa hal mencuci kaki para kaum tersisih itu bukan ide Paus yang baru ada saat ini.

Hal itu sudah dilakukan sejak lama, hanya dahulu memang tidak dilakukan di dalam perayaan ekaristi. Dalam hubungan dengan itu, Paus tidak butuh meminta izin untuk membuat kekecualian tentang bagaimana suatu ketentuan gerejawi itu dipenuhi.

Pasalnya, Paus adalah pembuat hukum Gereja. Maka, dia merangkap sebagai legislator, interpreter, dan executor (pelaksana hukum tersebut) yang dapat memutuskan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan pertimbangan kebijaksanaannya sendiri untuk menyampaikan pesan utama Injil, sesuai dengan keadaan Gereja pada saat tertentu.

Juru bicara kepausan Fr. Thomas Rosica mengatakan bahwa maksud Paus Fransiskus merayakan Misa Kamis Putih di penjara Roma (tahun 2013) adalah untuk menekankan esensi makna Injil pada hari Kamis Putih, dan suatu tanda sederhana dan indah dari seorang bapa yang ingin merangkul semua yang terpinggirkan di masyarakat.

"Itu hendaknya dipandang sebagai tanda sederhana dan spontan dari seorang Uskup Roma, untuk maksud menunjukkan kasih, pengampunan dan belas kasihnya kepada sesama," ujarnya.

Jika seorang Paus menilai bahwa sesuai dengan keadaan khusus dari perayaan yang dipimpinnya, menurut dia, sebuah kekecualian dibuat. Namun, hal itu tidak menciptakan pola hukum yang memperbolehkan semua uskup dan imam yang lain untuk melakukan hal yang sama.

"Tidak semua orang memiliki keadaan seperti Paus. Mereka tidak mempunyai keadaan pastoral dan otoritas hukum yang sama dengan Paus. Maka, wewenang mereka pun berbeda dengan wewenang Paus dalam hal ini," kata Thomas Rosica.

Makna terdalam dari pembasuhan kaki pada hari Kamis Putih ini untuk menyatakan pelayanan dan cinta kasih Kristus kepada sesama, dan Paus Fransiskus telah menunjukkan jati dirinya sebagai seorang pemimpin yang melayani dan rendah hati kepada mereka yang dilayani.

Ritus pembasuhan kaki adalah ritus optional, dan baru dimasukkan ke dalam bagian Misa pada tahun 1955 oleh Paus Pius XII sehingga selalu mengalami perubahan dari masa ke masa.

Namun, karena tidak menjadi ritus yang mutlak, hal tersebut memungkinkan untuk disesuaikan oleh pihak Tahta Suci jika kelak memang diputuskan demikian.

Banyak hal yang dipelajari dari perayaan Kamis Putih tersebut, seperti bagaimana mempelajari tentang makna pelayanan, kerendahan hati, kebersamaan, dan kesederhanaan. Situasi ini memberikan sebuah pelajaran keteladanan mengenai penghormatan.

Tindakan Yesus membasuh kaki merupakan tindakan simbolis yang menyimbolkan penyerahan diri, pembersihan, pengampunan, pembaharuan, kerendahan hati, dan keinginan untuk menjadi hamba yang mau melayani orang yang hina sekalipun.

Melalui simbol pelayanan yang diberikan oleh Yesus kepada murid-murid-Nya pada hari Kamis Putih, rakyat Indonesia juga menghendaki seorang pemimpin yang berani, tegas, peduli terhadap nasib rakyat, rendah hati, dan setia melayani menuju gerbang cita-cita luhur yang didambakan pada tahun politik 2018 dan 2019. ant/rmt

Berita terkait
0
Presiden Jokowi Tiba di Abu Dhabi
Presiden Jokowi, dan Ibu Iriana Jokowi tiba di Bandar Udara Internasional Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA) pada hari Jumat, 1 Juli 2022