Ironi Kelangkaan Garam di Garis Pantai Terpanjang Kedua Dunia

Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada. Namun keunggulan itu merupakan ironi dari sebuah fenomena kelangkaan garam.
Petani memanen garam di lahan garam desa Santing, Losarang, Indramayu, Jawa Barat pada Senin (31/7). Menurut petani, harga garam di daerah tersebut masih tinggi yakni kisaran Rp 3.500 per kilogram akibat minimnya produksi garam karena cuaca yang tak menentu. (Foto: Ant/Dedhez Anggara)

Jakarta, (Tagar 3/8/2017) – Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Namun keunggulan itu tampaknya merupakan ironi dari sebuah fenomena kelangkaan garam yang terjadi di Tanah Air.

Memang dan tentu saja memiliki garis pantai terpanjang yang luas bukan berarti produksi komoditas garam juga akan secara otomatis besar, karena ada berbagai aspek yang harus diperhatikan dalam produksi garam.

Namun, kelangkaan yang terjadi akhir-akhir ini, diakui atau tidak, memang telah mengakibatkan dampak yang meluas tidak hanya di sektor hulu atau produksi garam, tetapi juga hingga ke pasar-pasar di perkotaan.

Berdasarkan pantauan di sejumlah pasar tradisional Jakarta Selatan pada Kamis (3/8) pagi, harga garam dapur rata-rata mengalami kenaikan dari Rp 2.000 menjadi Rp 6.000 per bungkus (berbobot) 500 gram.

Sedangkan harga satu bal yang berisi 20 kotak garam dapur, seperti dipantau di Pasar Kalibata, yang semula Rp 10.000, ternyata meningkat menjadi Rp 15.000 akibat kelangkaan garam.

Seorang pedagang bernama Ida (32) mengeluhkan, persediaan garam yang sedikit dan harganya yang melonjak, serta pedagang lain, Numi (47) menambahkan bahwa harga garam meningkat setiap pekan.

Berbagai solusi ditawarkan sejumlah pihak guna mengatasi hal tersebut, seperti Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) menyarankan, pemerintah merevisi regulasi izin impor garam yang dikelompokkan untuk industri dan konsumsi, demi mengatasi kelangkaan garam.

Ketua Umum GAPMMI Adhi Lukman di Jakarta pada Kamis (27/7) mengatakan, Permendag 125/2015 yang mengatur izin impor garam sebaiknya tidak perlu memisahkan antara garam industri dan konsumsi karena justru menyulitkan masuknya garam yang bisa menjadi solusi melonjaknya harga garam.

Adhi menjelaskan, impor garam yang bisa mengatasi kelangkaan sementara atas bahan baku tersebut menjadi terkendala dengan adanya pengelompokkan garam industri dan konsumsi.

Selaras dengan hal tersebut, pemerintah juga akhirnya memutuskan untuk membuka impor sebanyak 75.000 ton garam untuk mengatasi kelangkaan garam.

Pemerintah menjadwalkan mendatangkan 75.000 ton garam dari Australia untuk mengatasi kelangkaan produk ini setelah produksi dalam negeri mengalami penurunan akibat gangguan cuaca.

Langkah tersebut ternyata mendapat kritikan sejumlah pihak, yang menegaskan bahwa solusi impor merupakan sebuah kebijakan yang selayaknya tidak dijadikan sebagai prioritas utama untuk mencukupi kebutuhan garam.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim secara tegas menyatakan, pembukaan keran impor yang terjadi sejauh ini harus dihentikan. Apalagi pemerintah kembali menargetkan produksi garam nasional sebesar 3,2 juta ton pada tahun 2017 dan peningkatan kesejahteraan petambak garam dengan dukungan APBN sebesar Rp 9,2 triliun. Hal ini tertuang di dalam Nota Keuangan APBN 2017.

Buruknya kinerja di bidang pergaraman, menurut dia, berpangkal terkait kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, serta PT Garam, yang tidak berhasil mendorong produksi garam serta meningkatkan kesejahteraan petambak garam.

Dia mengingatkan produksi garam pada 2016 hanya sebesar 118.056 ton atau setara 3,7 persen dari 3,2 juta ton yang menjadi target pemerintah pada 2016.

"Agar hal serupa tidak terulang kembali, pemerintah mesti memperbaiki kinerjanya di bidang pergaraman dan lebih mengedepankan semangat gotong-royong demi tercapainya target swasembada dan meningkatnya kesejahteraan 3 juta petambak garam di Indonesia," paparnya.

Kesejahteraan Petambak

Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan, kesejahteraan petambak garam merupakan tanggung jawab Kementerian Kelautan dan Perikanan dan pihaknya ingin memberdayakan PT Garam untuk tata niaga garam nasional.

"Kesejahteraan petambak garam merupakan tanggung jawab KKP. Setiap tahun KKP mengeluarkan anggaran untuk geomembran misalnya, agar garam lebih putih dan bersih. Kami ingin menjaga produksi dan harga untuk petambak garam lebih bagus," kata Menteri Susi seperti dikutip dari situs resmi KKP di Jakarta.

Menurut dia, untuk menjaga agar harga garam petambak tidak jatuh saat panen, KKP harus dilibatkan untuk memberikan rekomendasi kapan boleh impor.

Susi Pudjiastuti mengungkapkan, sejak awal menjabat sebagai menteri, dirinya sudah bicara bahwa impor garam harus diatur, tetapi dirinya tidak memiliki kewenangan untuk itu.

Dengan adanya Undang-Undang Nompr 7 tahun 2016 tentang Perlindungan Nelayan, Pembudidaya dan Petambak Garam, maka KKP punya kewenangan untuk mengawasi impor garam.

Berdasarkan UU ini, KKP memberikan rekomendasi volume, jenis, dan kapan impor garam boleh dilakukan.

Terkait dengan dugaan kartel garam, Menteri Susi menyatakan, dulu terjadi kebocoran garam impor yang dilakukan oleh industri importir garam karena mereka mengimpor lebih dari kapasitas produksi mereka sehingga separuhnya bocor ke pasar konsumsi.

Menteri Susi juga menegaskan, pihaknya ingin agar garam konsumsi yang boleh impor hanya PT Garam. Pemerintah juga menugaskan PT Garam untuk membeli, menyerap, produksi, dan menyangga harga garam petambak.

Sementara itu, Wakil Sekjen Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Niko Amrullah mengusulkan, sekurang-kurangnya empat solusi inovatif yang dapat dilakukan terkait kelangkaan garam akhir-akhir ini.

Solusi pertama adalah penguatan kelembagaan ekonomi petambak garam dengan peningkatan kapasitas pengelolaan. Kelembagaan yang dibentuk pemerintah dalam mengurus garam diminta bersinergi dengan tata kelola lokal masyarakat yang telah ada, dan dapat diperkuat dengan keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa).

Solusi kedua adalah penguatan kapasitas modal dan kapabilitas pengelolaan modal petambak garam rakyat sehingga harus ada pendampingan intensif kepada petambak yang disesuaikan dengan standar garam industri.

Sedangkan solusi ketiga adalah modal sosial yang kuat dari masyarakat, yang dinilai terbukti mampu menjaga ritme produksi karena rasa saling memiliki memunculkan etos kerja yang tinggi demi kemakmuran bersama.

Terakhir, solusi keempat adalah penerapan teknologi tepat guna menjadi keharusan agar proses produksi dapat lebih adaptif terhadap perubahan iklim yang berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati Romica mengingatkan, pemerintah perlu mengoptimalkan kecanggihan teknologi sebagai solusi meningkatkan produktivitas komoditas garam yang telah menunjukkan indikasi penurunan meski tambak lahan garam menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun.

"Ada situasi dan kondisi buruk dari pergaraman Indonesia yang perlu segera diperbaiki, yaitu intervensi teknologi berbiaya murah untuk produksi dan pengolahan garam," ujarnya.

Dia juga mengingatkan, fenomena kemarau basah yang kerap membuat panen garam menjadi terhambat, harus bisa diantisipasi pemerintah dengan menggunakan prediksi dan kajian data cuaca.

Susan juga menyatakan, kebijakan impor garam berimplikasi besar terhadap penurunan jumlah petambak garam di Indonesia.

Miliki Teknologi

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyebut Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) memiliki teknologi untuk mengatasi masalah kelangkaan garam yang terjadi saat ini.

Luhut seusai acara penganugerahan gelar Perekayasa Utama Kehormatan di Gedung BPPT, Jakarta pada Kamis (3/8) mengatakan, teknologi itu akan dibahas dalam rapat bersama Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir.

"Ternyata BPPT itu sudah sangat bisa bikin garam. Selama ini belum. Akhirnya tadi saya lapor Wakil Presiden, saya besok rapat dengan ahli garam dari tempatnya Pak Menristek Dikti. Ternyata bisa, murah meriah, 'cost' (biaya) rendah. Tanpa melihat cuaca," kata dia.

Luhut menuturkan, jika teknologi itu layak, diharapkan bisa langsung diimplementasikan. Terlebih jika benar biayanya bisa lebih rendah dan tidak terpengaruh cuaca.

Dengan menerapkan teknologi tersebut secara efektif, maka ke depannya diharapkan tidak perlu lagi ada impor garam yang perlu dilakukan guna memenuhi kebutuhan.

Kepala BPPT Unggul Priyanto juga menegaskan, krisis garam nasional terutama untuk konsumsi dan industri menjadi perhatian pihaknya.

BPPT menyebut pembangunan lahan garam terintegrasi yang memudahkan petani panen dengan kadar garam tinggi (hanya 4-5 hari) bisa dilakukan dengan cara membangun reservoir air laut bertingkat dan mekanisasi metode panen.

Sebagai upaya meningkatkan produksi garam nasional, perlu dukungan infrastruktur di daerah curah hujan rendah, seperti NTT dan Sulawesi Selatan, yang bisa dijadikan sentra garam nasional.

Sebelumnya, Wakil Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Amirullah Setya Hardi berharap kebijakan impor garam yang akan ditempuh pemerintah tidak dinilai sebagai solusi akhir dalam mengatasi kelangkaan komoditas itu di lapangan.

"Impor tidak ada masalah untuk menutup kelangkaan. Namun perlu dilanjutkan dengan solusi jangka panjang dengan mendorong nilai tambah produksi petani garam," kata Amirullah di Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Jumat (28/7).

Sedangkan peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengingatkan, kelangkaan garam merupakan pelajaran yang penting agar hal serupa agar tidak terjadi lagi pada masa mendatang.

Senada dengan banyak pengamat lainnya, pemerintah seharusnya sudah bisa memperkirakan bakal adanya kelangkaan sehingga sudah menyiapkan stok garam industri dengan membangun infrastruktur produksi.

Selain itu, Nailul Huda juga menegaskan agar impor tidak selalu dijadikan sebagai solusi instan dan satu-satunya upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan kebijakan pangan di Tanah Air.

Bila teknologi yang bisa tahan terhadap cuaca dapat benar-benar efektif dalam penggunaannya, maka anomali cuaca yang kerap menjadi "kambing hitam" juga bisa dapat diatasi.

Dengan demikian, semoga saja narasi ironi kelangkaan garam di negeri dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia juga tidak akan terdengar lagi oleh generasi mendatang. (yps/ant)

Berita terkait