Hari Pedih Keluarga Buruh Miskin di Bantaeng

Hari pedih Farida dan Darwis, keluarga buruh miskin di Bantaeng, saat cucu sakit, menggadai televisi, nyaris disangka gila, cucu tak tertolong.
Rumah panggung tempat tinggal Darwis dan keluarga, dibangun di atas tanah milik orang lain, statusnya menumpang, Minggu, 8 Maret 2020. (Foto: Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

Bantaeng - Jumat, 6 Maret 2020 bisa jadi merupakan hari yang tidak akan pernah dilupakan Farida. Perempuan berusia 38 tahun, seorang istri dari suami yang bekerja menjadi buruh di salah satu toko bangunan di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Seorang ibu dari lima anak yang masih kecil. Seorang nenek dari satu orang cucu.

Farida, perempuan yang nyaris dianggap gila pada hari itu. Bagaimana tidak, cucu pertama yang belum genap berusia dua bulan tiba-tiba tidak ingin menyusu dan membuat kondisinya melemah. Hal itu membuat ia dan seluruh anggota keluarga di rumah panggung yang beralamat di Jalan T.A Gani Kelurahan Bonto Atu, Kecamatan Bantaeng, panik.

Andai saja takdir bisa dibelokkan dan menjadikan ia seorang yang terlahir dengan kondisi perekonomian yang baik, tentu saja tak butuh waktu lama untuk berpikir. Ia akan sesegera mungkin membawa cucunya ke dokter anak. Namun kenyataan, tak seribu rupiah pun di dalam kantongnya.

Hingga kepanikan sampai pada puncaknya, suaminya, Darwis, lelaki berusia 40 tahun berbuat nekat. Tanpa peduli dari mana lagi datangnya uang, ia dibonceng putranya, ayah dari cucu lelaki yang saat itu sedang kesakitan, menggunakan sepeda motor yang dipinjam dari tetangga. Mereka melaju menuju sebuah klinik.

Namun sampai di klinik, mereka tak menjumpai dokter anak. Perjalanan berlanjut ke rumah sakit umum daerah. Di sana mereka diminta mencari tempat praktik dokter anak di Bantaeng untuk meminta rujukan. Dengan pasrah Darwis dan putranya mengikuti segala arahan. Mereka pun tiba di tempat praktik dokter anak.

"Waktu dapat kabar mereka sudah di dokter anak, saya bungkus televisi karena cuma itu satu-satunya harta kami," kata Farida mengenang detik-detik hari pedih yang dilaluinya.

Tak serupiah pun di kantong, tak ada tabungan kesehatan, sang bayi pun belum memiliki kartu layanan kesehatan yang bisa membantu mengurangi beban biaya perawatan rumah sakit. Menggadai televisi butut satu-satunya harapan yang bisa dilakukan Farida. Dengan bungkusan televisi, Farida berlari ke tepi jalan. Ia memohon dan memelas kepada siapa saja yang melintas. Berharap seseorang mau meminjaminya uang dengan jaminan televisi, harta satu-satunya.

Waktu dikasih lihat kertas tagihan rumah sakit, saya cuma menangis, mau bayar pakai apa?

FaridaFarida, istri Darwis, warga Bantaeng dengan kehidupan yang sulit, butuh perhatian pemerintah, Sabtu, 7 Maret 2020. (Foto: Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

Kejadian disaksikan beberapa tetangga. Yang berbaik hati lantas menenangkan Farida dan mengajak masuk ke rumahnya. Farida mendapat bantuan seikhlasnya dari tetangga yang baik hati.

Cucunya pun dirawat, selang infus telah terpasang. Meski sempat ribut di awal, soal pilihan apakah masuk dengan layanan umum atau tidak. Namun tak ada kompromi lagi, soal uang, pembiayaan dan administrasi tak dipedulikan. Yang terpenting kondisi cucunya berangsur membaik. Perubahan kondisi itu sempat menjadi harapan baik bagi mereka.

Meski lagi-lagi, takdir berkata lain. Ketika memasuki waktu subuh, Sabtu, 7 Maret 2020, Farida melihat cucunya kejang-kejang lagi. Sampai akhirnya dinyatakan meninggal dunia. Farida, Darwis, putra sulung dan menantunya yakni sang Ibu dari bayi malang itu terpukul bukan main. Tangis pecah tak terelakkan. Cucu pertama yang baru saja memberi warna di kehidupan mereka pergi untuk selama-lamanya.

Sungguh serentetan kejadian yang memilukan bagi keluarga tersebut. Hati Farida bagai disayat-sayat, dan ia hanya bisa meratap. Tibalah waktu untuk bergegas meninggalkan rumah sakit. Sebuah ujian kembali mendera. Bagaimana cara membawa jasad cucu mereka. Motor pinjaman yang kemarin digunakan sudah dikembalikan. Uang telah habis dipakai untuk membayar biaya jaminan sebesar Rp 275.000. Terpikir oleh Darwis untuk menggendong jasad cucunya, berjalan kaki sejauh hampir lima kilometer. Karena hanya itu yang ia bisa lakukan. Tak ada lagi uang untuk membayar sewa kendaraan.

Baru saja Darwis tiba di tepi jalan, seseorang memanggilnya. Rupanya ada pihak dari rumah sakit yang menyaksikan kejadian itu. Akhirnya dengan bantuan mobil pengangkut jenazah, mereka diantar menuju rumah duka.

Soal pembayaran, kata Farida, sebenarnya mereka nyaris kesulitan sebelum berhasil keluar dari rumah sakit. Mereka dicegat petugas dengan rincian pembayaran di luar biaya jaminan. Total keseluruhan tak kurang dari Rp 700.000.

"Waktu dikasih lihat kertas tagihan rumah sakit, saya cuma menangis, mau bayar pakai apa? Uang bayar jaminan saja itu saya dapat utang, uang ongkos pulang ke rumah saja tidak ada, saya mau bagaimana lagi kalau tidak ada uang," katanya sesenggukan.

DarwisDarwis, suami Farida, buruh kasar di toko bangunan di Bantaeng, Sulawesi Selatan. (Foto: Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

Apa yang dialami keluarga Farida, Tagar meminta penjelasan kepada manajemen Rumah Sakit Umum Daerah Prof Dr Anwar Makkatutu Bantaeng.

"Kami sangat paham bahwa secara administrasi pasien tidak terdaftar sebagai peserta BPJS .Namun, melihat kondisi pasien yang tidak mampu, secara nurani pihak perawat tidak melakukan tagihan. Walaupun tetap melakukan perincian pembiayaan untuk diperlihatkan dan menjadi pertanggungjawaban secara administrasi," tutur Kepala Bidang Pelayanan Medik RSUD Bantaeng dr. Hikmawaty melalui aplikasi pesan WhatsApp.

Hari itu juga, pemakaman dilakukan. Tepatnya sekitar pukul 10.00 pagi. Bendera putih terpasang di depan rumah panggung sederhana yang dibangun dengan menumpang di atas tanah orang lain. Ya, di sana mereka, Farida, Darwis, dan anak-anak tinggal.

Sabtu sore itu, suasana berkabung masih tampak jelas. Darwis dan Farida menerima tamu yang masih datang satu persatu di teras. Air mata masih membasahi pipi. Kepada Tagar, Farida berkeluh kesah tentang kehidupan yang ia rasa berat. Selama ini ia dengan sabar dan setia mengikuti suaminya. Saat suaminya bekerja, ia tinggal di rumah mengurus anak-anak. Dari kelima anaknya, putra sulung yang sudah menikah, membantu ayahnya mencari nafkah untuk keluarga. Darwis dan putranya sama-sama menjadi buruh kasar dengan upah Rp 25.000 per hari.

"Kami di sini kalau ditanya soal makan ya jarang sekali makan tiga kali sehari. Biasanya kalau ada makan siang berarti tidak ada makan malam," tutur Farida.

Keluarga yang tinggal tak jauh dari rumah pribadi Gubernur Sulawesi Selatan, di Kelurahan Bonto Atu, tersebut juga tak pernah tercatat sebagai penerima bantuan jenis apa pun dari pemerintah. Baik Raskin (beras untuk rumah tangga miskin) atau semacamnya.

"Kadang mau bantu suami cari uang, tapi mau bikin usaha apa, jangankan modal uang, untuk makan setiap hari saja pas-pasan," lirihnya.

Namun dengan segala musibah yang menimpanya, tak serta-merta membuat ia menjadi lemah. Baik Farida maupun suaminya, Darwis, selalu berupaya mensyukuri nikmat yang diberikan Yang Maha Kuasa.

"Bagaimanapun semua ujian, saya mau kerja apa pun selama masih halal saya akan bertahan, yang penting anak istriku mau ikhlas hadapi semuanya," tutur Darwis dengan pandangan melayang. []

Baca cerita lain:

Berita terkait
Qudratullah, Dosen Muda Berprestasi, Lajang Ganteng dari Bantaeng
Di bawah pucuk-pucuk pinus dan kabut tipis bumi perkemahan Trans Muntea, Desa Bonto Lojong, Kecamatan Ulu Ere, Kabupaten Bantaeng.
Suman, Anak Makassar Berpenyakit Aneh
Suman, seorang anak laki-laki berusia 10 tahun di Makassar, tidak diketahui kenapa ada benjolan sebesar kepalan tangan orang dewasa di dadanya.
Ka'do Minyak, Bupati Bantaeng dan Maulid Nabi
Kado minyak, kuliner wajib dalam perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Juga ada telur rebus merah disebut telur maulid.
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.