Untuk Indonesia

Jokowi: Mengejar Dana Haram di Luar Negeri

Kenapa Pilpres 2019 terkesan lebih sepi? - Ulasan Denny Siregar
Presiden Joko Widodo menyampaikan sambutan pada Pembukaan Kompas100 CEO Forum Tahun 2018 di Jakarta, Selasa (27/11/2018). Presiden mengajak para Chief Executive Officer (CEO) untuk mencari peluang di tengah ketidakpastian perekonomian global dan dampak perang dagang antara Amerika-Cina. (Foto: Antara/Puspa Perwitasari)

Oleh: Denny Siregar*

Kenapa Pilpres 2019 terkesan lebih sepi?

Kalau kita mengukur dengan standar Pilpres 2014, pilpres kali ini jauh lebih sepi. Tahun 2014 bisa dibilang adalah Pilpres terganas, pertarungan sengit antardua kubu yang bersaing dalam memperebutkan kursi kepemimpinan di negeri ini. Black campaign, fitnah sampai penguasaan teritorial menjadi hal penting untuk menuju kemenangan.

Ganasnya Pilpres 2014, terkait banyak faktor. Tetapi faktor terbesar tentu dari keberadaan dana, karena tanpa dana tidak akan ada pergerakan apa-apa. "Semua butuh logistik," kata seorang teman yang malang melintang di dunia politik hitam.

Dan sumber dana terbesar untuk membuat Pilpres 2014 begitu heboh adalah adanya dana haram yang begitu besar masuk ke Indonesia. Dana haram yang masuk ini bukan semata dana dari negara asing, tetapi dana haram hasil penggelapan pajak dari banyak sektor seperti pertambangan, juga hasil korupsi, yang diparkir di luar negeri untuk menghindari pajak, kemudian masuk kembali ke dalam negeri pada saat yang tepat, terutama saat musim kampanye seperti sekarang ini.

Dana-dana haram inilah yang banyak digunakan sebagai logistik untuk menggerakkan mesin kampanye yang besar.

Global Financial Integrity (GFI) sebuah lembaga yang berdomisili di AS pada tahun 2014 menempatkan Indonesia di peringkat ke 8 dalam kasus aliran dana haram. Dan itu berarti bernilai ribuan triliun rupiah.

Dana yang biasanya diparkir di negara tax haven ini diperkirakan mengalir ke Indonesia lewat banyak jalur untuk menentukan arah politik Indonesia. Arah politik yang dituju tentu memenangkan salah satu kontestan yang dinilai akan terus mengamankan harta yang disimpan di luar negeri supaya tidak ketahuan.

Kerja sama Indonesia dengan Swiss dalam platform Mutual Legal Assignment MLA yang sedang dalam proses akhir ini, adalah bagian dari upaya pemerintahan Jokowi untuk mencegah masuknya dana haram itu ke Indonesia dalam musim kampanye ini, selain tujuan jangka panjangnya mengembalikan dana itu ke sini.

Tetapi proses kerja sama itu tentu merepotkan para pemilik dana yang taruh uangnya di Swiss, sehingga mereka lebih sibuk mengamankan dirinya daripada mengalirkan dana ke Indonesia. Lagian sekarang, aliran dana ke Indonesia diawasi jauh lebih ketat dari sebelumnya.

Itulah kenapa Pilpres 2019 ini jauh lebih sepi dari Pilpres 2014. Terkuncinya sumber dana yang selama ini dipakai untuk kegiatan "haram" membuat kurangnya logistik untuk memanaskan Pilpres ini menjadi seganas periode lalu.

Akhirnya para pemain politik hanya bergantung pada dana yang ada di dalam negeri yang jelas tidak sebesar jika dana itu datang dari luar. Kalau dulu di 2014 bisa bangun panggung besar dan membayar ribuan orang untuk datang, sekarang cukup di ruangan-ruangan kecil sambil memainkan narasi supaya media sosial riuh.

Jadi paham kan kenapa ada yang sampai bilang bahwa ia kehabisan modal dan harus mencairkan sahamnya meski harganya masih belum maksimal?

Gerakan Jokowi melalui komandannya Sri Mulyani ini memang ampuh membuat banyak pihak tidak berkutik. Mulai dari Tax Amnesty sampai perburuan harta di negara tax haven ini, benar-benar mematikan kutu di rambut banyak orang. Rencananya Hongkong dan Singapura juga akan menjadi target kerja sama berikutnya.

Jokowi memang membutuhkan situasi tenang untuk menang. Karena itu jangan sampai ada dana haram yang masuk ke Indonesia dan mengacaukan semua program yang sudah ia rencanakan matang.

Baru kali ini, banyak jantung yang berdetak kencang karena tempat persembunyian uang mereka yang selama ini aman, diobrak-abrik oleh orang yang dulu mereka bilang "plonga plongo" dan "boneka partai".

Mereka salah besar. Musuh yang mereka kira seekor kucing hutan ternyata adalah macan hitam yang mengendap dan mengintai mangsanya dengan tatapan yang sulit dilepaskan..

Seruput....

*Denny Siregar penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Berita terkait