Hari Ibu: Kisah, Mimpi dan Asa Hidup Ibu Tukang Pulung

Tak sedikitpun terpancar kecut muram dari kusamnya wajah Kusniah, seorang pengepul rongsokan dengan menderek gerobak.
Kusniah dan Wisnu sedang mengais rezeki pukul 3 pagi di Pasar Kranji, Bekasi, Jabar pada 22 Desember 2018. (Foto: Tagar/Teza)

Bekasi, (Tagar 22/12/2018) -  Dini hari, sekitar pukul 3 pagi waktu Bekasi. Seorang ibu bersama buah hatinya tengah berjalan bahagia, mengarungi tiap hela rezeki yang dikumpulkan dari tumpukan sampah plastik, botol dan gelas bekas, kabel, serta kardus reot yang berserakan liar di depan Pasar Kranji, Bekasi, Jawa Barat.

Tak sedikitpun terpancar kecut muram dari kusamnya wajah Kusniah, janda 5 anak, pengepul rongsokan yang rutin dalam kesehariannya harus menderek gerobak demi menghidupi buah hati yang berteriak lapar di dalam kontrakan sepetak yang disewa 700 ribu per bulan.

Di depan putranya, Wisnu, wanita berhijab itu harus berakting setiap hari. Tidak menunjukkan peliknya hidup yang ia hadapi sepeninggalan suaminya yang wafat 9 tahun silam. Impitan serta desakan ekonomi tak pernah kenal kompromi, mengejar terus dan menikamnya tak kenal waktu.

A’ah sapaan akrab wanita berhijab itu, tak berharap lebih. Kata dia, makna terdalam dalam hidup ialah cukup dengan makan nasi ikan asin yang penting tetap makan bersama, untuk merasakan sedih dan senang di satu keluarga.

"Saya hanya harus semangat untuk terus menghidupi ke-5 anak yatim ini, semenjak suami saya dipanggil Allah SWT. Tiap hari jadi kerja kumpulin barang rongsokan, ini semua demi anak. Sebelumnya kan saya kerja sebagai buruh cuci, tapi anak malah ngga terurus. Mending saya kumpulin barang rongsokan, mumpung anak lagi libur dia mau ikut saya kerja," ucap wanita kelahiran Cirebon 48 tahun silam itu kepada Tagar News Sabtu, (22/12).

A’ah mengisahkan, jika 2 anaknya kini sudah berkeluarga dan masih tinggal serumpun dalam petak kontrakan yang ia tempati. Namun, hingga kini kedua anaknya yang telah menikah, belum dapat membantu secara finansial. Dengan itu, wanita kelahiran 17 Agustus 1970 ini coba membangun diri sebagai tulang punggung utama, yang tidak mau manja terhadap keadaan.

"Cucu saya sudah 6 (enam), tinggal juga dikontrakan yang sama. Terkadang saya bingung. Anak ketiga saya namanya Amin (17), daya tangkapnya kurang (down syndrome). Jadi dia kalau sudah marah, takut juga kita. Karena anak saya ada kekurangan sedikit lah, tapi kalau minta sesuatu harus dituruti, kalau tidak dia akan marah-marah," tuturnya.

Selama beberapa tahun belakangan ini, Kusniah harus menjalani rutinitas yang sangat statis. Pulang pagi, menyortir puing sampah sampai jam 5 pagi, lalu rehat sejenak. Selanjutnya, dia harus kembali beranjak cari nafkah dari pukul 09.00 pagi.

"Seminggu sekali barang rongsokan yang saya kumpulkan dibeli. Kadang kasbon dulu untuk makan, atau pinjam Rp 100.000 ke rentenir. Yang penting untuk dapur dan jajan bocah dulu. Karena saya niat baik kok, pasti ada saja jalan rezekinya, pasrah. Habis mau gimana lagi Mas, yang penting kita jangan minta-minta aja" ucap Kusniah sambil tertawa.

Apabila mendapat rezeki lebih, A’ah berharap untuk beralih menjadi pedagang kopi dan mie rebus. Meskipun pendapat saat ini dia katakan 200 ribu-300 ribu per minggu, namun ia selalu percaya atas rezeki Tuhan yang suatu saat nanti akan ia dapatkan yang lebih baik lagi.

"Terkadang di jalan ada yang ngasih Rp 20.000, Rp 50.000, Alhamdulillah saya terima untuk tabungan. Lalu di pasar Kranji ada yang ngasih saya ikan, minyak sayur, beras, Alhamdulillah memang rezeki itu ada saja mas, apalagi rezeki anak," ucapnya dengan terpingkal-pingkal.

Kusniah sangat berharap kepada putranya, agar menjadi anak yang soleh, pandai dan harus memanfaatkan betul ilmu di sekolah yang ia biayai dengan jerih payah keringatnya. Maka itu, dia pontang-panting memperjuangkan iuran sekolah anak, karena tidak mau anaknya dihina bila tidak memiliki keterampilan dalam hidup.

Lebih lanjut kata dia, sudah kebal dengan cibiran masyarakat dan warga lingkungan rumahnya yang mengolok dirinya sebagai gembel yang bau dan kotor. Namun apa daya, menurutnya, lebih baik ia dihina daripada ia harus menghina orang, karena ia anggap saling menghina sangat tidak berfaedah dan bahayanya justru dapat dijauhi dari barokah.

Maka itu, ia akan perjuangkan uang untuk bayar iuran sekolah putranya di SD swasta di Bekasi, meskipun harus hancur-hancuran saat mencari rezekinya. Dia menceritakan, harus membayar Rp 200.000 ke pihak sekolah untuk biaya pindahan anaknya dari pesantren, lalu membayar Rp 600.000 untuk membayar buku, baju olahraga dan batik. Untuk biaya ujian Rp 120.000. Selanjutnya saat ambil raport Rp 50.000.

"Kalau lagi ditagih saya terus terang minta maaf ke guru nya, karena memang belum ada uang. InsyaAllah besok-besok saya lunasi kalau sudah ada. InsyaAllah nanti habis bulan ada rezeki saya harus bayar semua.Yang penting anak-anak saya harus pandai dan soleh semua agar tidak merasakan susah seperti orangtuanya, dan anak saya suatu hari nanti bisa menjadi pilot," harapnya.

Kusniah tak mengendurkan asa demi memajukan putranya di dalam dunia pendidikan. Bagaimana pun caranya asal halal, akan ia upayakan agar buah hatinya tak mengalami putus sekolah, dan suatu saat nanti menjadi anak yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Selamat hari Ibu. []

Berita terkait
0
David Beckham Refleksikan Perjalanannya Jadi Pahlawan untuk Inggris
David Beckham juga punya tips untuk pesepakbola muda, mengajak mereka untuk menikmati momen sebelum berlalu