Jokowi Dianggap Komunis, Sekjen PSI: Kebohongan Oposisi Menyerang Presiden

Isu PKI merupakan konsekuensi yang melekat karena faktor ketidaksukaan minoritas orang terhadap Jokowi.
Raja Juli Antoni berpendapat ihwal isu PKI yang kerap meneror Presiden RI saat ini. (Foto: Tagar/Morteza)

Jakarta, (Tagar 16/1/2019) - Lembaga Survey Charta Politica telah merilis peta elektoral terkini mengenai Pilpres 2019. Dalam pemaparannya, Direktur Eksekutif Charta Politica Yunarto Wijaya menyebut isu PKI masih menyerang kubu incumbent, meskipun angkanya tidak dominan.

Merujuk dari data yang Charta Politica publikasi, terdapat 13% masyarakat Indonesia masih mempercayai bahwa Presiden RI saat ini ialah komunis. Lebih lanjut kata dia, bila jumlah pemilih di Indonesia adalah 180 juta, maka ada sekiranya ada 20 juta lebih pemilih yang masih mempercayai isu lama tersebut.

"PKI Angkanya 13% bukan angka dominan ya, tetapi lebih ke angka absolut cukup gede. Jadi jumlah pemilih di Pemilu 2019 semisal 180 juta. Berarti ada sekitar 20 juta lebih yang menyatakan percaya dengan isu ini," jelasnya.

Lebih lanjut kata Yunarto, memang ada masyarakat Indonesia yang percaya dengan serbuan isu hoaks yang telah dibangun sejak tahun 2014 silam.

Yang kedua, kata dia, mungkin juga karena faktor subjektifitas. "Ketika orang sudah tidak suka dengan seseorang. Mereka akan langsung menerima dan mengiyakan info negatif terkait dengan orang tersebut. Itu juga yang menurut saya, terjadi dengan angka yang ada di 13 persen ini," paparnya.

Jadi, menurut Yunarto, isu PKI merupakan konsekuensi yang melekat karena faktor ketidaksukaan minoritas orang terhadap Jokowi. Sehingga, dia melanjutkan, setiap isu negatif yang menerpa incumbent langsung dipercaya oleh pihak lawan.

"Situasi seperti ini yang menurut saya, konsekuensi dari Pemilu yang sangat emosional. Sehingga, ketika ketidaksukaan terhadap salah satu kandidat. Isyu apapun yang menerpa terhadap kandidat itu, terlepas hoaks atau benar dianggap sebagai sebuah fakta," kata Yunarto Wijaya kepada Tagar News di Jalan Cisanggiri III, Kebayoran Baru, Jakarta, Rabu (16/1).

"Itu mungkin yang menyebabkan Jokowi cukup terlihat emosional ketika menyikapi isu komunis, karena jumlahnya ternyata jutaan tadi, karena faktor ketidaksukaan. Jadi apapun isu negatif yang dilekatin pada petahana, pasti mereka percaya. Kedua, karena memang ada yang terbawa dengan isu hoaks, itu yang berbahaya," sambungnya.

Sementara itu, Sekjen Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Raja Juli Antoni berpendapat ihwal isu PKI yang kerap meneror Presiden RI saat ini. Bagi dia, hal tersebut dikembangkan dari kubu oposisi dan tidak berdasarkan akal yang sehat.

"Ya, saya kira memang salah satu yang dikembangkan oleh kubu sebelah itu memang sesuatu hal yang bersifat sebenarnya irasional ya, tetapi memiliki sentimen emosi yang tinggi. Nampaknya itu dipergunakan oleh lawan politik untuk mencap pak Jokowi sebagai PKI," ucapnya pada Tagar News 10 Januari lalu, saat ditemui di DPP PSI, Jakarta Pusat.

Antoni menceritakan, sudah berkali-kali juga Presiden Jokowi sampaikan ke publik, ketika pemberontakan PKI terjadi dia masih balita.

"Tapi ya, itu dia. Kebohongan pihak lawan yang sistematis, disampaikan berulang-ulang, masif, tidak pernah diklarifikasi menjadi sebuah kebenaran," tandasnya.

Padahal, lanjut Antoni, hampir tidak ada negara di dunia ini yang masih menganut komunisme. Menurutnya, Tiongkok secara politik masih percaya dengan komunisme dengan partai tunggal, tetapi tidak utuh lagi karena sudah menjadi market ekonomi dunia.

Antoni menyatakan bahwa Tiogkok saat ini percaya dengan perdagangan bebas dan telah mengingkari ajaran dasar komunisme. 

"Bahkan, kebijakan ekonominya sama sekali tidak komunis," jelas dia.

Jadi menurut PSI, isu PKI merupakan spekulasi kebohongan luar biasa yang dipakai untuk menyerang petahana. Maka itu, pihaknya berharap, isu tersebut tidak muncul lagi untuk mendelegitimasi Presiden Jokowi Widodo pada momen Pilpres 2019.

"Ya, itu stigma saja. Karena kita punya pengalaman buruk dengan PKI. Sehingga, PKI dibubarkan, kemudian ada extra ordinary killing atau pembunuhan tanpa ada proses hukum," pungkasnya. []

Berita terkait