Jakarta - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira menanggapi peluang ekspor yang terbuka kembali ke Amerika Serikat (AS) pasca bangkit dari resesi. Menurut dia, dalam mengoptimalkan potensi tersebut perlu adanya intelijen pasar atau market intelligences.
"Perlu market intelligences untuk pemetaan kembali produk yang permintaanya tinggi," kata Bhima saat dihubungi Tagar, Minggu, 1 November 2020.
Artinya, permintaan komoditas, bahan baku industri maupun barang konsumsi dari Indonesia diharapkan pulih lebih cepat.
Misalnya, kata Bhima, saat pandemi permintaan tisue itu naik tinggi, sementara Indonesia juga mengekspor pulp and paper (tisue termasuk turunan ini). Nilainya pun tahun 2019 mencapai US$ 347 juta.
"Nah ini butuh peran atas perdagangan dan kedutaan besar sebagai sumber informasi yang valid, berapa banyak kebutuhannya, siapa calon buyernya, spesifikasi produknya apa saja, bagaimana terkait logistiknya, dan hambatan ekspornya apa saja. Informasi ini yang perlu bagi pengusaha di Indonesia," ucapnya.
Bhima menjelaskan meski ekonomi AS masih minus, penurunannya tidak setajam kuartal ke II. Ini merupakan sinyal positif permintaan domestik AS membaik.
"Artinya, permintaan komoditas, bahan baku industri maupun barang konsumsi dari Indonesia diharapkan pulih lebih cepat," ujarnya.
Berita positif ini, kata dia, juga berasal dari fasilitas GSP dari AS tidak mengalami perubahan yang berarti, fasilitas keringanan bea masuk produk Indonesia ke AS tetap diberikan. Pernyataan ini disampaikan Office of US Trade Representatives pada Jumat lalu.
"Keputusan AS akan menjadi angin segar terhadap kinerja ekspor produk Indonesia yang sempat mengalami penurunan akibat resesi global dan pandemi," tutur Bhima. []
- Baca Juga: UKM Kabupaten Bogor Ekspor ke Amerika
- Imbas Covid-19 Terhadap Ekonomi AS Hingga Akhir 2021