Pematangsiantar - Kejaksaan Negeri Pematangsiantar, Sumatera Utara pada Rabu, 24 Februari 2021, sudah menghentikan kasus penistaan agama terhadap empat tenaga kesehatan (nakes) yang bertugas di Instalasi Pemulasaran Jenazah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Djasamen Saragih.
Banyak pihak menyayangkan kasus ini bisa ditindaklanjuti oleh kepolisian setelah Fauzi Munthe, suami almarhumah Zakiah, 50 tahun, membuat laporan polisi.
Zakiah ditangani empat nakes di ruang forensik setelah dinyatakan meninggal dunia pada Minggu, 20 September 2020. Zakiah dirawat di rumah sakit daerah itu sejak 18 September 2020 karena mengidap penyakit gagal ginjal dan suspek Covid-19.
Empat petugas forensik yang sempat menjadi tersangka dimaksud adalah Rian Egi Pradana, 21 tahun; Dedy Agus Afrie Yanto, 24 tahun; Roni Sibarani, 41 tahun; dan Eko Syah Papande Siregar, 38 tahun.
Menanggapi kasus yang sempat viral tersebut, Ketua DPP Himpunan Mahasiswa dan Pemuda Simalungun (Himapsi) Rado Damanik kepada Tagar menyebut, sebenarnya kasus ini di awal bisa diselesaikan dengan kekeluargaan, jika saja Wali Kota Pematangsiantar Hefriansyah dan Kapolres Pematangsiantar AKBP Boy Siregar bertindak bijak.
Namun yang terjadi, kata Rado, Wali Kota Hefriansyah justru ikut terlibat dalam proses demonstrasi saat sejumlah organisasi masyarakat keagamaan turun ke jalan terkait kasus ini.
"Bahkan dia menyalahkan dan memberikan hukuman kepada bawahannya. Yang kami lihat malah wali kota mencoba mencuri momentum dengan mencari simpati dari massa aksi terkait penistaan agama yang katanya dilakukan nakes," kata Rado dalam keterangan tertulis, Rabu, 24 Februari 2021.
Kami juga meminta Kapolres Siantar bertanggung jawab atas kasus ini, karena kurang bijak dan kurang ketelitiannya terhadap kasus ini
Menurut Rado, hal itu dilakukan wali kota karena kurangnya dukungan politik kepadanya, baik di tingkat masyarakat maupun di DPRD Pematangsiantar.
"Wali Kota Hefriansyah termasuk jenis yang tidak disukai masyarakat Siantar," tukas pria yang sempat ikut turun ke jalan dalam kasus ruilslag SMA Negeri 4 Pematangsiantar pada 2009 silam.
Dengan adanya permasalahan ini, sambung dia, Wali Kota Hefriansyah memanfaatkannya dengan berpura-pura mendukung aksi tersebut dan menjatuhkan sanksi kepada bawahannya sehingga wali kota dalam kasus ini seolah-olah menjadi pahlawan.
"Nyatanya dia mengorbankan bawahannya yang sudah bertarung nyawa untuk memberikan kenyamanan kepada korban Covid-19. Seharusnya nakes tersebut diberikan penghargaan bukan malah mau dipenjarakan. Artinya di sinilah kurang bijaknya wali kota," tandasnya.
Rado mengingatkan, terkait kasus ini Wali Kota Hefriansyah harus bertanggung jawab karena terancam mencoret predikat Kota Pematangsiantar sebagai kota toleransi.
"Kami juga meminta Kapolres Siantar bertanggung jawab atas kasus ini, karena kurang bijak dan kurang ketelitiannya terhadap kasus ini. Kami lihat Kapolres seolah-olah bisa diintervensi kekuatan massa yang mengatasnamakan agama," ungkapnya. []