Ini Kata Psikolog Pasca Pemblokiran Tik Tok

Ini kata psikolog pasca pemblokiran Tik Tok. "Kalau kita lihat dampak positifnya lebih sedikit daripada dampak negatifnya, baru kita bisa menyatakan itu bisa ditutup,” kata Rosmini.
Ilustrasi Tik Tok. (Tagar/Gilang)

Jakarta, (Tagar 5/7/2018) - Penggunaan aplikasi Tik Tok sudah menjadi ajang yang menunjukkan keeksisan atau ketenaran untuk para pengguna media sosial ini.

Belakangan aplikasi Tik Tok menjadi yang paling populer. Aplikasi Tik Tok hadir sebagai jaringan sosial untuk membuat dan membagikan video musik dengan teman-teman atau pengikut.

Berbarengan dengan itu, baru-baru ini Bowo Alpenliebe menjadi artis Tik Tok yang paling sering menjadi topik pembicaraan. Bocah berusia 13 tahun ini memang rajin menggunggah video Tik Tok, sehingga berbagai persepsi dan reaksi netizen pun beragam, mengundang pro dan kontra.

Remaja bernama asli Prabowo Mondardo ini sukses menjadi idola baru para kids zaman now. Hal itu dibuktikan oleh Bowo yang telah memiliki 263.000 followers lebih di Instagram miliknya.

Memang tak sedikit netizen mem-bully Bowo ketika dia beberapa kali menggelar  jumpa fans dan nonton bareng. Namun banyak netizen yang mengganggap tingkah remaja 13 tahun ini terlalu berlebihan, sehingga tak pantas ditiru oleh remaja seusianya. Bahkan tak sedikit netizen yang menghujat (bully).

Ada juga netizen yang merasa prihatin dengan nasib  Bowo Alpenliebe, setelah Tik Tok resmi diblokir Kominfo. Berbagai opini bermunculan melalui cuitan di Twitter. Berikut cuitan para natizen.

"Tik Tok diblokir dengan alasan banyak konten negatif. Masak gitu sih. Kominfo gak mikirin perasaannya Bowo. Kan kasihan Bowo jadi pengangguran di usia muda," cuit @sobattawa.

"Tik Tok diblokir. Banyak yang kasihan sama Bowo. Nah, Bowo itu siapa?" tanya @nurulqistymurti.

"Padahal seru kalau Tik Tok battle Bowo Alpenliebe vs Dodo Chocolatos," imbuh @victorkamang.

Orangtua Harus Tahu

Menanggapi cuitan-cuitan dari netizen yang ditujukan kepada bocah berusia 13 tahun ini, psikolog Rose Mini mengatakan, sikap anak itu bisa dikatakan trauma atau tidak bergantung pada si anak menyikapi dan mempersepsikan tanggapan para netizen.

''Itu sangat bergantung kepada anak. Kalau anak lebih matang daripada usianya bisa berdampak kepada anak ini kemudian seperti kayak besar kepala, dan jadi anak yang sombong dan sebagainya. Itu karena dia merasa sudah cukup terkenal dan diidolakan orang,” kata Rosmini saat dihubungi Tagar, Rabu (4/7).

“Tapi kalau dia justru jadi takut bisa saja (trauma). Itu tergantung. Tapi kalau anak seperti itu bukan kapasitas dia yang berusia 13 tahun itu mungkin jadi kepikiran bagi dia," tambahnya.

Maka dari itu dia berpesan kepada orangtua untuk ikut memantau dan mengawasi anak dalam menggunakan media sosial, terutama penggunaan aplikasi Tik Tok.

"Sebagai orangtua kita harus melihat anak kita punya akun-akun apa saja. Apa yang dilakukan anak-anak kita dengan akun itu. Mungkin pada waktu Bowo melakukan unggahan video di medsos itu dia juga gak terpikir ada orang yang berkomentar (negatif). Jadi orangtua itu kan harus tahu anak ngapain aja ke mana aja. Kalau bisa mem-follow anaknya juga supaya dia tahu apa yang dimasukkan anaknya ke dalam akun-akunnya itu," ucap dia.

Kendati demikian, pasca pemblokiran aplikasi Tik Tok, dia mengatakan seharusnya pemerintah melakukan kajian atau penelitian sebelum aplikasi tersebut diterbitkan.

"Kalau kita lihat dampak positifnya lebih sedikit daripada dampak negatifnya, baru kita bisa menyatakan itu bisa ditutup. Dan kalau saya mengharapkan sebelum aplikasi itu ada mungkin dikaji dulu sebelum dipakai orang. Jangan seperti ketika sudah dipakai orang kemudian baru kelihatan dampaknya banyak kayak gini. Jadi kebijakan itu harus dilihat berdasarkan penelitian. Tapi juga untuk yang menggunakan harus hati-hati," tuturnya.

Sementara Yori, pengguna aplikasi Tik Tok menilai aplikasi tersebut sudah terlihat bagus sebagai ajang hiburan atau trend.  Namun yang membuat aplikasi tersebut dipandang buruk bergantung kepada pengguna Tik Tok itu sendiri.

"Kalau untuk aplikasi sendiri sebenarnya udah bagus. Cuman yang salah itu penggunanya karena menggunakan tidak sesuai peruntukkan. Maksudnya kalau untuk hiburan ya untuk hiburan. Kalau untuk jadi trend atau beken atau gimana oke gak jadi masalah. Cuman yang jadi masalah ketika orang itu beratraksi atau beraksi di depan kamera yang tadinya itu dipublikasi ke orang banyak, ke medsos harusnya jangan pakai yang mengundang membuka aurat atau bagaimana," ujar Yori saat dihubungi Tagar, Rabu (4/7).

Sebagai pengguna aplikasi Tik Tok, dia menyayangkan langkah Pemerintah yang melakukan pemblokiran aplikasi tersebut. "Harusnya diteliti lagilah dan dikoreksi lagi apa batasan-batasanya. Maksudnya kalau untuk diblokir harusnya jangan dulu, paling tidak diberikan surat peringatan (pihak Tik Tok) atau apa," ungkapnya.

Sebagai aplikasi yang masih baru dibandingkan aplikasi lainnya,  menurut dia,  perkembangan Tik Tok jauh lebih cepat daripada media sosial lainnya.

"Tik Tok ini memang sudah kekinian. Iya kalau dibilang kekinian ya paslah aplikasi (Tik Tok) itu. Kalau untuk hiburan aja pas, cuman kalau yang lain-lain kurang pas," tuturnya. (ron)

Berita terkait