Untuk Indonesia

Hanya di Indonesia Musibah Dikaitkan dengan Pilpres

'Pembodohan mengaitkan bencana dengan pilpres ini bertujuan mempengaruhi pikiran pemilih.' - Ulasan Denny Siregar
Presiden Joko Widodo (ketiga kiri) didampingi Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi (tengah) dan Kepala Basarnas M Syaugi mengamati barang temuan milik penumpang pesawat Lion Air JT 610 di Posko Penyelamatan Lion Air, Dermaga JICT 2, Jakarta, Selasa (30/10/2018). (Foto: Antara/Puspa Perwitasari)

Oleh: Denny Siregar*

Mendekati Pilpres 2019, ternyata banyak juga orang menjadi gila....

Indonesia memang negara yang belum matang secara demokrasi. Puluhan tahun dibelenggu oleh sistem satu pemenang saat orde baru, dan baru pada tahun 2004 kita bisa memilih siapa Presiden kita sendiri.

Euforia demokrasi ini mencapai puncak di tahun 2014, saat media sosial sedang booming, menjadikan pemilu tidak lagi bebas dan rahasia. Media sosial digunakan sebagai alat untuk mengintimidasi dan mempersekusi pikiran supaya memilih satu tokoh tertentu yang digadang. Segala cara dihalalkan, jika perlu dengan model fitnah dan hoaks yang disebar.

Menuju Pilpres 2019 ini kegilaan bukan semakin menurun justru makin meruncing. Bahkan musibah pun dipakai sebagai alat untuk membangun persepsi bahwa Tuhan tidak setuju dengan calon tertentu.

Contoh musibah gempa dan tsunami di Palu yang memakan korban ribuan jiwa. Kedatangan Presiden Jokowi di Palu malah dituding sebagai kendaraan politik oleh politisi Gerindra. Ferry Juliantono Wakil Ketum Gerindra yang juga juru bicara pemenangan Prabowo Sandi, curiga dengan Jokowi yang memanfaatkan fasilitas negara padahal posisinya sebagai Capres. Ia membandingkan dengan Prabowo dan Sandiaga yang kampanye dengan fasilitas pribadi.

Ini jelas menghina akal sehat, karena Jokowi sendiri masih Presiden dimana fasilitas negara melekat padanya. Tudingan itu sangat mengada-ada bukti ketakutan akan kalah dalam pemilihan.

Musibah jatuhnya pesawat Lion Air pun dimanfaatkan untuk mendiskreditkan Jokowi. Beredar meme yang mengaitkan nomor pesawat yang jatuh JT dengan singkatan "Jokowi Tumbang". Bahkan Mustofa Nahra caleg PAN mengaitkan musibah yang terjadi dengan politik. "Sejak SBY lengser musibah bencana terus silih berganti menimpa negeri kita. Mohon doa untuk bisa berubah suasana lebih baik di 2019".

Pembodohan mengaitkan bencana dengan pilpres ini bertujuan mempengaruhi pikiran pemilih bahwa Jokowi adalah biang bencana. Dan solusinya adalah ganti Presiden.

Menariknya, rata-rata mereka yang suka cocoklogi dan mengkapitalisasi bencana itu berada di kubu koalisi Prabowo Sandi. Mereka seperti tidak punya cara lagi untuk bermain kampanye bersih, karena mereka tahu bahwa survei Prabowo yang terus bertahan di angka 28-30 persen dan sulit naik lagi, hanya bisa diubah dengan memainkan kebodohan dan kebohongan. Kalau main bersih, bagaimana bisa menang?

Bayangkan, bagaimana jika mereka menguasai pemerintahan nanti? Tentu masyarakat Indonesia akan terus di-down grade logika berpikirnya supaya mereka bisa terus bertahan. Kebodohan dan kebohongan di kapitalisasi demi kekuasaan.

Jadi jangan pernah bermimpi bahwa negeri kita akan maju di sisi teknologi dalam 5 sampai 10 tahun ke depan, jika pesawat jatuh pun diyakini karena Tuhan tidak suka Presiden sekarang. Tuhan bahkan sudah jadi komoditi, dipolitisasi bahkan pernah disebut Prabowo adalah bagian dari titisan.

Mungkin Tuhan sudah lama pergi dari negeri ini karena takut, jangan-jangan jika nanti Jokowi menang lagi, ada barisan sakit hati yang membuat tagar #2019gantiTuhan.

Kam kampretsss... ☕☕

*Denny Siregar penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Berita terkait
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.