PINANGKI Sirna Malasari lebih pantas menyandang gelar sosialita ketimbang jaksa -profesi yang bertugas menegakkan hukum demi kepentingan negara. Lihat gaya hidupnya: terbang ke Amerika Serikat demi memuluskan kerut merut wajahnya di sebuah klinik khusus; memiliki dokter kecantikan pribadi yang rutin dipanggil ke apartemennya, dan juga -ini pun bisa membuat mata kasir dealer terbelalak- membeli kontan mobil mewah BMW X5 senilai Rp 1, 7 miliar.
Jaksa Pinangki menunjukkan sebuah sisi buram penegak hukum kita: aparat hukum yang memainkan kewenangannya demi memenuhi nafsu serakahnya. Untuk Pinangki, keserakahan itu bertambah dengan apa yang banyak diimpikan kaum perempuan: wajah terus dan makin cantik dan terlihat muda. Dan Pinangki mendapatkannya dengan instan: mempermaknya dengan berbagai operasi -juga suntikan.
Pinangki jelas tidak “melihat” itu sebagai tugasnya. Yang ia lihat: bagaimana ia menguras --sebanyak-banyaknya-- uang dari sang buronan...
Pekan-pekan ini drama “jaksa sosialita” ini kita saksikan dalam sidang yang digelar Pengadilan Tindak Pidana Tipikor. Pengadilan antikorupsi telah menetapkan mantan Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi Kejaksaan Agung tersebut sebagai tersangka suap kasus Djoko Tjandra, buronan kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, yang dibekuk beberapa waktu lalu di Malaysia.
Selain Pinangki, kasus Djoko Tjandra juga telah menyeret antara lain dua perwira Markas Besar Polri, Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo. Jaksa mendakwa, karena surat Napoleon maka nama Djoko “keluar” dari daftar pencarian orang pada sistem keimigrasian. Ada pun Prasetyo dituding mengeluarkan kacabelece yang membuat Djoko bebas “pulkam” -pulang kampung- ke Kalimantan Barat.
Pinangki “bermain” dalam tataran “lebih atas” - yang tentu saja akan memerlukan jaringan “lebih atas” dibanding para polisi tersebut. Bersama pengacara Djoko Tjandra, Anita Dewi Kolopaking, ia merancang skema pembebasan Djoko Tjandra melalui “mekanisme” Fatwa Mahkamah Agung. Jelas tak mudah mendapat fatwa ini.
Pada titik inilah kita melihat “watak” aparat penegak hukum tersebut. Tidak hanya merancang, Pinangki juga berkali-kali terbang ke luar negeri menemui Djoko Tjandra, yang mestinya, ia tangkap dan jebloskan ke penjara.
Pinangki jelas tidak “melihat” itu sebagai tugasnya. Yang ia lihat: bagaimana ia menguras --sebanyak-banyaknya-- uang dari sang buronan dengan barter “pengetahuannya” tentang hukum dan jaringan lobinya. Dan ia berhasil untuk itu, bahkan terkesan “serakah,” seperti perdebatannya dengan Anita Dewi perihal “pembagian” uang dari Djoko Tjandra. Pinangki meraup sekitar Rp 7,5 miliar dari Djoko Tjandra.
Fulus berlimpah itu perlu untuk memolekkan wajahnya secara rutin juga menyewa unit apartemennya yang luas, 269 meter persegi, pada Apartemen Essence Darmawangsa, apartemen papan atas di kawasan Jakarta Selatan. Dengan gaya hidup seperti ini -yang tentu saja tak akan bisa dibiayai dengan gajinya sebagai jaksa- kita bisa bayangkan apa jadinya jika kebusukan Pinangki tak terungkap. Bisa jadi ia akan terus menggadaikan tugasnya sebagai jaksa demi membiayai gaya hidupnya.
Pinangki tak pantas sebagai jaksa. Kongkalikong seorang jaksa dengan seorang koruptor, seorang buronan negara, adalah kejahatan tak terampuni. Pinangki harus dihukum seberat-beratnya. []