Jakarta - Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha mengklaim bahwa proyek penambahan kapasitas listrik 35.000 MW terlalu dipaksakan, menurut para ahli masih terus dipaksakan, di tengah ancaman pasokan listrik yang berpotensi berlebih alias oversupply.
Menurutnya pemerintah memaksakan proyek ini karena di dalam proyek terdapat diwarnai dengan kasus-kasus korupsi yang salah satunya ialah kasus PLTU Riau 1 yang melibatkan aktor-aktor dari eksekutif serta legislatif.
Warga Indonesia ini kan sangat bergantung sekali dengan PLN, jadi kalau PLN merugi dan akan merugi terus maka itu akan berdampak kepada masyarakat juga,
“Warna ini yang perlu kita sayangkan, karena proyek ini melibatkan aktor-aktor kasus korupsi dan juga pengusaha. Lalu apakah benar kita membutuhkan pasokan listrik yang begitu besar sehingga pemerintah perlu membangun proyek tersebut,” kata Egi ketika diwawancarai di Tagar Tv pada Minggu, 22 November 2020.
Dikatakan Egi, jika benar negara tidak membutuhkan proyek 35.000 MW itu maka Indonesia akan mengalami oversupply yang akan berdampak pada keuangan PLN dan PLN akan merugi akibat oversupply tersebut.
“Saya belum tahu apakah PLN mempunyai data atau peta kebutuhan listrik di tiap daerah yang ada di Indonesia. Karena jangan sampai daerah satunya kekurangan listrik lalu daerah lainnya kelebihan listrik, ini akan berpengaruh di keuangan PLn,” tuturnya.
Egi menjelaskan hal ini terjadi karena didalam perjanjian jual beli listrik antara PLN dan Independent Power Produser jika ada tenaga listrik yang tidak digunakan maka PLN akan tetap meanggung biayanya.
Sedangkan PNL sendiri telah menyampaikan bahwa PLN telah merugi sebesar 12,2 triliun yang terhitung hingga September 2020 lalu. Kata Egi, jumlah ini sangat besar dan tidak bisa dianggap masalah kecil.
“Warga Indonesia ini kan sangat bergantung sekali dengan PLN, jadi kalau PLN merugi dan akan merugi terus maka itu akan berdampak kepada masyarakat juga,” jelasnya. Menurutnya PLN belum bisa menjelaskan secara detail apa penyebab kerugian sebesar 12,2 triliun tersebut. []
Baca juga: