Grandprix, Dari Komik Sichan, Doktor Termuda, ke Publikasi Internasional

Pada usianya yang baru 24 tahun, ia merupakan sosok kandidat doktor termuda di Indonesia. Saat ini, ia menempuh pendidikan doktor di bidang kimia di ITB.
Grandprix Thomryes Marth Kadja

Namanya cukup unik, Grandprix Thomryes Marth Kadja, namun jangan ditanya hasil karyanya yang membuat decak kagum akademisi di Tanah Air.

Pada usianya yang baru 24 tahun, ia merupakan sosok kandidat doktor termuda di Indonesia. Saat ini, ia menempuh pendidikan doktor di bidang kimia di Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui skema beasiswa Program Pendidikan Magister Menuju Doktor Sarjana Unggul (PMDSU) Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti).

Pada saat rekan-rekan peneliti dan dosen lainnya, kesulitan menulis jurnal, ia membuktikan bahwa menulis jurnal ilmiah tidaklah sesulit yang dibayangkan.

Baginya, menulis jurnal bukanlah mimpi buruk justru menjadi pemicu untuk terus memberi kontribusi terhadap ilmu pengetahuan Indonesia dan dunia.

Hingga saat ini, ia tercatat telah menerbitkan sembilan publikasi ilmiah yang terdiri dari satu publikasi berskala nasional dan delapan publikasi berskala internasional. Sebanyak tujuh dari delapan publikasi internasionalnya tersebut telah terindeks Scopus.

Kemristekdikti menyatakan bahwa pencapaian pemuda yang akrab disapa Grandprix tersebut merupakan hal yang luar biasa bagi Indonesia. Sebab tidak banyak orang pada usia muda, dapat produktif seperti dirinya.

"Bahkan, sekelas lektor kepala dan profesor pun belum banyak yang dapat melakukannya," ujar Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Pendidikan Tinggi Kemristekdikti, Ali Ghufron Mukti.

Namun siapa sangka, dibalik prestasinya dalam menerbitkan jurnal internasional yang terakreditasi, Grandprix ternyata penyuka komik Shinchan. Komik tersebut telah banyak membantu dirinya terbiasa untuk mengambil perspektif lain pada suatu permasalahan.

Bahkan saking senangnya sama sosok Shinchan, ia bahkan menempel stiker tokoh kartun berusia lima tahun itu di komputer kerjanya.

Lelaki ramah tersebut mengatakan pencapaian yang diraihnya saat ini tidak lepas dari peran kedua orang tuanya yang senantiasa menciptakan situasi kondusif di rumah tinggalnya, seperti membudayakan diskusi dan membaca sejak dini.

Grandprix menamatkan pendidikan sarjananya pada program studi kimia dari Universitas Indonesia tahun 2013.

Lelaki kelahiran Kupang 31 Maret 1993 itu mengaku sedari kecil sudah terbiasa dengan kondisi yang serba terbatas. Oleh karena itu pula, ia memang sengaja tidak memilih melanjutkan studi di luar negeri. Meskipun pada saat itu, ia telah mendapatkan tawaran beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Korea Selatan.

"Pada prinsipnya, saya ingin ada tantangan. Bisa nggak sih saya kerja dan melakukan penelitian di dalam negeri, tapi hasilnya itu tingkat internasional?" tanyanya pada diri sendiri.

Ia menilai melanjutkan pendidikan di luar negeri tidak selamanya menyenangkan karena terlalu dimanjakan dengan fasilitas yang ada.

"Justru hal itu hanya akan melemahkan mental dalam bersaing di dunia ilmu pengetahuan," katanya.

Sikap tersebut ia lontarkan bukan tanpa dasar. Belakangan ini, ketika hasil penelitiannya banyak dipublikasikan, seringkali ia menemukan orang-orang hebat Indonesia yang berkesempatan studi di luar negeri, ketika kembali ke tanah asalnya justru seperti kebingungan.

Permasalahan utamanya, ada pada keengganan untuk mulai beradaptasi di lingkungan dengan akses serba terbatas. Sehingga banyak dari mereka yang malah ketika kembali menjadi kurang produktif menulis karya ilmiah, jurnal ilmiah, atau mempublikasikan penelitian dalam skala nasional atau internasional. Dan kondisi demikian, Grandprix anggap sebagai buntut dari rasa nyaman yang dihadirkan oleh negara lain.

"Publikasi internasional sangat penting karena merupakan salah satu cara untuk berbagi ilmu yang dimiliki kepada orang banyak," cetus dia.

Untuk menghasilkan jurnal internasional sebanyak itu, ia mengaku memaksa dirinya untuk menulis serta mengurangi aktivitas yang tidak penting seperti bermain di media sosial.

Selain itu, kebiasaan membaca jurnal juga perlu ditingkatkan. Setiap hari, disela waktu senggangnya dia memaksakan diri untuk membaca jurnal-jurnal yang ada. Apalagi akses jurna di ITB mudah didapat.

"Membaca jurnal menjadi sesuatu yang wajib bagi saya. Sayangnya banyak rekan-rekan yang justru lebih banyak mengunduh jurnal dibanding membacanya. Dari 100 jurnal, paling yang dibaca hanya dua," cetusnya.

Meski terlihat mudah, menulis jurnal ilmiah ternyata juga memiliki tantangan tersendiri. Biasanya, setelah data-data ia dapatkan, kemudaian dilanjutkan ke tahap analisis. Ia kemudian mendiskusikan hasil kerjanya dengan pembimbing mengenai story flow-nya sampai disepakati secara bersama-sama. Terakhir, barulah bentuk utuhnya ia tulis.

Dalam setahun, Grandprix bisa mengirim sekaligus dua jurnal yang berbeda. Meskipun jurnal-jurnal yang dikirimnya tidak lantas bisa langsung diterima sebagai karya yang patut dipublikasikan. Tak jarang Grandprix mendapat komentar atau bahkan kritik keras dari para "reviewer" dan bahkan sampai ditolak dari suatu jurnal.

"Kalau sudah ditolak, stressnya bukan main. Pergi ke laboratorium untuk melakukan penelitian saja malas," kenangnya.

Beruntung, pembimbingnya Dr Rino R Mukti, selalu memberi motivasi untuk menerima penolakan dan mencari tahu di mana letak kekurangan dari tulisan yang dibuatnya.

"Setelah tahu, saya perbaiki, lagi dan lagi, sampai akhirnya bisa publikasi," ungkap dia.

Grandprix berharap para dosen maupun peneliti tidak mudah putus asa dalam menulis jurnal internasional.

Saat ini, pemerintah terus mendorong jumlah publikasi internasional, yang berujung pada peningkatan daya saing bangsa. Pemerintah melalui Permenristekdikti 20/2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor mewajibkan para guru besar dan lektor kepala menulis jurnal ilmiah yang terakreditasi nasional dan internasional.

Dalam Permenristekdikti itu dijelaskan bahwa lektor kepala harus menghasilkan sedikitnya tiga karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal nasional terakreditasi, dan satu karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional, paten, atau karya seni monumental/desain monumental. Lektor kepala yang tak dapat memenuhi karya ilmiah tersebut, dihentikan sementara tunjangan profesinya.

Sementara, untuk jabatan guru besar atau profesor paling sedikit tiga karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional atau paling sedikit satu karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional bereputasi. Profesor harus menghasilkan buku atau paten, atau karya seni monumental dalam kurun waktu tiga tahun. (fet/ant/indriani)

Berita terkait
0
Parlemen Eropa Kabulkan Status Kandidat Anggota UE kepada Ukraina
Dalam pemungutan suara Parlemen Eropa memberikan suara yang melimpah untuk mengabulkan status kandidat anggota Uni Eropa kepada Ukraina