Untuk Indonesia

Gerakan Ganti Presiden, Strategi Menyulut Emosi

Gerakan ganti presiden, strategi menyulut emosi masyarakat dengan isu agama dan rasial, berharap terjadi Cinderella effect.
Cagub-cawagub Jawa Barat Sudrajat-Ahmad Syaikhu bentangkan kaos '2018 Asyik Menang 2019 Ganti Presiden' dalam debat Pilgub Jabar di Balairung UI, Depok, Senin 14/5/2018. (Foto: Tagar/Gemilang Isromi)

Oleh: Eko Kuntadhi*

Publik Indonesia sedang tersedot perhatiannya pada Asian Games 2018. Sebagai tuan rumah, kita berharap Indonesia sukses menggelar hajatan akbar ini. Mata dunia sedang menyorot ke sini.

Tapi sebagian orang memang gak terlalu peduli dengan hal itu. Mau sukses, kek. Mau gak, kek. Bukan urusan gue. Mereka lebih suka menggelar ontran-ontran deklarasi ganti presiden, sebuah gerakan yang diinisiasi PKS. Deklarasi ini disadari oleh penggagasnya akan memicu kontroversi di masyarakat. Sejak awal diperkenalkan sudah terasa sangat provokatif.

Kita tahu ketika dalam beberapa kegiatan para aktornya menggunakan masjid sebagai sarana kampanye. Spanduk politik digelar di masjid. Masjid yang mestinya netral dalam politik diseret masuk dalam kubangan dan perpecahan.

Kepada perpecahan? Masjid itu adalah milik seluruh umat Islam dan yang namanya umat Islam afiliasi politiknya beragam. Seharusnya mereka datang ke masjid tanpa membawa perbedaan pilihan politiknya. Ini justru di masjid perbedaan itu makin diruncingkan dengan banyak aktifitas politik.

Sebagian masyarakat sudah merasa terprovokasi dengan politisasi masjid seperti itu. Gerakan ganti presiden yang mengotori masjid akhirnya mendulang protes. Mereka merasa rumah ibadahnya dikotori oleh kepentingan sesaat. Masyarakat pun menolak gerakan ini di mana-mana.

Di Riau mereka mengusir Neno Warisman. Di Surabaya Ahmad Dhani yang direncanakan menggelar acara ini juga dihadang massa. Massa marah karena menganggap gerakan yang sering ditunggangi HTI untuk kampanye khilafah ini juga menjadi ajang perpecahan. Juga sebagai akal-akalan mencuri start kampanye.

Sebetulnya kemarahan massa tidak datang tetiba. Ada beberapa kali kejadian yang justru dipicu oleh massa ganti presiden ini. Kita ingat pada sebuah momen Car Free Day di Jakarta, massa yang menggaungkan gerakan yang sama mempersekusi seorang ibu dan anak kecil. Para lelaki yang menggunakan kaos bertuliskan ganti presiden mengelilingi Susi Ferawati dan anaknya menghamburkan kata-kata intimidatif dan ancaman. Semua itu terekam video dan viral. Orang mengecam tindakan tersebut.

Bukan hanya itu ketika digelar acara ini di Solo, yang jadi sasaran gerakan ini adalah kios martabak Markobar, tempat usaha milik Gibran Rakabuming, putera Presiden Jokowi yang dikenal sama sekali tidak ikut-ikutan urusan politik. Dengan kata lain, emosi publik memang sudah disulut sebelumnya.

Apakah penggagasnya menyadari kondisi itu? Kemungkinan besar mereka memang paham dan sengaja membuat suasana panas yang membakar. Kenapa? Jika Pilpres ini dilalui dengan suasana yang damai-damai saja, pikiran masyarakat akan tenang dan rasional dalam menentukan pilihannya. Mereka akan menimbang sosok capres dari prestasi, kualitas, kemampuan dan rekam jejaknya.

Barangkali karena disadari dari aspek-aspek tersebut calon mereka tidak kuat, jalan satu-satunya adalah dengan menggelorakan konflik horizontal agar masyarakat tidak sempat berpikir rasional. Artinya hanya dengan suasana Pilpres yang panaslah dan pemilih yang emosionallah, kemenangan mereka bisa dicapai.

Kondisi ini mengambil pelajaran dari kampanye Pilkada Jakarta. Masyarakat disulut emosinya dengan isu agama dan rasial. Dibuat ketakutan sedemikian rupa. Logika sehat publik ingin dimatikan. Dengan cara itulah pasangan yang diusung PKS dan Gerindra memenangkan pertarungan. Nah, kondisi yang sama mau dicobakan lagi sekarang.

Kedua, ketika kegiatan tersebut dihalangi massa, mereka akan memainkan isu playing victim dan berharap terjadi Cinderella effect untuk kandidat yang diusungnya. Mengesankan seolah-olah menjadi korban dan tertindas untuk mencuri belas kasihan hingga berdampak elektoral.

Penolakan publik pada gerakan itu juga digoreng sebagai penghalangan kebebasan berpendapat. Padahal dengan logika yang sama, massa yang tidak setuju dengan gerakan itu juga punya pendapat yang bebas. Dengan kata lain, konflik horizontal dari gerakan ini justru bukan sesuatu yang sifatnya sporadis tetapi memang bisa terbaca sebagai bagian dari rencana. Tujuan memenangkan pasangan Prabowo-Sandi.

Sebetunya jika mau jujur ada pertanyaan untuk gerakan ini. Kita tahu semua penggagas gerakan ini adalah para pendukung pasangan Prabowo-Sandi. Kenapa mereka tidak langsung saja mempromosikan sebagai gerakan dukungan pada Prabowo-Sandi? Ada kesan PKS sebagai penggagas gerakan tidak percaya diri untuk mempromosikan kandidat yang diusungnya.

Tampaknya memang agak susah menyusun strategi kampanye untuk mengedepankan prestasi calon yang diusungnya. Yang terjadi pengulangan informasi karena ini adalah kali ketiga Prabowo maju dalam ajang Pilpres.

Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan menyulut emosi masyarakat agar rasionalitas publik tertekan dengan hal-hal yang sifatnya emosional. Dengan cara itulah mereka hendak mendulang kemenangan. []

*Eko Kuntadhi Pegiat Media Sosial

Berita terkait
0
Cristiano Ronaldo Ingin Tinggalkan Manchester United Musim Panas Ini
Cristiano Ronaldo ingin Manchester United membiarkannya meninggalkan klub jika mereka menerima tawaran yang sesuai untuknya musim panas ini