INDEF Sebut Wajah Ekonomi Dunia Suram, Domestik Lesu

Direktur Program INDEF Esther Sri Astuti mengatakan wajah ekonomi domestik dan dunia kini telah berubah. Wajah ekonomi dunia suram.
Pemaparan wajah lesu ekonomi domestik dalam Seminar Nasional Proyeksi Ekonomi Indonesia 2020 Kabinet Baru dan Ancaman Resesi Ekonomi di Hotel JS. Luwansa, Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa, 26 November 2019. (Foto: Tagar/Nuranisa Hamdan)

Jakarta - Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti mengatakan wajah ekonomi domestik dan dunia kini telah berubah. Menurutnya wajah ekonomi dunia kini suram.

"Apa penyebabnya? Ada perang dagang, fluktuasi harga komoditas, penurunan suku bunga flat, memanasnya suhu politik di Amerika Serikat karena Presiden AS Donald Trump," tutur Esther Sri Astuti di JS Luwasa Hotel, Rasuna Said, Jakarta Selatan, 26 November 2019.

Baca juga: Empat Tanda Ekonomi Dunia Menuju Resesi

Wajah ekonomi global kata dia ditandai oleh beberapa hal seperti kurangnya daya beli yang cenderung menurun pada 2017-2019. Esther mengatakan sebenarnya bukan daya beli yang turun melainkan daya ingat untuk belanja.

"Lupa untuk belanja karena tidak punya uang," ucapnya.

Pertumbuhan Ekonomi IndonesiaKendaraan melaju di antara gedung bertingkat di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Kamis, 14 November 2019. Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh 5 persen pada 2019 yang disebabkan oleh pelemahan permintaan global dan meningkatnya ketidakpastian perang dagang Amerika Serikat dengan Cina. (Foto: Antara/Aprillio Akbar)

Belum lagi volume ekspor dan impor cenderung menurun. Hal tersebut kata dia tak lain karena masalah perang dagang antara AS dan China yang ujung-ujungnya berimbas kepada negara-negara di Asia, termasuk membuat wajah ekonomi Indonesia lesu.

"Ya karena tidak hanya perang dagang tapi meliputi turunan banyak perang teknologi, saling blokir perusahaan," ujarnya.

Eshter pun menjelaskan ada dua penyebab kenapa ekonomi Indonesia berwajah lesu. Pertama karena Indonesia belum mampu atau terjebak dari pertumbuhan ekonomi 5 persen.

Penyebabnya terutama disebabkan kurangnya dorongan pada pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB). Dari sisi pengeluaran, dua komponen terbesar penyumbang PDB yakni konsumsi rumah tangga dan Pembentukan Modal Tetap Bruto Domestik (PMTDB) atau investasi tidak mampu mengangkat pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen.

"Meskipun sempat tumbuh pada kisaran 7 persen, namun ini lebih disebabkan karena kehiatan investasi barang modal pada sektor infrastruktur," ujarnya.

Hambatan kedua yakni industri, perdagangan, dan investasi yang terdiri dari deindustrialisasi dini, kedapnya peran investasi langsung terhadap ekonomi serta rintangan berat menuju surplus. []


Berita terkait
Jokowi Bagikan Kiat Hadapi Resesi Ekonomi Dunia
Jokowi mengungkapkan akan ada efek buruk yang ditimbulkan dengan terjadinya resesi ekonomi di dunia aat berbicara dalam (KTT ROK-ASEAN CEO Summit.
INDEF: Target Pertumbuhan Ekonomi Terlalu Tinggi
Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad mengatakan asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,3 persen dalam APBN terlalu tinggi.
Pemerintah Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Tercapai
Kementrian Koordinator bidang Perekonomian optimistis proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak akan ada di bawah 5 persen.
0
Harga Emas Antam di Pegadaian, Rabu 22 Juni 2022
Harga emas Antam hari ini di Pegadaian, Rabu, 22 Juni 2022 untuk ukuran 1 gram mencapai Rp 1.034.000. Simak rincian harganya sebagai berikut.