Hasil Survei Pilpres Bisa Berubah pada Hari H Karena Hal-hal Berikut Ini

Ketar-ketir menuju hari H pencoblosan. Hasil survei pilpres bisa berubah Karena hal-hal berikut Ini.
Calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dan calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo akrab disapa Jokowi. (Foto: Tagar/AF)

Jakarta, (Tagar 20/3/2019) - Jelang pemilihan umum (Pemilu) hasil temuan suatu lembaga survei, kadangkala menjadi patokan masyarakat awam untuk menerka-nerka elektabilitas pasangan calon yang menjadi jagoannya. Namun, kadangkala hasil survei tidak melulu sama dengan hasil yang muncul di hari pemilihan.

Misalnya saja, pada Pilkada Sumatera Utara menurut hasil survei LSI-Denny JA pada 8-12 Juni 2018, dengan margin of error 3,16 persen, menyatakan elektabilitas Edy Rahmayadi-Musa Rajeskshah 45,5 persen dan Djarot Saiful Hidayat-Sihar Sitorus sebesar 34,7 persen, dengan jarak elektabilitas 10,8 persen.

Pada kenyataannya pasangan Edy Rahmayadi-Musa mendapat suara 57,57 persen, sedangkan pasangan Djarot Saiful Hidayat-Sihar Sitorus mendapat suara 42,43 persen, dengan jarak kemenangan hampir 10 persen.

Survei itu tidak ada untuk memprediksi apa yang terjadi besok, tapi membaca kondisi saat ini, pada saat wawancara survei itu dilakukan.

Kemudian, di Pilgub Jabar dari hasil rekapitulasi KPU, pasangan Ridwan Kamil-UU Ruzhanul Ulum dinyatakan sebagai pemenang dengan perolehan suara 32,88 persen suara, kedua Sudrajat-Ahmad Syaikhu 28,74 persen suara, ketiga Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi 25,77 persen suara, dan terkahir Tubagus Hasanuddin-Anton Charliyan dengan 12,62 persen suara.

Padahal dari hasi survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 22 Mei-1 Juni 2018. Hasilnya, elektabilitas Ridwan Kamil-UU Ruzhanul Ulum elektabilitas sebesar 43,1 persen, diikuti Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi 34,1 persen, Sudrajat-Ahmad Syaikhu 7,9 persen dan Tubagus Hasanuddin-Anton Charliyan 6,5 persen. Ada perbedaan elektabilitas dari Sudrajat-Ahmad Syaikhu yang menanjak naik di hari pemilihan hingga menempati perolehan tertinggi kedua.

Tentu, dua pemilihan di atas merupakan contoh kecil dari perbedaan hasil survei yang dilakukan hari 'ini' dengan hari pemilihan sesungguhnya. Pasalnya, yang semestinya diketahui publik menurut Direktur Program Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas, temuan survei itu, tidak untuk memprediksi apa yang terjadi besok.

"Survei itu tidak ada untuk memprediksi apa yang terjadi besok, tapi membaca kondisi saat ini, pada saat wawancara survei itu dilakukan," terangnya saat wawancara khusus dengan Tagar News, di Kantor SMRC, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (19/3).

"Misal, kita melakukan wawancaranya antara 24 Februari sampai 5 Maret, jadi periode itu yang terbaca. Setelah itu ya kita tidak bisa memprediksi," sambungnya.

Jadi, istilahnya, menurut dia dalam ilmu sosial selalu ada margin of error, yakni ada wilayah-wilayah yang tidak terbaca. Seperti survei yang dilakukan SMRC ada margin of error sebesar dua persen, yang menurutnya bisa jadi kejutan di hari H.

"Kan namanya ilmu sosial selalu ada margin of error-nya, ada wilayah-wilayah yang tidak terbaca, dan dalam survei kita itu yang kita rilis sebesar dua persen, jadi kisarannya yang tidak terbaca kisaran dua persen, bahwa mungkin ada kejutan realnya misalnya berubah dari temuan survei," bebernya.

Swing Votter dan Undecided Votters Penentu

Tapi, tetap saja kejutan perubahan elektabilitas di hari pemilihan, tidak mungkin tanpa pengaruh apa pun. Karena menurutnya tergantung lagi pada dua faktor besar yakni swing votters dan undicided votters.

"Kalau terjadi perubahan biasanya itu mungkin terjadi karena dua faktor besar, yang undecided sebagian besar ngeblok pada calon tertentu atau yang swing votters memutuskan untuk memindahkan dukungan," paparnya.

Misal elektabilitas pasangan calon nomor urut satu (01) Jokowi Widodo-Ma'ruf Amin kini lebih unggul yakni 57,6 persen, daripada pasangan calon nomor urut dua (02) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno 31,8 menurut hasil survei SMRC. Meski terlampau jarak 26 persen masih ada kemungkinan keadaan berbalik karena swing votters.

"Saat ini mungkin saja ada orang yang mendukung Jokowi, tapi pada saat di TPS dia memutuskan mendukung Prabowo. Atau sebaliknya saat ini dia mendukung Prabowo, saat di TPS dia mendukung Jokowi," ujarnya.

Kemudian bisa saja undicided yang jumlahnya 10 persen beralih mendukung  Prabowo di hari pemilihan. Ya mungkin saja, ini kan masyarakat, ya mungkin saja," imbuhnya.

"Tetapi secara scientific, sangat-sangat kecil kemungkinannya mereka mayoritas undecided akan ngeblok ke salah satu calon. Sebab biasanya terdistribusi secara proporsional," sambung dia.

Faktor terakhir yang merupakan penentu perubahan suara paslon adalah partisipasi saat hari pemilihan. Misalnya jika ada proporsi pemilih yang cukup besar dari pendukung salah satu paslon itu tidak datang ke TPS, maka otomatis jumlah pendukungnya juga berkurang.

"Ketika seseorang dukung salah satunya, karena harus bekerja lupa tuh, ya hilang satu suara. Bayangkan yang begitu itu, mungkin banyak bisa jadi ribuan," urainya.

Jadi, menurutnya masih mungkin ada perubaan elektabilitas jika melihat dari faktor swing votters, udecided votter, dan partisipan pada hari berlangsungnya pemilihan. "Bisa jadi itu faktor yang mempengaruhi perubanan dukungan pada masing-masing calon," tukasnya. []

Baca juga:

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.