Kamar Pingit Saksi Bisu Penderitaan Batin Kartini

Kamar Pingit saksi bisu penderitaan batin Kartini, sampai sekarang masih lestari. Letaknya di Kompleks Pendapa Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Kamar pingit Kartini dilihat dari depan. Tidak ada yang berubah dari ruangan ini. Hanya saja, kini tembok bagian luar dilapisi kertas dinding (wallpaper). Bagian dalam tetap dipertahankan sebagaimana aslinya. (Foto: Tagar/Padhang Pranoto)

Jepara - "... penjara adalah rumah besar dengan halaman luas di sekelilingnya. Tetapi dilingkari dengan dinding yang tinggi, yang mengurung saya..."

Demikianlah Raden Ajeng Kartini berkeluh kesah mengenai tradisi pingitan, yang harus ia jalani sebagai putri Jawa. Tradisi yang mengungkung raga ringkih Kartini, dijalani selama enam tahun dalam sebuah kamar pingit.

Kamar Pingit yang menjadi saksi bisu penderitaan batin Kartini, sampai sekarang masih lestari. Letaknya di Kompleks Pendapa Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Tagar, berkesempatan mengunjungi lokasi ini pada Senin, 16 September 2019. Sehari sebelum peringatan ke-115 tahun kematiannya, Selasa 17 September 2019.

Jangan membayangkan, kamar pingit sebagai sebuah tempat yang suram. Justru, ruangan berdimensi sekira 6x5 meter persegi ini merupakan bagian dari sebuah keraton. Yakni tempat bertahta raja atau penguasa pada zaman dulu.

Letaknya di Jl Kartini No 1. Sesuai konsep Jawa, bangunan ini berdekatan dengan alun-alun dan masjid agung. Khalayak lebih sering menyebutnya dengan pendapa (baca: pendopo) kabupaten, yang dibangun pada masa pemerintahan Adipati (bupati) Jepara bergelar Tjitrosumo ke III, tahun 1750 masehi.

Kamar Pingit sendiri, terletak di bagian belakang pendapa yang juga berstatus sebagai rumah dinas bupati, saat ini. Bangunan ini dapat menampung ratusan orang dan terbagi dalam berbagai ruang, seperti pendapa, pringgitan, senthong (kamar tidur), dan pendapa wingking (belakang).

Nah, kamar pingit terletak di bagian belakang tepat sebelum pendapa wingking. Kamar ini berada di sisi kanan, dengan pintu krepyak dari kayu jati setinggi lebih kurang dua meter, berwarna krem. Di dalamnya terdapat sebuah ranjang kayu berukir khas Jepara tanpa kasur.

Di sebelah kanan ranjang, terdapat kompartemen 'rahasia', bergagang tembaga, yang lazim digunakan sebagai tempat menyimpan perhiasan.

Di atas ranjang ada bothekan (tempat obat) serta lukisan-lukisan karya Kartini. Lalu adapula buffet kecil, sebuah meja dan kursi belajar, berikut cermin bulat, papan permainan dakon, dan alat untuk membatik.

Pada dindingnya tertempel lukisan diri Kartini, ibu kandungnya Mas Ayu Ngasirah dan potret Kartini beserta keluarganya. Lantainya tegel, berwarna gelap mengkilat.

Tidak ada yang menyeramkan, semua terlihat normal bagi bangsawan. Bahkan mewah, untuk ukuran kaum jelata.

Momok bagi Kartini sebenarnya adalah kekangan tradisi Jawa waktu itu, pingitan. Sebuah tradisi yang bertujuan 'mengurung' perempuan sebelum ada laki-laki yang meminangnya. Kebiasaan ini konon ditujukan agar perempuan dapat mempersiapkan diri menjadi "pelayan" bagi suaminya dan pendidik bagi anak-anaknya, kelak.

Di manakah ia dapat meletakkan kepalanya yang capek ini dan melepaskan tangis kesedihannya?

RA KartiniReplika cermin yang ada di kamar pingit Kartini. (Foto: Tagar/Padhang Pranoto)

***

Lahir di Kecamatan Mayong pada 21 April 1879, Kartini memang memiliki trah bangsawan. Ayahnya seorang penguasa Jepara bergelar Raden Mas Adipati Aria Sosroningrat, sedangkan ibu kandungnya adalah Mas Ayu Ngasirah.

Di keluarganya, Kartini memiliki seorang ibu lagi yakni Raden Ayu Moerjam. Ia adalah permaisuri atau garwa padmi dari Sosroningrat. Sedangkan ibu kandung kartini, berstatus garwa ampilatau selir, yang berderajat lebih rendah dari Moerjam ataupun Kartini sendiri.

Adat Jawa mengatur, Ngasirah sebagai selir harus bersimpuh dan memanggil ndara (bendara: tuan) kepada putrinya sendiri, Kartini. Sikap itu juga harus ditunjukkan kepada anak-anak dari R.A. Moerjam.

Karena adat yang kolot pula, Kartini pun harus mengubur cita-citanya bersekolah tinggi, karena tradisi pingitan.

Pada usia menginjak 12 tahun lebih enam bulan, Kartini baru saja menamatkan sekolah Europeesche Lagere School. Sebuah sekolah jenjang dasar bagi anak keturunan Eropa atau bangsawan Jawa, pada waktu itu.

Ketika hendak melanjutkan ke sekolah tingkat menengah Hogere Burger Scoll (HBS), keinginannya ditentang sang ayah. Ia dianggap cukup mengenyam pendidikan untuk ukuran perempuan pada zaman tersebut.

Hancur benar perasaan Kartini. Sebagai remaja yang tengah gandrung menuntut ilmu, ia merasa diperlakukan tak adil, hanya karena berkelamin perempuan. Sedangkan, kakak laki-laki kandungnya, Raden Mas Sosrokartono bebas mengenyam pendidikan tinggi.

Kesedihan Kartini tak diperbolehkan melanjutkan sekolah tergambar jelas dalam suratnya pada Abendanon pada bulan Agustus 1900. Seperti tertulis dalam buku Kartini Penyulut Api Nasionalisme, anggitan Hadi Priyanto.

Kartini yang belum genap 13 tahun memohon sambil bersimpuh di hadapan sang ayah. Keinginannya hanya satu meneruskan ke HBS di Semarang. Lalu Sosroningrat memanggilnya dengan lembut sambil mengelus rambut Kartini, dan berkata, Tidak!

Jawaban sang ayah memecahkan tangis Kartini. Air matanya tak terbendung. Ia lari ke dalam kamarnya dan bersembunyi dalam kolong ranjang. Dadanya sesak menahan deru kecewa yang membuncah.

....Di manakah ia dapat meletakkan kepalanya yang capek ini dan melepaskan tangis kesedihannya?.... tulis Kartini pada sahabat penanya, Abendanon, Agustus 1900 (Dri Arbaningsih, Kartini dari Sisi Lain Melacak Pemikiran Kartini tentang Emansipasi Bangsa, 2005:24).

Penjara saya adalah rumah besar dengan halaman yang luas di sekelilingnya.

RA KartiniRanjang milik RA Kartini. Meskipun replika, namun tempat tidur ini dibuat semirip mungkin dengan ranjang asli kepunyaan Kartini. Sementara yang asli, diboyong ke Kabupaten Rembang, saat Kartini dipinang oleh Adipati Ario Singgih Djojoadiningrat. (Foto: Tagar/Padhang Pranoto)

Hadi Priyanto yang juga ketua dari Yayasan Kartini Indonesia menyebut, tahun-tahun pertama dipingit merupakan hal terberat bagi Kartini. Ia merasa cita-citanya untuk mengembangkan sayap dan mengisap ilmu pengetahuan pupus. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung, saat itu disebut Kartini sebagai sangkar emas.

Tidak ada jeruji yang mengelilingi kamar, hanya sebuah tembok dan pintu-pintu tinggi. Hal ini ia tuliskan pada Stella, sobat penanya asal Eropa pada 6 November 1899.

"... penjara saya adalah rumah besar dengan halaman yang luas di sekelilingnya. Tetapi dilingkari dengan dinding yang tinggi yang mengurung saya. Betapa luas rumah dan halaman kami, namun kalau kami harus tinggal di situ, akhirnya sesak juga rasanya. Terngat oleh saya karena putus asa yang tidak terhingga berulang kali saya mengempaskan badan pada pintu yang selalu tertutup dan pada dinding batu yang dingin ini. Ke arah mana pun saya pergi, akhirnya setiap kali saya sampai pada dinding batu atau pintu yang terkunci...." (Hadi Priyanto, Kartini Penyulut Api Nasionalisme: 17).

Namun setelah menjalani pingitan bertahun-tahun, jiwa Kartini mulai ditempa kedewasaan. Dalam bukunya, Dri Arbaningsih membagi fase perkembangan kedewasaan Kartini menjadi tiga. Pada usia 13 tahun sampai 19 tahun adalah masa kegelapan. Lalu pada usia 20-24 tahun merupakan masa pematangan dan pencerahan, dan pada usia 24 adalah masa kehidupan baru dan kebebasan.

Dalam pingitan, diceritakan Hadi Priyanto, Kartini tidak lantas terkurung selamanya dalam kamar. Ia masih diperbolehkan keluar kamar menuju halaman belakang dan di sekitarnya. Ayahnya Sosroningrat pun memberikan akses bacaan mingguan yang disebut leestromel, sebagai upayanya untuk menebus rasa bersalah karena "memenjarakan" Kartini.

Selain itu, ia juga bisa membaca buku-buku milik kakak kandungnya Sosrokartono, yang sebagian besar berbahasa Belanda. Di antaranya De Locomotief sebuah koran yang terbit di Semarang sejak tahun 1852, majalah De Gids, Hollandsche dan De Echo. Ada pula buku karya C. Goekoop de Jong van Beek en Donk, Hylda van Suylenburg, Amsterdam, 1898 ; Augusta de Wit, Natuur en Menschen in Indie, Amsterdam, 1900, dan Java's-Gravenhage, 1907; Louis Couperus, De Stille Kracht, Amsterdam, 1900.

Betapa luas rumah dan halaman kami, namun kalau kami harus tinggal di situ, akhirnya sesak juga rasanya.

RA KartiniSudut kamar pingit RA Kartini. (Foto: Tagar/Padhang Pranoto)

Selama menjalani pingitan, hanya kakaknya Sosrokartono lah yang menjadi penguat jiwa dalam menghadapi kungkungan adat. Lambat laun jiwa Kartini tumbuh menjadi kuat. Ia memiliki pikiran menentang adat yang mengekang kebebasan perempuan. Bahkan pokok pikirannya itu kemudian mengilhami asas kebebasan bangsa.

Tradisi pingitan, bukan hanya berlaku bagi Kartini. Kedua adiknya Kardinah dan Roekmini pun turut merasakan hal serupa. Setelah lebih kurang empat tahun menjalani masa pingitan, ketiganya diperbolehkan keluar pagar pendapa, meskipun masih berstatus dipingit.

Mereka lantas menyambangi banyak tempat seperti Gereja Injili Tanah Jawa di Dukuh Kedungpenjalin, Desa Karanggondang, Kecamatan Mlonggo, untuk menghadiri sebuah acara penahbisan. Hal itu diungkapkan oleh Pendeta GITJ Dukuh Kedungpenjalin, sebagaimana dirangkum oleh Tempo pada buku berjudul Gelap Terang Hidup Kartini, halaman 37.

Selain itu, mereka juga diperbolehkan pergi ke Semarang untuk menghadiri perayaan Hari Penobatan Ratu Wilhelmina, pada tahun 1898. Ketika itu Kartini telah menjalani masa pingitan selama enam tahun, sementara Roekmini dan Kardinah baru menjalani pingitan selama dua tahun.

Ketiga saudara yang menjuluki diri sebagai het Klaverblad atau daun semanggi itu, sempat pula mendirikan sekolah keputrian, di pendapa wingking.

Dari ruang pingitan ini, lahir banyak pemikiran Kartini tentang budaya maupun asas emansipasi (kesetaraan) baik perempuan maupun bangsa (Jawa) dengan bangsa asing. Beberapa karya Kartini yang fenomenal adalah Habis Gelap Terbitlah Terang, yang memuat korespondensi Kartini dengan Abendanon. Selain itu adapula nota Kartini untuk Menteri jajahan A.W.F. Idenburg yang bertajuk Berilah Jawa Pendidikan! Adapula nota Kartini untuk Gubernur Jenderal Willem Rosenboom tertanggal 19 April 1903.

Namun, Kartini tak dapat menyaksikan cita-citanya terwujud. Setelah dipingit, Kartini kemudian melangsungkan pernikahan dengan Bupati Rembang Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat pada 8 November 1903 dan meninggal pada 17 September 1904, pada usia 25 tahun, setelah melahirkan putranya, Soesalit.

Kalau tak ada dia, kita mungkin masih diinjak-injak oleh pria.

RA KartiniKompleks pendapa Kabupaten Jepara yang megah. Namun siapa sangka, RA Kartini pernah mengeluhkannya karena dianggap sebagai penjara jiwanya, selama menjalani masa pingitan. (Foto: Tagar/Padhang Pranoto)

***

Kini setelah ratusan tahun, warisan Kartini berupa kamar Pingit memang masih terawat. Hanya saja, seluruh barang yang ada di dalamnya adalah replika. Lantaran, saat menjadi istri Bupati Rembang Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, seluruh barang kepunyaan Kartini diboyong ke rumah suaminya.

Kini, kecuali fisik kamar dan ruangannya, adalah barang replika. Termasuk ranjang, meja belajar dan lukisan adalah tiruan dari yang asli.

Namun sayang, untuk bisa mengakses kamar Pingit tidaklah mudah. Lantaran, statusnya sebagai rumah bupati, menjadikan aksesnya harus secara protokol.

Karenanya, tidak semua warga terutama perempuan, pernah menginjakkan kaki ke kamar Pingit.

Seperti Cyntia Dwi Maharani. Pelajar SMKN I Jepara itu mengaku tak pernah menginjakkan kaki di ruang pingit. Padahal ia sudah beberapa kali masuk ke pendapa Kabupaten Jepara.

Baginya sosok Kartini hanya dipahami sebagai gambaran perempuan yang membela emansipasi bagi kaumnya.

"Kartini itu berjuang untuk kaum wanita. Ia juga tegas sekali karena mendirikan sekolah untuk wanita. Kalau ke ruang pingit belum pernah sih. Cuma kenal beliau dari cerita-cerita," katanya.

Hal serupa dikatakan Septiana Tsanalaisa. Menurutnya, Kartini merupakan sosok emansipasi yang membebaskan kaumnya dari penjajahan pria.

"Kalau tak ada dia, kita mungkin masih diinjak-injak oleh pria," tutur gadis yang bersekolah di SMKN I Jepara itu.

Ketua Yayasan Kartini Indonesia Hadi Priyanto menuturkan inti perjuangan Kartini sejatinya lebih luas dari sekadar emansipasi perempuan. Melalui gagasannya yang tercetus saat ia dipingit, Kartini banyak melahirkan pandangan terkait kebangsaan dan nasionalisme.

"Kegiatan Khaul Kartini ke-115 merupakan ajang untuk mengingat Kartini, melalui momen wafatnya. Spirit Kartini tak boleh sekadar dimaknai pada emansipasi wanita. Karena kita tahu betul keputusan presiden sebagai pahlawan, adalah Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Poin pentingnya adalah kebangsaan, nasionalisme, harus dikedepankan. Pun dengan semangat emansipasi wanita, hanyalah pintu masuk bagi pembangunan generasi muda," ujarnya.

Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Jepara berencana menjadikan kompleks pendapa sebagai museum. Hal ini dilakukan dengan mengembalikan lagi pendapa sebagaimana aslinya dan tidak lagi diperuntukkan bagi tempat tinggal bupati.

Akan tetapi, gagasan itu hingga kini masih belum direalisasikan. []

Baca juga:

Berita terkait
Irma Chaniago: Kartini Sosok Perempuan Cerdas
Bagi Irma, Kartini adalah sosok perempuan Indonesia yang cerdas.
Kutipan Inspiratif RA Kartini
Kalimat bijak RA Kartini sampai diterbitkan dalam sebuah buku dengan judul Habis gelap terbitlah terang
Sitti Halima, Kartini Sesungguhnya dari Maros
Sitti Halima, Kartini sesungguhnya dari Maros. Kesulitan hidup tidak membuatnya lupa pada nilai-nilai.