Jokowi Minta Dikritik, Jangan Sekadar Ungkapan Retorik

Jokowi meminta masyarakat lebih aktif memberikan kritik terhadap pemerintah. Sayangnya, pembungkaman masih terjadi.
Presiden Jokowi. (Foto: Tagar/Instgram)

Jakarta - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) meminta masyarakat lebih aktif dalam memberikan atau menyampaikan kritik terhadap kinerja pemerintah. Sayangnya, upaya pembungkaman suara kritis masih terjadi.

Presiden Jokowi saat memberikan pidato dalam rangka peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI pada Senin, 8 Februari 2021, menyampaikan sikap pemerintah soal keterbukaan menerima kritik. 

Dia juga memberikan pernyataan bahwa pajak gaji pekerja media digratiskan hingga Juni 2021 pada Selasa, 9 Februari 2021.

Merespons apa yang disampaikan Presiden Jokowi, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudin mengatakan, sebaiknya Presiden Jokowi tidak sekadar melontarkan pernyataan retorik dan kebijakan spontan yang tak konsisten.

Dia mengungkap, terdapat beberapa catatan mendasar bagi situasi kebebasan berekspresi dan pers di Indonesia saat ini, yang dinilai justru melegitimasi pembungkaman terhadap suara-suara kritis kepada pemerintah.

"Kami dari Koalisi ICJR, LBH Pers dan IJRS mencatat selama 2020 hingga awal 2021, justru banyak terjadi peristiwa yang bertolak belakang dengan pernyataan presiden tersebut," kata Ade Wahyudin, dalam siaran persnya, Selasa, 9 Februari 2021.

Dia menyebut, misalnya surat Telegram Kapolri nomor: ST/1099/IV/HUK.7.1/2020, terkait antisipasi kasus-kasus ujaran kebencian dan penyebaran hoaks, juga kasus-kasus penghinaan kepada penguasa/presiden/pemerintah yang terjadi selama situasi pandemi Covid-19.

Penangkapan peneliti kebijakan publik dan pegiat advokasi legislasi, Ravio Patra, yang sering menyuarakan kritik terhadap jalannya pemerintahan. Surat Kementerian Kesehatan tertanggal 3 Agustus 2020 perihal surat peringatan yang ditujukan kepada salah satu pengguna akun Twitter yang memberikan kritik guna perbaikan dan pembenahan penanganan Covid-19 di Indonesia.

Terbaru, di awal Januari 2021 terdapat somasi dari kuasa hukum salah satu gubernur yang mengancam akan melaporkan setiap perbuatan yang menyudutkan kliennya ke polisi dengan menggunakan pasal-pasal pidana dalam UU ITE terkait unggahan foto atau video yang berhubungan dengan bencana banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan.

Ade Wahyudin mengatakan, berdasarkan hasil survei Indikator Politik yang dirilis pada 25 Oktober 2020 lalu, 36 persen responden dari 1.200 masyarakat di seluruh Indonesia menyatakan bahwa Indonesia menjadi negara yang kurang demokratis serta 47,7 persen responden menyatakan agak setuju bahwa warga makin takut menyatakan pendapat.

Selain itu, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Institute Criminal for Justice Reform (ICJR), LBH Pers dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS), sebanyak 35 dari 125 responden jurnalis atau setara 28 persen, mengungkapkan pernah mengalami penyensoran atas berita yang mereka buat.

Dikatakannya, teguran atau peringatan tidak resmi dari pihak pemerintah menjadi bentuk penyensoran yang paling banyak dialami oleh responden sebesar 25,7 persen.

Jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan pers masih berada pada tahap yang mengkhawatirkan dengan adanya praktik berbagai macam bentuk serangan

Dari sisi pelaku penyensoran, pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi pelaku penyensoran dengan melakukan penyensoran sebesar 17 persen.

Sementara, berdasarkan laporan LBH Pers, sepanjang 2020 terdapat 10 kasus kriminalisasi terhadap jurnalis, di mana lima kasus menggunakan ketentuan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tentang penghinaan dan atau pencemaran nama baik dan tiga kasus lainnya menggunakan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian.

"Dari fenomena tersebut, ICJR, LBH Pers, dan IJRS melihat bahwa pasal-pasal karet yang kerap dijadikan alat untuk melakukan kriminalisasi dan membungkam kebebasan berekspresi seperti dalam UU ITE justru menciptakan iklim ketakutan di masyarakat dalam memberikan kritik kepada pemerintah," ungkapnya.

Kemudian, sambung Ade Wahyudin, pasal-pasal pidana seperti ujaran kebencian, berita bohong, makar, dan penghinaan individu masih kerap digunakan untuk tujuan membungkam ekspresi yang sah.

Di sisi yang lain, aparat penegak hukum cenderung bertindak sewenang-wenang dalam menindak warga yang berbeda pandangan politiknya atau memberikan kritiknya terhadap pemerintah.

Baca juga: 

"Jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan pers masih berada pada tahap yang mengkhawatirkan dengan adanya praktik berbagai macam bentuk serangan baik berbentuk serangan fisik, nonfisik, siber dan hukum," tukas dia.

Berdasarkan hal tersebut koalisi ICJR, LBH Pers, dan IJRS, tukas Ade Wahyudin, mendesak pemerintah dan DPR, jika serius menyatakan mendorong rakyat untuk kritis, bukan hanya pernyataan kosong belaka, maka harus melakukan evaluasi dan revisi atas UU ITE.

Terutama tindak pidana yang memiliki rumusan sangat lentur dan karet, seperti Pasal 27 Ayat (3) maupun 28 Ayat (2) UU ITE.

Pemerintah juga diminta melakukan pengawasan ketat terhadap aparat penegak hukum terkait penggunaan pasal-pasal yang justru membungkam kritik-kritik masyarakat sebagai ekspresi yang sah, serta mendorong perbaikan hukum acara pidana di Indonesia melalui pembaruan KUHAP/RKUHAP.

Lebih jauh ICJR, LBH Pers, dan IJRS mendorong pemerintah dan DPR untuk memperkuat peran Dewan Pers dalam menangani kasus-kasus terkait dugaan tindak pidana yang melibatkan jurnalis.

"Kerja-kerja pers seharusnya bebas dari ancaman kriminalisasi dan mengingatkan aparat penegak hukum untuk memberikan perlindungan hukum bagi produk pers dan jurnalis sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara utuh," tandas Ade Wahyudin. []

Berita terkait
Majelis Lucu Indonesia Rilis Stand Up Show Tanpa Sensor
Majelis Lucu Indonesia (MLI) resmi merilis Digital Download video pertunjukan stand up comedy dari sejumlah komika Indonesia.
Kasus Pembunuhan, KPAI Soroti Proses Sensor Film
KPAI meminta pemerintah memperketat proses seleksi tayangan film yang beredar di masyarakat, menyikapi kasus pembunuhan terhadap bocah 6 tahun.
Kesaksian CEO Twitter dan Facebook Terkait Sensor Pilpres AS
CEO Twitter dan Facebook hari Selasa, 17 November 2020, hadir di hadapan sidang anggota Senat AS beri kesaksian soal sensor Pilpres AS