Untuk Indonesia

Jakob Oetama dalam Kenangan Wartawan Kompas

Dua kali saya dapat hadiah mobil dari Pak Jakob. Sebagai orang otomotif, beliau tahu saya senang mobil. Cerita Agus Lenggang tentang Jakob Oetama.
Jakob Oetama. (Foto: Tagar/hot.grid.id)

Oleh: Agus Langgeng*

Subuh tadi saya bergegas ke Palmerah Selatan. Terlalu berharga rasanya tidak memanfaatkan kesempatan dari keluarga Pak Jakob, untuk memberi penghormatan terakhir kali. Tapi lantaran pandemi, saya memang sengaja menghindar dari kerumunan. Lebih baik datang pada saat masih sepi.

Toh dalam keseharian sekarang, saya biasa bangun pukul 3. Jadi tidak ada effort khusus. Lagian berkendara ke Palmerah, bagi saya seperti otomatis saja. Tidak perlu dipikir, sambil melamun pun saya bisa sampai di sana. Maklumlah, 30 tahun saya bekerja di perusahaan itu.

Saya malah teringat masa-masa kerja dulu. Jika mendadak ditelepon Mbak Etty, sekretaris JO, saya acap tergopoh-gopoh. Dengan mata pedas habis begadang, saya pagi sudah siap di sana menunggu giliran.

Pernah sih menunggu lama - sekitar sejam atau lebih - tapi begitu masuk ruangan Pak Jakob, bapak yang diteladani ribuan orang itu, enteng saja meminta maaf.

"Maaf ya, Gus, kamu menunggu lama. Tadi Mas Dorodjatun asyik ngobrol," katanya. Paling saya hanya mengiyakan. Lantas perbincangan pun ringan mengalir. Menanyakan bagaimana Otomotif Group dan seterusnya.

Sesekali pernah juga tentang pengalamannya. Yang paling saya ingat ketika beliau berkisah tentang Kompas dibredel. "Saya dipanggil Pak Harto ke Cendana, tapi sampai di sana saya tidak diajak bicara," tuturnya. "Wah saya langsung deg, beliau marah. Saya sebagai orang Jawa kan tahu betul gestur seperti itu. Dan benar, besoknya Kompas dibredel," tambahnya. Di balik kacamata minusnya, matanya berbinar dan tertawa lepas.

Tapi di balik cerita - yang mungkin diulang-ulang dan sudah banyak orang mendengarnya - saya mendapat hikmah. Dengan sikapnya yang 'bersyukur tiada akhir', Pak Jakob lantas bilang: "Dengan dibredel kita lantas semakin kuat. Seluruh karyawan bersatu, mereka rela menerima gaji setengahnya."

Pak Jakob, layaknya seorang pemimpin, sebetapapun merasa perlu mendapat masukan. Cerita yang menurut saya paling epik, terjadi sesudah krisis moneter 1998.

Saya memang sempat mengutarakan tentang gaji karyawan dan pinjaman di luar perusahaan. Sebagian karyawan - atas kebijakan perusahaan - memang difasilitasi pinjaman dari bank. Agaknya, sebelum itu, Pak Jakob juga sempat bertemu Ibu Beding. Menurut cerita putranya Pak Beding, keluhan itu disampaikan ke Pak Jakob. Uang pensiunan tak lagi cukup.

Bulan depannya, gaji karyawan naik dengan besaran yang fantastis, dari 30 hingga 80 persen. Begitu pula uang pensiun, kendati saya tak tahu berapa besarannya. Saya rasa belum pernah ada dalam sejarah, perusahaan "menyesuaikan" gaji karyawannya sebegitu besar.

Pertemuan dengan Pak Jakob, beberapa kali juga terjadi secara tak sengaja. Lantaran nama saya diawali dengan huruf A, pada phonebook Pak Jakob nama saya berada paling atas. Kalau kepencet, "sasarannya" sering ke nomor hape saya. Biasanya lantas saya telepon balik. Kalau waktunya pas dan Pak Jakob dangan penggalihe, kemudian dilanjutkan dengan panggilan ke ruangannya.

Dengan dibredel kita lantas semakin kuat. Seluruh karyawan bersatu, mereka rela menerima gaji setengahnya.

Dua kali saya mendapat hadiah mobil dari Pak Jakob. Sebagai orang otomotif, beliau juga tahu saya senang mobil. Jujur, mobilnya jelas tak mungkin bisa saya beli kalau dengan uang pribadi.

Saat saya divonis dokter jantung harus by pass, Pak Jakob menelepon saya. "Berobat ke Singapur saja," katanya. Lalu, agar saya tak rikuh, Pak Jakob bilang, "Tak apa, saya kalau kontrol juga ke sana. Bagus pelayanannya."

Atas izin itu, saya memilih berobat ke Kuala Lumpur, ditangani dengan baik oleh dokter Song, dokter pribadi Dr. Mahathir Muhammad di rumah sakit khusus penyakit dalam di Damansara. Kemudian dilanjut operasinya di RSPI Pondok Indah. Sampai sembuh dan bekerja kembali, sepeser pun saya tak keluarkan uang pribadi.

Maka, berkendara Subuh ke Palmerah, mendoakan Pak Jakob dalam suasana hening dan khusuk, enteng saja saya kerjakan. Sama seperti pelayat lain, yang begitu banyak tersimak dari layar televisi. Pun juga siang ini hingga ke peristirahatan terakhir di TMP (taman makam pahlawan) Kalibata, adalah pengakuan betapa semasa hidupnya Pak Jakob bermanfaat bagi banyak orang. Bukan saja bagi karyawan dan para pensiunan semacam saya - yang merasa tercukupi nafkahnya bahkan hingga kini. Juga bagi bangsa Indonesia.

Teriring salam sugeng tindak Pak Jakob Oetama, kembali kepada Tuhan Maharahim. Saya meyakini, atas kebaikan bapak semasa hidup, Bapa di Surga menyediakan tempat duduk di sebelah kananNya.

"Setiap manusia akan mati, saya tahu. Itu sebabnya saya berserah. Yang saya tidak tahu, kapan giliran saya." - Fidel Castro.

*30 Tahun Menjadi Wartawan Kompas

Berita terkait
Menafsirkan Jurnalisme Fakta dan Makna Jakob Oetama
Saat pidato penerimaan gelar doktor kehormatan UGM Yogyakarta, 17 April 2003, Jakob Oetama, menyampaikan pemikiran Jurnalisme Fakta dan Makna.
Deretan Bisnis Jakob Oetama, Pendiri Kompas Gramedia
Jakob Oetama, pendiri Kompas Gramedia sekaligus tokoh Pers Nasional meninggal dunia pada Rabu, 9 September 2020 dalam usia 88 tahun.
Jokowi: Jakob Oetama Tokoh Bangsa
Presiden Joko Widodo atau Jokowi merasa kehilangan atas wafatnya tokoh pers nasional Jakob Oetama. Baginya, pemimpin Kompas itu adalah tokoh bangsa
0
Staf Medis Maradona Akan Diadili Atas Kematian Legenda Sepak Bola Itu
Hakim perintahkan pengadilan pembunuhan yang bersalah setelah panel medis temukan perawatan Maradona ada "kekurangan dan penyimpangan"