Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian menargetkan Indonesia masuk dalam 10 besar negara dengan perekonomian terkuat di dunia pada tahun 2030.
Guna mewujudkan hal tersebut, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan pihaknya terus memacu industri manufaktur untuk lebih berinovasi, sehingga mampu menghasilkan produk yang berdaya saing global yang sejalan dengan roadmap Making Indonesia 4.0
“Inisiatif itu sudah masuk ke major project dalam RPJMN [Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional] 2020–2024, sehingga kami percaya bahwa Indonesia memiliki potensi tambahan PDB yang signifikan dari ekonomi digital, dengan proyeksi mencapai US$ 155 miliar pada 2025,” paparnya dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis, 2 Juli 2020.
Menurut Agus, implementasi Making Indonesia 4.0 menitikberatkan pada lima sektor, yakni industri makanan dan minuman, tekstil dan busana, otomotif, kimia, serta elektronik. Kelima sektor ini dianggap mewakili industri secara keseluruhan.
Namun demikian, Kemenperin ingin menambah dua sektor lagi sebagai pionir, yakni industri farmasi dan alat kesehatan. Sebab, saat ini sektor tersebut sedang mengalami permintaan tinggi, mengingat produk-produknya sedang dibutuhkan di tengah pandemi virus corona. Untuk itu, Menperin meminta kesiapan industrinya dengan ditopang ketersediaan SDM yang kompeten, selain penerapan teknologi modern.
“Ada yang menganggap, digitalisasi itu akan mematikan tenaga kerja. Namun sebaliknya, studi kami memperkirakan akan ada penambahan tenaga kerja yang cukup signifikan ketika sektor industri bisa mendorong digitalisasi,” tutur dia.
Sementera itu, Menperin juga mengemukakan bahwa Purchasing Managers’ Index (PMI) industri manufaktur per Juni 2020 adalah sebesar 39,1 atau mengalami kenaikan hingga 10 poin dibanding periode Mei 2020 yang berada di kisaran 28,6.
Terkait PMI manufaktur Indonesia pada Juni 2020, menurut laporan IHS Markit, kelonggaran tindakan pencegahan Covid-19 di Indonesia cukup membantu memulihkan sektor manufaktur, tetapi tidak cukup untuk membendung penurunan lebih lanjut dalam produksi.
“Dengan ekspektasi kelonggaran PSBB lebih lanjut dan kembali ke normal, sentimen bisnis naik tajam ke level tertinggi sejak bulan Januari sebelum pandemi meningkat, karena perusahaan umumnya mengharapkan output naik pada tahun mendatang,” ucap Agus.