Untuk Indonesia

Harmoni Islam Yahudi Kristen Hindu dalam Lintasan Sejarah

Kalau kamu tidak tahu sejarah, kamu ibarat daun yang tak tahu dirinya bagian dari pohon. Harmoni Islam Yahudi Kristen Hindu dalam lintasan sejarah.
Ilustrasi - Matahari terbit, harapan. (Foto: Pixabay/angelac72)

Oleh: Syafiq Hasyim*

Pernahkah kita, umat Islam, mendapatkan sumbangsih dari non-muslim terutama dari kaum Yahudi, Kristen, dan Hindu dalam sejarah peradaban Islam? Pertanyaan ini perlu saya kemukakan di sini karena masih banyak dari kalangan muslim yang sering memojokkan kaum non-muslim dalam kehidupan sehari-hari.

Kaum non-muslim dianggap musuh, dipandang sebagai pihak yang sama sekali tidak memiliki jasa apa pun pada umat Islam.

Di negeri kita, kaum non-muslim sering menjadi sasaran kebencian. Mereka sering dianggap sebagai pihak yang senantiasa ingin mengajak orang Islam masuk ke dalam agama mereka. Bahkan dalam situasi wabah Covid-19 ini, ada yang mengatakan virus corona ini hanya diperuntukkan bagi kaum non-muslim.

Sejauh itukah prasangka kita terhadap kaum non-muslim? Pendek kata, citra kaum non-muslim memang sangat jelek di hadapan orang-orang Islam. Jika mereka berjasa pun, jasa itu dianggap sebuah keharusan sebagai minoritas, dan parahnya juga jasa itu tidak dianggap sebagai perbuatan baik bagi kaum muslim karena mereka tidak seakidah.

Buat apa menghargai mereka yang tidak seakidah? Demikian yang sering dipertanyakan. Namun, bagaimana dengan sejarah kita, sejarah Islam yang telah mencatat mereka? Marilah kita lihat sejarah Islam. Mari kita buka mata dan pikiran kita bahwa mereka memiliki jasa penting bagi kaum muslim.

Dalam sejarah Islam, ekspansi ke dunia luar jazirah Arab begitu cepat terjadi, namun kemajuan peradaban Islam terpenting setelah era Nabi Muhammad adalah munculnya kekuasaan Dinasti Abbasiyyah.

Kata orang bijak, kalau kamu tidak tahu sejarah, kamu tidak tahu apa-apa, kamu ibarat daun yang tidak tahu bahwa dirinya merupakan bagian dari pohon.

Kekuasaan Dinasti Abbasiyah ini berhasil membawa Islam masuk ke dataran Eropa terutama kawasan Andalusia, sekarang disebut negara Spanyol. Dinasti Abbasiyah ini tidak hanya mengalami kemajuan perluasan wilayah, namun juga dalam bidang pengembangan peradaban dan pengetahuan Islam.

Baiklah, selanjutnya kita buka lembaran sejarah kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam. Ternyata, umat Islam memang mendapatkan sumbangan nyata dari kaum non-muslim. Bahkan sumbangan mereka itu bukan sekadar sumbangan biasa, tapi sumbangan yang sangat menentukan dalam membangun ilmu pengetahuan dan peradaban dunia Islam yang sangat maju pada saat itu.

Tahukah wahai generasi kita sekarang, bahwa peran non-muslim dalam transfer ilmu pengetahuan ke dunia Islam merupakan hal tak terbantahkan. Mereka menerjemahkan karya-karya berbahasa Yunani, India, dan juga Persia, serta bahasa Siryani ke dalam bahasa Arab, bahasa utama umat Islam pada saat itu dan juga pada abad sekarang.

Siapakah mereka-mereka ini? Saya sebutkan beberapa contoh nama. Pertama, keluarga Bakhtishu anak dari Georges Bakhtisu, penganut Kristen Nestorian. Georges Bakhtisu adalah seorang yang menjadi dokter untuk khalifah Abbasiyah, yaitu khalifah al-Mansur. Kedua, keluarga Hunain, terutama Hunain bin Ishaq. Hunain bin Ishaq juga seorang penganut Kristen yang taat.

Kita harus memberi tahu generasi Islam sekarang, bahwa karya terjemahan dari Hunain bin Ishaq dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab dinikmati para ulama dan pemikir Islam termasyhur pada zaman itu, antara lain adalah Ibn Rusyid. Ibn Rusyid adalah seorang ulama besar dalam mazab Maliki yang kitab-kitabnya kita baca secara luas di pesantren-pesantren modern dan juga perguruan tinggi Islam seantero Indonesia sampai saat ini.

Bacalah sejarah untuk mengaitkan peristiwa-peristiwa hari ini dengan sejarah kita yang lalu pada hari di mana itu akan menjelaskan kepada kita pelajaran dan pelajaran.

Tahukah kita bahwa Ibn Rusyid mendapatkan manfaat dari karya-karya Hunain ini. Lalu ada juga sejumlah nama seperti Khis al-A'sam al-Dimasyqi, seorang Kristen juga, kemudian Qista bin Luqa, seorang Nasrani dari Syam, Masargeh al-Yahudi al-Siryani, Tsabit al-Harrani, Abu Basyar Mata bin Yunus, Yahya bin Adi, Istafan bin Basili dan Musa bin Khalid.

Nama-nama itu yang membantu Dinasti Abbasiyah menerjemahkan sumber-sumber asing yang berasal dari bahasa Yunani dan Siryani ke dalam bahasa Arab pada masa kejayaan mereka.

Ada juga sumbangan dari orang Hindu seperti dilakukan Mankah al-Hindi dan Ibn Dahen al-Hindi. Mereka, keduanya menerjemahkan sumber-sumber berbahasa Sansekerta ke dalam bahasa Arab. Bidang-bidang keilmuan yang diterjemahkan oleh mereka pun adalah bidang-bidang utama yang membawa kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban umat Islam seperti ilmu kedokteran, astronomi, kimia, pertanian, fisika, filsafat, ilmu hukum, dan lain sebagainya.

Hasil akhir dari ini semua adalah kemajuan peradaban umat Islam dan ilmu pengetahuan Islam pada masa di atas. Kemajuan Islam ini pada akhirnya juga menjadi jembatan bagi kemajuan dunia Eropa. Kemajuan dunia Eropa berarti juga kemajuan dunia. Bagaimana kita, generasi manusia sekarang menyikapi fakta sejarah yang demikian ini?

Mungkin seseorang bisa membenci dan memusuhi non-muslim dalam hal urusan keagamaan, politik, ideologi kekinian, namun kita tidak bisa membuang fakta sejarah bahwa mereka pernah menorehkan jasa mereka kepada umat Islam, menyumbang tercapainya puncak peradaban dan ilmu pengetahuan di dalam dunia Islam.

Kata orang bijak, kalau kamu tidak tahu sejarah, kamu tidak tahu apa-apa, kamu ibarat daun yang tidak tahu bahwa dirinya merupakan bagian dari pohon.

Memang, manusia yang lupa sejarah pada dasarnya adalah manusia yang dungu karena masa depan itu sebagian ditentukan sejarah.

Syaikh Ibrahim al-Duwais mengatakan dalam sebuah kitabnya: Bacalah sejarah untuk mengaitkan peristiwa-peristiwa hari ini dengan sejarah kita yang lalu pada hari di mana itu akan menjelaskan kepada kita pelajaran dan pelajaran.

Sebagai catatan, marilah dalam menyikapi sumbangan non-muslim untuk muslim dalam era Covid-19 ini sebagaimana dulu para ulama dan penguasa Islam zaman puncak peradaban Islam. Dengan sikap demikian, kita bisa mencapai kehidupan yang toleran, harmonis, saling mengasihi dan saling membantu satu sama lain. Selain itu, kehidupan kita menjadi rahmat bagi sesama. 

*Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wakil Ketua Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU), MA dari Leiden University, Belanda. Ph.D dari Freie University, Jerman.

Baca juga:

Berita terkait
Penting Mana, Hafal atau Paham Alquran
Fenomena menghafal Alquran di Indonesia begitu dahsyat terjadi dalam kurun waktu 15 tahun terakhir. Penting mana, hafal atau paham Alquran.
Lebaran di Tengah Kesedihan Pandemi
Memang banyak yang sedih menerima kenyataan, Idul Fitri yang kita rayakan setahun sekali, namun untuk 2020 ini kita tetap diimbau di rumah saja.
Masjidil Haram Kurang Apa Berkahnya, Toh Ditutup Juga
Bupati Lombok Timur berkata Masjidil Haram itu kurang apa berkahnya, toh ditutup juga saat pandemi Covid-19. Sedang banyak pemimpin daerah ragu.
0
Kementerian Agama Siapkan Pengaturan Hewan Kurban di Tengah Wabah PMK
Menjelang dan pada Iduladha dan tiga hari tasyrik di Iduladha pasti kebutuhan hewan ternak terutama sapi dan kambing itu akan tinggi