Hoaks Covid-19 Meningkatkan Kecemasan Masyarakat

Ketakutan dan kecemasan masyarakat luas terhadap virus corona (Covid-19) kian parah karena penyebaran informasi bohong (hoaks) tentang Covid-19
Suasana di causeway (jembatan lintas) antara Johor Bahru, Malaysia, dan Singapura pagi waktu Singapura, 18 Maret 2020, hari pertama pemberlakuan lockdown Malaysia untuk menangkal penyebaran Covid-19. (Foto: straitstimes.com/ALPHONSUS CHERN).

Oleh: Syaiful W. Harahap*

Ketika masyarakat dicekam ketakutan dan kecemasan karena wabah virus corona (Covid-19) segelintir orang justru menambah kisruh suasana dengan menyebarkan informasi bohong (hoaks) tentang Covid-19. Cara-cara busuk yang dilakukan sebagian netizen (warganet) tsb. merupakan perbuatan yang melawan hukum, dalam hal ini UU ITE.

Pada situs resmi Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, covid19.go.id, ada Pelacak Aksi Positif yang menemukan 135 hoaks terkait dengan wabah virus corona (Covid-19). Sedangkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sampai Senin, 16 Maret 2020, sudah menemukan 232 konten hoaks dan disinformasi terkait dengan virus corona (Covid-19).

1. Polisi terus buru penyebar hoaks tentang Covid-19

Mabes Polri sendiri membuka data bahwa dalam dua bulan terakhir sudah ada 30 hoaks corona yaitu 22 kasus tambah 8 kasus terbaru. Polisi sudah menetapkan delapan tersangka dua diantaranya ditahan yaitu di Polres Jakarta Timur dan Polres Ketapang, Kalbar.

Salah satu hoaks, informasi palsu, yang ditemukan Kemenkominfo adalah tentang status Covid-19 Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang disebut positif. Padahal, hasil tes Covid-19 Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana negatif.

Bahkan, di Banggai Kepulauan (Bangkep), Sulawesi Tengah, justru seorang perawat yang menyebarkan hoaks melalui media sosial, Facebook, yang menyebut di wilayah itu sudah ada kasus Covid-19. Polisi sudah menangkap perawat itu. Di Sidrap, Sulawesi Selatan, seorang kuli bangunan, A, 19 tahun, ditangkap polisi karena mengunggah video di Youtube yang menyebut di Sulsel ada tiga kasus Covid-19. Pelaku memakai gambar yang diambil di RSUD Andi Makkasau dengan konteks yang berbeda. Atas laporan pihak RSUD Andi Makkasau polisi menangkap tersangka.

Polisi sendiri dikabarkan akan terus memburu penyebar hoaks tentang Covid-19 karena meresahkan masyarakat di tengah suasana yang mencekam karena wabah Covid-19.

2. Netizen bekerja tanpa pijakan filosofi

Mengapa orang-orang yang ringan tangan menyebar hoaks terkait Covid-19 itu tidak takut dipenjara?

Padahal, penyebar hoaks bisa dijerat dengan UU ITE dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara seperti disebutkan di Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang-Undang ITE (UU ITE): "Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana maksimal enam (6) tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 miliar."

Data di Direktorat Tindak Pidana Cyber, Mabes Polri, menunjukkan dari tahun 2017-2019 polisi menyelidiki 6.895 akun terkait dengan pelanggaran siber atau kejahatan siber. Perbuatan yang melawan hukum sesuai dengan UU ITE adalah penyebaran informasi bohong (hoaks), pencemaran nama baik, penyebaran ujaran kebencian (hate speech), pengancaman, pornografi, fitnah, dll.

Tindak pidana yang dilakukan melalui media sosial bisa terjadi karena netizen atau warganet tidak mempunyai filosofi jurnalisme yaitu self censorship yang dilandasi Kode Etik Jurnalistik. Mereka bekerja seperti wartawan tapi tidak dipandu dengan kode etik. Wartawan dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana harus mempertimbangkan sendiri apakah berita yang ditulisnya patut untuk diterbitkan atau disiarkan. Selain itu wartawan pun dilarang menulis berita yang memutarbalikkan fakta, fitnah, cabul serta sensasional.

Sementara netizen hanya dengan satu jari sudah bisa menyebarkan informasi dalam berbagai bentuk bahkan disertai gambar. Sedangkan wartawan jika ingin menerbitkan berita di media cetak, media elektronik dan media sosial harus melewati minimal melalui alur ini: self censorship – asisten redaktur – redaktur penanggung jawab rubrik/halaman.

3. Daya kritis dan ekspresif yang hanya sebatas hoaks

Selain itu ada saja yang menamakan diri sebagai aktivis yang selalu meneriakkan kebebasan berekspresi dan daya kritis terkait dengan konten di media sosial. Aktivis itu mengatakan daya kritis dan ekspresif warga tidak boleh dibendung dengan UU ITE.

Celakanya, daya kritis dan ekspresif sebagian netizen itu ternyata hanya sebatas penyebaran informasi bohong (hoaks), pencemaran nama baik, penyebaran ujaran kebencian (hate speech), pengancaman, pornografi, dan fitnah.

Itulah yang terjadi pada hoaks terkait dengan Covid-19. Orang-orang yang disebut aktivis tadi sebagai kritis dan ekspresif rupanya hanya sebatas menulis informasi bohong tentang Covid-19.

Ketika dunia dilanda kecemasan karena wabah Covid-19 adalah langkah yang melawan hukum, norma, moral dan agama jika menyebarkan hoaks melalui media massa, media online dan media sosial.

Media massa (media cetak dan elektronik) serta media online dilindungi UU dan wartawan bekerja dengan kode etik, sedangkan netizen tanpa panduan sehingga tidak mempunyai pegangan dalam menyebarluaskan informasi.

Mereka hanyut dalam kebebasan (semu) sehingga tidak berpikir panjang ketika menyebarkan informasi yang ternyata melawan hukum sesuai dengan UU ITE. Maka, akibatnya mereka harus berhadapan dengan hukum dengan imbalan hotel prodeo bertahun-tahun di balik jeruji besi (dari berbagai sumber). []

* Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
Publikasi Identitas Covid-19 Suburkan Stigmatisasi
Publikasi identitas yang tertular Covid-19 mendorong masyarakat lakukan stigmatisasi dan diskriminasi terhadap yang tertular Covid-19
Iran Cambuk dan Penjarakan Penyebar Hoaks Corona
Iran menghukum 24 warganya karena menyebarkan hoaks tentang virus corona dengan hukuman cambuk dan penjara tiga tahun
Hoax Virus Corona Penjarakan Orang-orang Ini
Biar pun sudah puluhan orang yang masuk penjara karena posting-an di media sosial, tapi tetap saja ada yang sebar hoaks virus corona