Hari-hari Menuju Pendaftaran Capres-Cawapres 27 Juli 2018

Hari-hari menuju pendaftaran capres-cawapres 27 Juli 2018. Masa menegangkan bagi para elit partai politik.
Hari-hari Menuju Pendaftaran Capres-Cawapres 4 Agustus 2018 | Presiden Joko Widodo (kiri) dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo (tengah) berjabat tangan dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kanan) di acara Silahturahmi Idul Fitri 1 Syawal 1439 H di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (15/6/2018). (Foto: Antara/Widodo S Jusuf)

Jakarta, (Tagar 6/7/2018) - Masa pendaftaran calon presiden dan wakil presiden untuk Pemilu 2019 semakin dekat. Sesuai Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pendaftaran capres-cawapres dilakukan selambat-lambatnya delapan bulan jelang pemungutan suara.

Dengan demikian, masa pendaftaran capres-cawapres akan dimulai pada 27 Juli hingga 3 Agustus, untuk kemudian ditetapkan capres-cawapres pada 4 Agustus mendatang.

Hari-hari ini menuju waktu pendaftaran capres-cawapres adalah masa menegangkan bagi para elit partai politik. Koalisi pendukung Presiden Joko Widodo pada Pilpres 2019 menunjukkan soliditas. Dukungan untuk Jokowi meluas, beberapa indikasi menunjukkan calon kompetitor Jokowi menurun.

Koalisi pendukung Jokowi pada Pilpres 2019 yakni PDI-P, Golkar, PPP, Hanura, dan Nasdem. Belakangan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga telah menyatakan dukungan, namun dengan syarat Presiden Jokowi memilih Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar sebagai cawapresnya.

Menurut Sirajuddin Abbas Pengamat Politik dari Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), koalisi partai pendukung Jokowi lebih percaya diri dibanding partai-partai calon penantang Jokowi. 

"Saya kira mereka sudah punya kepastian dan kepercayaan diri lebih baik dibanding lawan atau calon penantangnya. Kepastian Jokowi punya cukup syarat dengan jumlah partai lebih dari cukup, memenuhi prasyarat pencalonan, dibanding calon lainnya atau penantangnya," ujar Sirajuddin pada Tagar News melalui sambungan telepon, Kamis sore (5/7)

"Lebih confident. Sejauh ini elektabilitas Jokowi cukup solid, menguat. Hasil Pilkada justru memperkuat peta electoral, peta pemilih lebih baik karena sebagian besar gubernur, wali kota unggul sudah jelas mendukung Jokowi," lanjutnya. 

Sementara partai politik yang belum menentukan sikap, Partai Demokrat misalnya sempat membuka wacana koalisi baru dengan memplot Jusuf Kalla sebagai capres dan Agus Harimurti Yudhoyono sebagai cawapres.

"Demokrat membuka alternatif koalisi baru, tidak terikat dua kutub, Jokowi dan Prabowo. Berusaha menawarkan kutub koalisi baru, JK-AHY, terlepas sikap JK, untuk merebut perhatian publik. Itu normal," ujar Sirajuddin. 

Prabowo Dapat Angin Segar di Jabar

Sirajuddin menjelaskan situasi Prabowo yang mendapat angin baru di Jawa Barat. 

"Di Jabar, Prabowo lebih unggul dari Jokowi. Menunjukkan kampanye Gerindra berhasil," ujarnya.

Penjelasannya itu mengacu pada hasil exit poll SMRC yang menyebutkan tingkat keterpilihan Presiden Joko Widodo belum sepenuhnya menguasai pemilih di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Barat karena sebagian besar masyarakat Jabar memilih Prabowo Subianto, bila hari ini terjadi head to head antara keduanya.

Berdasarkam exit poll Pilkada 2018, elektabilitas Presiden Joko Widodo masih belum cukup mendominasi pilihan warga Jawa Barat," kata Direktur Riset SMRC, Deni Irvani, di Jakarta, Selasa (3/7).

Namun, lanjut Deni Irvani, jika pada hari H Pilkada di sejumlah provinsi besar, maka lebih besar pemilih akan mendukung Jokowi sebagai presiden bila Pilpres diadakan, kecuali di Provinsi Jawa Barat.

"Hanya khusus di Jawa Barat telah terjadi perubahan signifikan pilihan presiden dibanding survei beberapa minggu dan bulan sebelum hari H Pilkada serentak 2018," katanya.

Menurut dia, sentimen masyarakat Jabar terhadap Prabowo yang mengangkat kenaikan suara Sudrajat-Syaikhu secara sangat signifikan hingga melewati suara Deddy Mizwar-Dedy Mulyadi, dan mendekati suara Ridwan Kamil-UU.

"Ada indikasi kampanye 'ganti presiden' hanya berpengaruh di wilayah Jawa Barat, tetapi daerah lain di Pulau Jawa tidak. Mesin partai pendukung Prabowo di Jabar, yakni Gerindra dan PKS jauh lebih besar. Ini yang membuat kampanye tersebut efektif," ucap Deni.

Ia menyebutkan jika hari ini terjadi head to head antara Jokowi dengan Prabowo di Jawa Barat, Prabowo memperoleh suara 51,2 persen dan Jokowi sebesar 40,3 persen, sedangkan yang tidak jawab sebesar 8,5 persen.

Untuk Jawa Tengah, jika terjadi head to head antara Jokowi dengan Prabowo, maka hasil signifikan diperoleh Jokowi dengan angka mencapai 73,1 persen, Prabowo sebesar 19,7 persen dan tidak jawab sebesar 7,2 persen.

Sedangkan di Jawa Timur, jika terjadi head to head antara Jokowi dengan Prabowo, maka hasil signifikan diperoleh Jokowi dengan angka mencapai 64,2 persen, Prabowo sebesar 28,3 persen dan tidak jawab sebesar 7,5 persen.

Dalam hasil exit poll di provinsi lain, tingkat Jokowi masih unggul ketimbang Prabowo Subianto, seperti di Provinsi Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, hingga di Provinsi Kalimantan Barat.

Di Sumatera Utara, jika terjadi head to head antara Jokowi dengan Prabowo, maka hasil signifikan diperoleh Jokowi dengan angka mencapai 52,8 persen, Prabowo sebesar 40,4 persen dan tidak jawab sebesar 6,8 persen.

Untuk Provinsi Sulawesi Selatan, jika terjadi head to head antara Jokowi dengan Prabowo, maka hasil signifikan diperoleh Jokowi dengan angka mencapai 50 persen, Prabowo sebesar 38,4 persen dan tidak jawab sebesar 11,6 persen.

Sedangkan di Kalimantan Barat, jika terjadi head to head antara Jokowi dengan Prabowo, maka hasil signifikan diperoleh Jokowi dengan angka mencapai 58,4 persen, Prabowo sebesar 35 persen dan tidak jawab sebesar 6,6 persen.

Dalam exit poll ini, SMRC menggunakan populasi seluruh pemilih yang datang ke TPS dalam Pilkada serentak 2018 (27 Juni 3018) di Pemilihan Gubernur di enam Provinsi. Masing-masing Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan di Provinsi Kalimantan Barat.

Jumlah responden exit poll di setiap provinsi, masing-masing di Jawa Barat sebesar 1.580 orang, Jawa Tengah sebesar 1.176 orang, Jawa Timur sebesar 1.436 orang, Sumatera Utara sebesar 1.003 orang, Sulawesi Selatan sebesar 1.053 orang dan di Provinsi Kalimantan Barat sebesar 574 orang. 

Sementara posisi PKS dan PAN," Mereka masih negosiasi peluang koalisi, yang lebih memberikan peluang untuk merebut perhatian lebih baik," kata Sirajuddin.

Saat ini, kata Sirajuddin, belum tentu juga Prabowo maju, atau AHY. "Belum tentu. Mereka melihat-lihat situasi, taktis. Kalau koalisi alternatif tidak cukup kuat, bisa pragmatis (memberikan dukungan) ke Jokowi."

Pengakuan TGB

Beberapa indikasi menunjukkan dukungan pada Jokowi meluas, di antaranya datang dari Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi Gubernur Nusa Tenggara Barat yang juga adalah Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat.

TGB yang mengaku dulu adalah tim sukses pemenangan Prabowo Subianto pada Pilpres 2014, menyatakan dukungan untuk Presiden Joko Widodo untuk melanjutkan kepemimpinannya pada periode kedua sebagai Presiden RI. Menurut TGB, keputusannya mendukung Jokowi itu setelah melalui pertimbangan yang berkaitan dengan kemaslahatan bangsa, umat dan akal sehat.

Dia menilai selama Jokowi memimpin, pencapaian kawasan ekonomi khusus Mandalika di NTB sudah berhasil dan apabila ada pergantian di level kepemimpinan nasional, maka akan terjadi kemandekan baik dari segi ekonomi maupun sosial di wilayah Mandalika dan juga NTB.

Agus Hermanto Wakil Dewan Pembina Partai Demokrat pada Kamis (5/7) menyatakan bahwa pernyataan TGB itu bukan representasi sikap resmi Partai Demokrat.

"Apa yang disampaikan TGB Zainul Majdi adalah pendapat pribadi karena kalau sikap resmi partai disampaikan oleh DPP Partai Demokrat," kata Agus di Kompleks Parlemen, Jakarta, mengutip Antara.

Agus mengatakan semua kader Demokrat memiliki hak untuk berpendapat, termasuk Zainul Majdi. Menurutnya, sikap resmi Majelis Tinggi partai akan dibahas terlebih dahulu di internal dan disampaikan secara resmi.

"Tentu semuanya diputuskan di dalam rapat Majelis Tinggi, tidak disampaikan sendiri-sendiri. Saya pun juga anggota Majelis Tinggi, dan tentunya semuanya kami runut mengikuti apa yang diputuskan oleh rapat majelis tinggi," ujarnya.

Agus mengatakan dirinya tidak tahu apakah pernyataan TGB tersebut sudah terlebih dahulu meminta izin kepada Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono.

Pasti Bantu Jokowi

Hinca Panjaitan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat mengatakan pertemuan antara Wapres Jusuf Kalla dan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Senin malam (25/6) memunculkan wacana pasangan Jusuf Kalla-Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) pada Pilpres mendatang.

Pengalaman kepemimpinan SBY-JK pada Kabinet Indonesia Bersatu, 2004-2009, menjadi salah satu pertimbangan untuk Partai Demokrat menggandeng kembali Jusuf Kalla.

Sofjan Wanandi Ketua Tim Ahli Wapres pada Rabu (4/7) mengatakan bahwa Wakil Presiden Jusuf Kalla telah menolak tawaran Partai Demokrat untuk maju dalam kontestasi pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2019

"Ndak. Dia (JK) sudah tolak, dia tidak mau, sudah kasih tahu ke (Partai) Demokrat dia tidak bisa lagi. Dia mau pensiun saja, dia bilang. Pasti bantu Pak Jokowi lah, jadi apa pun dia tidak peduli," kata Sofjan Wanandi di Kantor Wakil Presiden Jakarta.

Terkait pendekatan yang dilakukan Partai Demokrat untuk mengusung Jusuf Kalla berpasangan dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Sofjan mengatakan JK tidak terlalu memikirkan hal itu.

"Ya manuver-manuver politik (Demokrat) itu hak dia. Kita kan tidak bisa bilang apa-apa, sudah kita kasih tahu. Pak JK juga sudah kasih tahu langsung," tambahnya.

Di tempat terpisah, M Romahurmuziy Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan menilai wacana yang dilontarkan Partai Demokrat dengan mengusulkan JK-AHY untuk Pemilihan Presiden 2019 tidak memiliki prospek.

"Jadi saya bisa mengatakan bahwa wacana yang dikembangkan oleh Demokrat sama sekali tidak memiliki prospek untuk 2019 yang akan datang," katanya di Jakarta, Selasa malam (3/7).

Menurut Romahurmuziy, ada dua alasan penting pasangan tersebut tidak memiliki landasan kuat untuk dapat terwujud. Pertama, tidak ada koalisi yang mengusungnya, mengingat Partai Demokrat tidak mempunyai cukup suara untuk mengusung calon sendirian.

"Hari ini kalau mengusung koalisi di luar Pak Jokowi dan Pak Prabowo maka hanya tiga partai politik yang bisa bergabung bersama Demokrat, PAN dan PKB. Sejauh ini saya tidak melihat satupun sinyal bahwa PAN dan PKB, Demokrat akan bergabung dalam satu koalisi," katanya.

Kedua, sejauh perjumpaannya dengan Wapres M Jusuf Kalla, lanjutnya, tidak ada tanda-tanda untuk maju ataupun dikehendaki oleh kalangan sekelilingnya untuk maju menjadi calon presiden.

"Saya belum pernah mendengar, dalam seringnya saya bertemu Pak JK, Pak JK berkeinginan atau dikehendaki oleh orang sekelilingnya untuk maju menjadi calon presiden, belum pernah," katanya.

Dia memastikan PPP tetap akan berada dalam koalisi untuk mengusung Presiden Joko Widodo kembali pada Pemilihan Presiden 2019 mendatang. Ia berpandangan, kedepan sebaiknya Presiden Joko Widodo yang berasa dari golongan nasionalis dapat didampingi dari golongan agama. Meskipun demikian, dia menyerahkan kepada Presiden Joko Widodo untuk memilih nama pendampingnya dalam pemilihan presiden 2019 mendatang.

JK-Anies Tiga Kali Semobil

Wapres Jusuf Kalla untuk ketiga kalinya terlihat berkendara satu mobil dengan Anies Baswedan pada acara halalbihalal PP Muhammadiyah, Rabu siang (4/7).

Sebelumnya, JK-Anies juga datang bersama dengan satu mobil beregistrasi RI-2 ketika menghadiri halalbihalal PB Nahdlatul Ulama, Selasa malam (3/7). Dan juga usai menghadiri rapat koordinasi persiapan Asian Games 2018 di Gedung Inasgoc, Jumat (29/6).

Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan menilai baik intensitas kedekatan antara Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang sering terlihat satu mobil saat menghadiri beberapa acara.

"Ya tentu karena tahun politik, apa pun gerak orang diterjemahkannya kan pasti politik. Jadi kalau Pak Anies dan Pak JK sering jalan, artinya mereka dekat. Tentu pada saatnya akan ada kesimpulan, tunggu saja nanti," kata Zulkifli disela halalbihalal PP Muhammadiyah di Jakarta, Rabu.

Ketua MPR tersebut mengatakan meningkatnya kedekatan antara Wapres JK dan Anies, di masa menjelang pendaftaran calon presiden dan calon wapres untuk Pemilu 2019, menimbulkan tafsir politik.

"Ya sekarang tentu parpol-parpol intens melakukan pertemuan. Ini namanya tahun politik, gerakan orang dibaca," ucapnya.

Anies Baswedan Gubernur DKI Jakarta ketika dikonfirmasi mengenai tiga kali berada dalam satu mobil dengan JK itu, mengatakan bahwa Wakil Presiden RI Jusuf Kalla merupakan seorang pemimpin yang memiliki etika baik.

"Ini menurut saya satu etika yang baik dari seorang pemimpin. Saya rasa ini adab contoh yang baik yang jadi rujukan kita semua bahwa ketika ada yang menumpang saya diajak. Beliau (JK) antarkan sampai ke tempat saya bekerja, bukan saya turun di tengah jalan," kata Anies di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Senin (2/7).

Dia mengatakan tidak ada pembahasan Pilpres 2019, dan banyak membahas soal Asian Games 2018.

"Jadi gini sebetulnya ini satu contoh bagaimana kalau saya ceritakan ini prosesnya. Saya bilang Pak Wapres saya turun saja di sebelah nanti jalan kaki, kan kantor beliau (JK) di sebelah. Beliau (JK) sudah saya antar dulu baru ke sana," kata Anies.

Sedangkan terkait Partai Gerindra yang masih mempertimbangkan untuk menduetkan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dan Anies sebagai calon presiden dan wakil presiden pada pilpres 2019. 

"Nggak ada komentar, sudah itu cukup," kata Anies.

Saat diantar Wapres ke Balai Kota Anies yang memakai kemeja batik dan peci hitam. Ketika turun dari mobil JK, Wapres langsung melanjutkan perjalanan menuju kantor yang berdekatan dengan Balai Kota DKI Jakarta.

Gubernur mengatakan bersama Wapres, membicarakan macam-macam. Dan tidak banyak membicarakan hasil Pilkada serentak.

"Nggak kalau hasil Pilkada sih lebih ke gini aja, Alhamdulillah Pilkadanya aman, lancar, makin matang demokrasi. Kita bicarakan bagaimana suasana Pilkadanya itu tenang, aman, tidak ada masalah. Kita ngobrolin itu dan ngobrol dalam artian Jakarta kan nggak ada, tapi kanan kirinya," kata Anies.

Pertemuan Tertutup

Selain bertemu SBY dan Anies, JK juga membuat pertemuan tertutup dengan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto di Kantor Wapres Jakarta, Selasa sore (3/7) selama sekitar satu jam.

Airlangga tiba di Kantor Wapres dengan mobil dinas Menteri Perindustrian RI 32 pukul 15.00 Wib.

Usai pertemuan, Airlangga enggan menemui sejumlah awak media yang telah menunggu di Kantor Wapres sejak siang.

Sebelumnya, di Hotel Bidakara Jakarta, Wapres Kalla mengonfirmasi pertemuan tersebut dan mengatakan akan memberikan nasihat politik kepada Ketua Umum Partai Golkar tersebut.

"Saya kan bekas Ketua (Umum) Partai Golkar, jadi ketemu Ketua Umum Golkar (Airlangga) ya dinasihatin saja," kata Kalla.

Sebelumnya, di Jakarta, Senin (2/7), Airlangga mengatakan dirinya akan menemui Wapres Jusuf Kalla untuk membicarakan perkawinan politik antara Partai Golkar dan Partai Demokrat pada Pilpres 2019.

Opsi pasangan JK-AHY mencuat setelah Partai Demokrat berniat membentuk koalisi kerakyatan, dengan pertemuan antara Ketum Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla.

Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily menilai pertemuan antara Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto sangat positif bagi partai karena dalam pertemuan tersebut, keduanya saling tukar informasi.

"Pertemuan itu Jusuf Kalla sebagai mantan Ketua Umum Golkar dan Airlangga sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Jusuf Kalla sebagai politisi senior berikan masukan dan nasihat kepada Airlangga terkait langkah politik Golkar kedepan," kata Ace di Jakarta, Rabu (4/7).

Dia mengatakan masukan dari JK tersebut sangat bermanfaat karena Golkar akan menghadapi Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019.

Menurut dia, dalam pertemuan tersebut tidak dibicarakan mengenai kesepakatan politik mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden di Pilpres 2019.

"Golkar dalam posisi konsisten mendukung Joko Widodo sebagai capres di Pilpres 2019, hal itu disampaikan Airlangga kepada Jusuf Kalla," ujarnya.

Selain itu menurut Ace, pertemuan tersebut tidak membicarakan mengenai wacana koalisi Golkar dengan Demokrat dengan mengusung JK-AHY seperti yang ramai diberitakan.

Dia mengakui pertemuan JK-Airlangga kebetulan saat kader Demokrat mewacanakan duet JK-AHY, namun Golkar tidak dalam posisi mendukung wacana tersebut.

"Saya perlu sampaikan bahwa Golkar tidak dalam posisi memberikan dukungan pada tawaran posisi tersebut. Sikap Golkar jelas yaitu mendukung Jokowi sebagai capres 2019," katanya.

Penentu Dalam Pilpres

Pangi Syarwi Chaniago Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting memperkirakan Wakil Presiden Jusuf Kalla akan menjadi faktor penentu atau king maker dalam pemilihan presiden yang akan berlangsung pada 2019 karena pengaruh dan suaranya sangat dipertimbangkan oleh berbagai kalangan.

"Saya memprediksi Pak JK akan manjadi king maker, kalau melihat ruang geraknya belakangan," ucap Pangi di Jakarta, Selasa (3/7).

Menurut Pangi, Jusuf Kalla sedang melakukan cek ombak atau seleksi sebelum memastikan calon-calon yang mempunyai potensi sebagai kandidat capres atau cawapres.

Pangi mengatakan terdapat dugaan JK akan memilih Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk dipasangkan dalam Pilpres karena pertimbangan sentimen atau kepercayaan publik pada Anies masih tinggi.

Apalagi Anies memiliki keunggulan dalam retorika, cara melakukan narasi sehingga saat debat sulit dikalahkan serta pidato tanpa teks yang menggugah.

"Tetapi masalahnya Anies di mata masyarakat Jakarta akan buruk, akan menjadi preseden buruk karena Anies pernah berjanji tidak 'hengkang'," ucap Pangi.

Ditambah lagi, tutur dia, masyarakat Jakarta telah memberikan pengorbanan luar biasa untuk memilih Anies, baik dari usaha dan sumber daya.

Pangi berpendapat apabila Anies mampu menahan diri hingga 2024, pada saat tersebut akan menjadi momentum dia dan akan lebih dikagumi karena tidak mengingkari janji.

Selain itu, Pangi mengatakan cawapres dalam Pilpres 2019 sangat penting karena akan mendapatkan 'karpet merah' atau jalan mulus menuju cawapres dalam Pilpres selanjutnya 2024.

Dari 4 Juli Menuju 4 Agustus

Pada Rabu sore (4/7) Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto 'sowan' ke Kantor DPP Partai Kebangkitan Bangsa, Jakarta Pusat, untuk bertemu Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.

Airlangga menggunakan baju batik berwarna kuning tiba di Kantor DPP PKB sekitar pukul 17.56 Wib didampingi Sekjen Partai Golkar Lodewijk Freidrich Paulus dan beberapa pengurus DPP Partai Golkar.

Sebelum naik ke lantai dua untuk bertemu Cak Imin, sapaan Muhaimin Iskandar, Airlangga mengaku kedatangannya ke DPP PKB untuk bersilaturahmi dengan Cak Imin.

"Silaturahmi saja di bulan Syawal," kata Airlangga.

Airlangga pun disambut oleh Cak Imin di lantai dua DPP. 

"Bagaimana kabar Pak Jokowi," kata Cak Imin mengawali pertemuan.

Airlangga menjawab santai, "Alhamdulillah baik, kita datang bertepatan dengan hari ini kan tanggal 4 Juli," kata Airlangga.

Respons tersebut ditimpali lagi oleh Cak Imin, "Berarti kita punya waktu 30 hari lagi ya," katanya, disambut gelak tawa kader PKB dan Golkar.

Setelah itu, wartawan diperkenankan ke luar ruangan, pertemuan tersebut berlangsung tertutup. Saat pertemuan, Airlangga didampingi oleh Sekjen Partai Gokar Lodewick F Paulus, Ketua DPD DKI Jakarta Agus Gumiwang, Ketua Penggalangan Opini dan Media Massa Ace Hasan, Bendahara DPP Partai Golkar Robert J Kardinal, Ketua Bidang Ekonomi Aziz Syamsudin.
Sementara Cak Imin didampingi Sekjen PKB Abdul Kadir Karding dan petinggi PKB lainnya.

Kunjungan itu merupakan kali kedua Menteri Perindustrian itu 'sowan' ke petinggi partai politik. Sebelumnya, ia mengunjungi Ketua Umum PPP M Romahurmuziy di DPP PPP.

Airlangga usai pertemuan bersama Cak Imin, mengatakan bahwa mereka tidak membahas soal cawapres karena yang menentukan pendampingnya adalah Joko Widodo.

"Cawapres tak masuk dalam pembahasan karena yang menentukan Jokowi setelah dibahas bersama-sama partai koalisi. Kami belum membahas karena kami sama-sama meyakini, proses wapres ditentukan oleh presiden," kata Airlangga di Kantor DPP PKB, Jakarta Pusat.

Walaupun PKB belum secara resmi menyatakan akan bergabung dengan koalisi Jokowi, Airlangga memastikan PKB tetap dalam posisi mendukung pemerintah saat ini.

"Sudah dipastikan PKB berada dalam koalisi mendukung pemerintah pada saat ini, lima tahun kedepan, tanya beliau (Cak Imin)," katanya.

Sementara itu, Cak Imin menyampaikan PKB merasa nyaman bekerja sama dengan Golkar, baik di parlemen maupun sesama partai pendukung pemerintah.

"Kerja sama ini harus terus diupayakan langsung secara produktif bagi keberlangsungan yang berjalan baik, terutama menuntaskan pemerintahan Pak Jokowi ini," jelasnya.

Terkait Pilpres 2019, Cak Imin mengatakan akan terus dibahas dengan pimpinan parpol lainnya yang telah menyatakan mendukung Jokowi untuk mencari formulasi terbaik.

"Menyangkut 2019 kami akan terus berdiskusi, bekerja sama, sama-sama mencari formulasi koalisi yang produktif dan baik," tuturnya.

Ia menambahkan, jika Golkar dan PKB bersatu, ada tiket 'VIP' menuju Pilpres.

"Golkar dan PKB bersatu, satu tiket menuju Pilpres, tiket VIP," ujar Cak Imin.

Di Bandung, Selasa (3/7) Dedi Mulyadi Ketua Partai Golkar Jawa Barat mengatakan bahwa pihaknya akan segera menggelar rapat pimpinan nasional (Rapimnas) untuk mendorong Airlangga Hartarto agar menjadi cawapres Jokowi pada Pilpres 2019.

"Per hari ini, kami akan mengirimkan surat ke DPP Partai Golkar untuk segera menggelar Rapimnas," kata Dedi.

Menurut dia Rapimnas perlu segera digelar untuk menghadapi Pemilihan Presiden 2019 yang berbarengan dengan Pemilu Legislatif.

"Hal ini jelas berimplikasi pada pemilih," kata Dedi.

Sebagai partai terbesar kedua yang memiliki 14 persen kursi di DPR RI, ia menilai Partai Golkar memiliki peran strategis dan hak untuk mencalonkan ketua umumnya untuk mendampingi Jokowi di Pilpres 2019.

Menurut dia akan menjadi sebuah ironi apabila partai tersebut tidak memiliki hak untuk menyodorkan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto sebagai cawapres. 

"Ketua Umum Partai Golkar paling logis dan layak jadi cawapres," ujarnya.

Sosok Airlangga dinilai bisa menjaga marwah dan simbol partai sehingga sangat layak jika Partai Golkar memprioritaskan Airlangga untuk diusung sebagai cawapres pada Pilpres 2019.

"Cawapres menjadi keharusan. Karena itu, Golkar harus segera Rapimnas. Latar belakang ekonomi dan posisinya sebagai ketua umum sudah cukup bagi Mas Airlangga untuk maju dan bersaing dengan para ketua umum partai yang merupakan koalisi Jokowi," kata Dedi.

Ia mengatakan pengusungan Airlangga dalam Rapimnas sangat penting bagi konsolidasi partai usai Pilkada.

"Jadi, apabila Mas Airlangga diusung, ini akan melahirkan spirit bagi kader Partai Golkar," lanjut dia.

Selain itu, lanjut Dedi, Rapimnas juga dinilai penting guna mengevaluasi dan mengonsolidasi ulang kekuatan partai berkaca dari hasil Pilkada Serentak 2018 yang melahirkan kejutan.

"Partai Golkar harus mempelajari dan menghitung ulang sejumlah strategi guna mempertahankan posisi kursi di DPR. Ada perkembangan yang harus disikapi mitra koalisi Jokowi termasuk oleh Golkar," katanya.

Pilihan Masyarakat Muslim

Pusat Kajian Pembangunan dan Pengelolaan Konflik (Puspek) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya merilis nama Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto menempati posisi teratas calon pemimpin Indonesia yang dikehendaki masyarakat muslim.

"Kami menggelar survei untuk menakar persepsi masyarakat yang beragama Islam atau Muslim terhadap calon pemimpin Indonesia yang diinginkan dalam Pemilihan Presiden yang dijadwalkan berlangsung tahun depan," ujar Direktur Puspek Unair Novri Susanto kepada wartawan di Surabaya, Rabu (4/7).

Survei berlangsung selama 6 - 22 Juni terhadap 1.200 responden muslim di 29 provinsi se- Indonesia, Dia menegaskan, "margin error" dari survei ini sebesar 2,8 persen.

"Seluruh responden yang kami survei menyatakan menginginkan kepemimpinan dalam Pemilihan Presiden 2019 yang mewakili masyarakat Islam," ungkapnya.

Puspek merangking hasil survei para tokoh yang dianggap merepresentasi masyarakat Islam yang dikehendaki para responden untuk menjadi Presiden Indonesia berdasarkan elektabilitasnya.

Joko Widodo menempati posisi pertama dengan 47,9 persen. Disusul Prabowo Subianto 30,1 persen, Gatot Nurmantyo 3,1 persen, Jusuf Kalla 1,4 persen, Agus Harimurti Yudhoyono 1,2 persen, Anis Rasyid Baswedan 1,0 persen, Harry Tanoesoedibjo 1,0 persen, Mahfud MD 1,0 persen, dan Abdul Muhaimin Iskandar 0,6 persen.

Dalam survei tersebut Puspek juga melakukan simulasi pemilihan pasangan calon presiden dan wakilnya. Dalam simulasi tersebut Joko Widodo unggul di 47,1 persen jika kembali dipasangkan dengan Jusuf Kalla, serta unggul 41,1 persen jika dipasangkan dengan Abdul Muhaimin Iskandar.

Selain itu, simulasi pasangan Prabowo Subianto - Anies Rasyid Baswedan mendapatkan 33,6 persen, sementara jika dipasangkan dengan Zulkifli Hasan memperoleh 26,3 persen.

Sementara simulasi pasangan Gatot Nurmantyo - Agus Harimurti Yudhoyono memperoleh 4,0 persen, sedangkan jika dipasangkan dengan Anies Rasyid Baswedan memperoleh 6,4 persen.

Jokowi-Muhaimin

Pusat Kajian Pembangunan dan Pengelolaan Konflik (Puspek) FISIP Universitas Airlangga (Unair) menempatkan pasangan Joko Widodo-Muhaimin Iskandar pada urutan teratas atau 41 persen dalam Survei Menakar Arah Pemilih Islam untuk Calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pilpres 2019.

"Sedangkan urutan kedua pasangan Prabowo Subianto-Zulkifli Hasan 26,3 persen, dan urutan ketiga Gatot Nurmantyo-Anies Rasyid Baswedan 6,4 persen," kata Direktur Utama Puspek FISIP Unair Novri Susan, di Surabaya, Rabu.

Selain itu, lanjut dia, dalam survei Puspek ini disebutkan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar masuk sebagai tokoh representasi Islam meraih 18,2 persen, disusul Joko Widodo (14,7 persen), Prabowo Subianto (12,3 persen), Mahfud MD (11,1 persen), Habib Rizieq Shihab (5,6 persen), dan Said Aqil Siroj (5,0 persen).

Meski demikian, lanjut dia, secara umum hasil survei menunjukkan pemilih Islam pada Pilpres 2019 mendatang masih menaruh kepercayaan pada Joko Widodo dengan raihan 47,9 persen, disusul Prabowo Subianto 30,1 persen.

Sementara itu, calon presiden lain yang masuk survei yakni mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo 3,1 persen, Wapres Jusuf Kalla 1,4 persen, Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) pemenangan pilkada dan pilpres dari Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) 1,2 persen serta Gubenur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan, Hary Tanoesudibjo, Mahfud MD sama-sama meraih 1 persen serta Abdul Muhaimin Iskandar 0,6 persen. Sedangkan yang belum memutuskan 12,7 persen.

"Dukungan terhadap suara Jokowi berasal dari pedesaan, masyarakat Pulau Jawa dan perempuan. Sedangkan Prabowo dari kalangan perkotaan, non-Pulau Jawa dan kalangan laki-laki," katanya lagi.

Selain capres, Novri juga merilis survei tokoh yang cocok menjadi cawapres 2019 mendatang, yakni Gatot Nurmantyo menempati teratas 18,4 persen disusul Jusuf Kalla 15,3 persen, Abdul Muhaimin Iskandar 13,0 persen, AHY 10,4 persen, Anies Rasyid Baswedan 7,4 persen, Hary Tanoesudibjo 5,7 persen, Mahfud MD 5,2 persen, Ridwan Kamil 4,7 persen, Susi Pudjiastuti 4,3 persen, Chairul Tanjung 2,8 persen, Tito Karnavian 2,7 persen, dan Sri Mulyani 2,2 persen.

Survei Puspek Menakar Arah Pemilih Islam Menuju Pemilu 2019 ini dilaksanakan mulai 12-26 Juni 2018 dengan tingkat kepercayaan 95 persen dan margin error sebesar 2,83 persen.

Metode survei yang digunakan multistage random sampling dengan melibatkan 1.200 responden di 29 provinsi. Survei tersebut dilakukan dengan wawancara langsung secara tatap muka pada responden muslim.

Pendamping Jokowi

Direktur Polcomm Institute Heri Budianto menyatakan kandidat dari non-partai politik lebih berpeluang menjadi pendamping Joko Widodo (Jokowi) guna bertarung pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

"Karena partai pengusung banyak, jadi kalau memilih cawapres dari satu parpol pasti akan menimbulkan kecemburuan," kata Heri di Jakarta, Kamis (5/7).

Heri mengatakan sosok kandidat calon wakil presiden (cawapres) sebagai pendamping Jokowi lebih baik dari kalangan profesional akan menjadi jalan tengah bagi partai pendukung.

Namun, Heri menuturkan hal yang wajar ketika sejumlah ketua umum partai pendukung Jokowi berambisi mengusung kadernya sebagai kandidat cawapres.

"Semua punya peluang, apalagi tokoh netral karena Jokowi resisten untuk mengambil tokoh partai. Tidak berparpol lebih menguntungkan," ujar Heri.

Heri juga menyinggung langkah Kepala Staf Presiden (KSP) Jenderal (Purn) TNI Moeldoko yang mundur dari Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) semakin meramaikan bursa calon pendamping Jokowi.

"Seperti membuka peluang, paling tidak, akan dilirik Jokowi karena posisinya netral," ungkap Heri.

Pengamat politik dari Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti mengungkapkan beberapa tokoh di luar partai politik terbukti cukup berkualitas dan memenangi pertarungan seperti Ridwan Kamil yang tidak diusung partai besar di Jawa Barat.

"Ini pertimbangan buat Jokowi mengambil kandidat non-partai," tutur Ray.

Ray menilai muncul kecenderungan beberapa pimpinan partai politik seperti Airlangga Hartarto (Golkar), Romahurmuziy (PPP) dan Muhaimin Iskandar (PKB) yang seolah sudah siap dilamar Jokowi bermodalkan dukungan partai politik pada kontestasi Pilpres 2019.

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Jakarta Ujang Komarudin menganggap pengunduran diri Moeldoko dari Partai Hanura merupakan itikad baik untuk mengabdi penuh kepada bangsa sebagai KSP.

"Harusnya pengunduran diri Moeldoko menjadi contoh bagi pengurus partai lain yang saat ini masih menjabat," ucapnya.

Sementara itu, Ketua Bidang Perekonomian DPP PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno menyatakan penentuan kandidat cawapres pendamping Jokowi menjadi urusan dan kewenangan para ketum partai pengusung.

Hendrawan meyakini para ketum partai politik yang mengusung Jokowi, dengan kearifan akan saling berkomunikasi bersama dengan capres yang didukung untuk menentukan cawapres yang cocok.

"Saya yakin para ketum sudah memiliki daftar prioritas yang siap dibicarakan," ujar pria bergelar profesor itu.

Hendrawan meminta publik bersabar menunggu kepastian nama cawapres yang akan disandingkan dengan Jokowi pada Pilpres 2019 karena perlu analisa mendalam.

Terkait persoalan calon pendamping Jokowi dari unsur partai politik atau non partai, Hendrawan menyatakan hal itu tidak harus menjadi dikotomi karena tidak substansial.

Masa Depan Indonesia

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) meyakini Joko Widodo sebagai calon presiden petahana pada pemilihan presiden (Pilpres) 2019 akan terpilih lagi untuk periode kedua karena selama kepemimpinannya Indonesia mengalami perbaikan, terutama dalam bidang infrastruktur.

"Selama menjadi pemimpin negara, Pak Jokowi berhasil membawa Indonesia lebih maju dan berkembang, terutama dalam hal pembangunan infrastruktur yang selama ini selalu menjadi salah satu kendala dalam meningkatkan perekonomian nasional," ujar Wakil Sekjen DPP PKB Fathan Subhi di Jakarta, Kamis (5/7).

Menurut Fathan, peningkatan pembangunan infrastruktur dalam kurun tiga tahun pemerintah Presiden Jokowi terbukti dengan naiknya posisi Indonesia pada peringkat ke-52 dari negara-negara di dunia.

"Data Global Competitiveness Index 2017 menunjukkan indeks daya saing infrastruktur Indonesia pada 2017-2018 berada di urutan ke-52 dari posisi sebelumnya di periode 2015-2016 yang masih berada di posisi 62. Ini menunjukkan begitu dahsyatnya peningkatan pembangunan infrastruktur di era Pak Jokowi, ini tidak bisa dipungkiri," kata anggota komisi XI DPR RI itu.

Tak hanya infrastruktur, Jokowi juga dinilai berhasil memperbaiki pertumbuhan ekonomi nasional. Berdasarkan laporan pertanggungjawaban Kementerian Keuangan, pengelolaan perekonomian nasional sepanjang tahun 2017 menunjukkan pencapaian yang positif, yakni berada pada level 5,07 persen.

"Pertumbuhan ekonomi kita lima persen dan pemerintah juga mengendalikan inflasi, berdasar data Bank Indonesia, pemerintah berhasil menekan inflasi pada posisi 3,12 persen pada bulan lalu (Juni 2018)," ujarnya.

Oleh karena itu, Fathan merasa sangat yakin masyarakat akan kembali menyandarkan harapan masa depan Indonesia yang lebih baik kepada Jokowi.

"Ini salah hasil diskusi dalam pertemuan dengan Ketua Umum Golkar Pak Airlangga dan teman-teman, dan sudah kami sepakati untuk ditindaklanjuti lebih serius beberapa pekan ke depan, termasuk terkait calon wapres Pak Jokowi, yang dari kami (PKB) sudah barang tentu mendorong JOIN (Jokowi-Cak Imin)," kata Fathan.

PKB dan Golkar, lanjut Fathan, akan mendiskusikan lebih serius mengenai strategi dan langkah-langkah PKB untuk memenangkan Jokowi pada Pilpres nanti.

"Sedang kami diskusikan intensif termasuk minta masukan dari para kiai dan kader PKB di daerah untuk memenangkan Pak Jokowi dua periode," katanya. (af)

Berita terkait
0
Cara Minum Teh Agar Terhindar dari Penyakit Kanker
Cara minum teh bisa berujung masalah serius yaitu terkena penyakit kanker kerongkongan. Berikut cara minum teh yang aman.