Freeport dan Keuntungan Bagi Rakyat Papua

Ratusan triliun rupiah yang dibawa pulang ke negeri Paman Sam dengan menyisakan setitik bagian keuntungan untuk pemilik sesungguhnya, Indonesia.
Komisioner Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai (tengah) bersama Staf Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Agus Suntoro (kiri) dan Andre Wahyudi (kanan) memberi keterangan pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta (24/2). Natalius Pigai menilai masyarakat suku Amungme yang menguasai tanah hukum adat Amungsa yang kini menjadi wilayah konsesi PT Freeport Indonesia berhak mendapat ganti rugi sebagai penghormatan hak ulayat masyarakat adat. (Foto: Ant)

Jakarta, (Tagar/28/2) -Nyaris setengah abad sudah, PT Freeport Indonesia, perusahaan asal Arizona, Amerika Serikat, beroperasi menggali hasil bumi dan kekayaan negeri berdaulat,  Republik Indonesia. Dari awalnya menggali tambang tembaga, emas, bahkan konon, kemudian dikeruknya pula uranium, bahan baku pembuat senjata pemusnah massal yang paling ditakuti saat ini, nuklir.

Ratusan triliun rupiah keuntungan yang dibawa pulang ke negeri Paman Sam dengan menyisakan setitik bagian keuntungan untuk pemilik sesungguhnya, Indonesia. Segitu pun keuntungan yang diberikan, tetap menjadi bahan bancakan dan perdebatan panjang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tempat tambang itu beroperasi.

Jakarta, sebagai sentral pemerintahan, tentu mendapat porsi lebih banyak selama ini. Dengan alasan bagian keuntungan itu akan dikontribusikan bagi seluruh daerah di Indonesia, maka remah-remah sisanya, yang tentunya sangat kecil, dikembalikan ke pemilik tempat, rakyat Papua.

Porsi ini tentu tak sesuai. Terbukti, dari sekian ratus ribu warganya, orang Papua tetap hidup di bawah garis kemiskinan. Jangankan rumah untuk tempat tinggal, bahkan sekedar pakaian layak untuk menutup tubuhnya sehari-hari, rakyat Papua masih terbelakang.

Perhatian pemerintah bukan tidak ada. Namun, kelanjutan aksi mensejahterakan rakyat Rapua seakan gaung suara yang hilang ditelan waktu. Program demi program pembangunan hanya janji-janji tak bertuan. Berganti pejabat, berganti pula program bantuan, maka program yang baru menghentikan program sebelumnya tanpa hasil bahkan evaluasi.

Nyatanya, hingga 2016, warga papua baru bisa menikmati harga bahan bakar sama harga dengan saudara-saudaranya di bagian lain Indonesia. Pemerataan, baik itu kesejahteraan atau pembangunan, menjadi jargon kosong yang dijejalkan ke telinga warga Papua sekian lamanya. Baru setelah pemerintahan Jokowi, Papua mulai merasakan gerak pembangunan yang signifikan.

Pemerintahan Orde Baru pernah menjalankan program penghapusan koteka dan membudayakan baju untuk mengikis budaya telanjang rakyat bumi cenderawasih itu. Tapi proyek yang dijalankan pada awal 1970 itu tak menuai hasil. Hingga kini, tak sulit menjumpai rakyat yang tetap menggunakan koteka tanpa baju di Jayapura.

Proyek miliaran, yang sangat besar saat itu, hilang pupus nyaris tanpa hasil. Tarik menarik kepentingan, politik pusat dan lokal, yang kesemuanya tentu bersumber dari besaran angka rupiah yang menguntungkan penguasa, baik pusat mau pun penguasa lokal.

Freeport memang seakan menjadi batu sandungan yang bisa membuat siapa pun yang berkepentingan dan tersangkut pusarannya jatuh terpelanting. Tarik menarik kepentingan yang saling sengkarut tak hanya bermotif ekonomi, namun ada politik, dan tentu saja, bagi Indonesia, ini juga menyangkut harga diri. Ya, penolakan Freeport untuk mendivestasikan sahamnya hingga 51% sebagaimana diatur dalam Undang-undang Minerba memang terkesan hanya nuansa usaha, ekonomi.

Namun gerak penolakan berbagi saham itu juga diiringi dengan keangkuhan kapitalis Amerika untuk bercokol menguasai wilayah yang bukan merupakan miliknya. Isu Papua merdeka selalu muncul bersamaan dengan kisruh yang menyangkut Freeport.

Soal isu kemerdekaan Papua, ini sudah bukan berita baru kalau Amerika Serikat dan Australia ada dibalik kampanye ini.  Australia bersama negara-negara kecil pasifik yang dipengaruhinya, diiringi dengan gerak negara persemakmuran koloni Inggris ikut mengipasi. Jangan pernah lupa, elite Organisasi Papua Merdeka bermarkas di Inggris dan kerap melontarkan isu-isu memojokan NKRI dari London.

Cukup sudah mudharat atau kerugian yang diberikannya selama beroperasi di Indonesia. Kerusakan alam dan lingkungan, rusaknya kerukunan sesama anak bangsa, selayaknya disudahi saat ini. Tekad pemerintah sekarang ini yang memfokuskan pembangunan skala nasional hingga ke pelosok nusantara sudah selayaknya didukung.

Pembangunan infrastruktur yang digenjot hingga membelah gunung dan hutan rimba untuk membuka isolasi dan membangun koneksi antarwilayah di Papua sangat butuh dukungan secara menyeluruh. Segenap bangsa harus bahu membahu mendukung dan berperan aktif, terutama rakyat Papua sendiri.

Di sisi lain, negeri ini memang butuh dana segar dari manapun datangnya untuk membiayai segenap pembangunan itu. Namun, dengan kontribusi hanya sebesar Rp. 8 triliun per tahun, layakkah Freeport menjadi pongah dan merasa tuan di rumah kita sendiri?

Pemerintah kini tegas meminta divestasi saham 51% dari Freeport. Besaran yang menjadi mayoritas dalam sebuah perusahaan, memang. Tapi keinginan pemerintah ini tentu dilandasi perhitungan matang bahwa Freeport tak akan merugi dengan syarat itu. Dikonversi dengan masalah yang terus dibawa Freeport selama beroperasi di Indonesia, kerusakan alam dan lingkungan yang terjadi sejak puluhan tahun, tercerabutnya akar budaya warga sekitar pertambangan, ini adalah sekian kerugian yang telah kita alami.

Tekad pemerintah pun bersambut manis. Bupati Mimika Eltinus Omaleng telah meminta jatah 10 hingga 20 persen saham PT Freeport Indonesia jika perusahaan asal Amerika Serikat itu setuju untuk melakukan divestasi 51 persen.

"Kalau memang Freeport setuju untuk melepas 51 persen sahamnya, maka kami dapat bagian. Itu nanti dimiliki pemerintah provinsi, kabupaten dan pemilik hak ulayat," ungkapnya.

Dukungan dari DPR pun datang. Wakil Ketua DPR RI Agus Hermanto mengatakan, Freeport sebagai perusahaan pertambangan yang beroperasi di wilayah Republik Indonesia harus menaati regulasi yang diatur oleh pemerintah. Freeport bisa saja tidak berkenan dengan aturan tersebut, tapi yang jelas apa yang dilakukan pemerintah saat ini sudah sesuai dengan Undang-Undang Minerba.

Aktivis dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar, meminta kepada PT Freeport dan pemerintah Indonesia agar lebih memerhatikan kondisi dampak lingkungan Papua daripada keperluan kontrak bisnis.

Sudah miliaran ton limbah yang ditumpahkan PT Freeport ke sungai yang ada di Papua. Dan kondisi lingkungan di sekitar pertambangan tersebut sudah tidak baik, hal ini seharusnya juga ada perhatian khusus.

Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) pun menyatakan dukungannya kepada pemerintah dengan mendatangi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk membicarakan ancaman arbitrase PT Freeport terhadap pemerintah Indonesia.

"Kami mendukung (Pemerintah-Red) dan memberikan aksi hukum, beliau (Menteri ESDM Ignasius Jonan) senang sekali. Bila perlu akan dilibatkan dengan Jaksa Agung untuk proses arbitrase nantinya," demikian menurut Dewan Penasihat Peradi Otto Hasibuan.

Peradi juga meminta akses informasi dan data terkait PT Freeport kepada Kementerian ESDM untuk mempelajari lebih lanjut kasus dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PT Freeport. Organisasinya bahkan menduga, Freeport telah melakukan pelanggaran terhadap kontrak kerja sama, khususnya berkaitan dengan lingkungan hidup.

Saat ini Peradi sedang mempelajari dugaan pelanggaran lingkungan hidup tersebut. Kemelut Freeport dengan pemerintah yang meluas dan berimbas pada pemutusan hubungan kerja ribuan karyawan membawa dimensi baru.

Menurut Kepala BRI Cabang Timika Muhammad Jusuf, total nilai pinjaman karyawan PT Freeport Indonesia dan karyawan perusahaan-perusahaan subkontraktor Freeport itu mencapai sekitar Rp70 miliar. Berdasarkan data yang dimilikinya, sebagian debiturnya sudah dirumahkan, bahkan ada yang sudah di-PHK oleh perusahaan-perusahaan tempat mereka bekerja. Ini tentu sangat mengkhawatirkan.

Dari sekian dukungan yang datang, pemerintah semestinya bisa bertindak dengan segera, terukur, dan semata demi kepentingan rakyatnya. Pemerintah tak seharusnya ragu atau takut. Toh segarang apapun pemodal Freeport itu, Freeport McMorran, induk Freeport Indonesia menegaskan, akan tetap beroperasi di Indonesia kendati nantinya tidak ada kesepakatan antara pemerintah dan perusahaan mengenai status kontrak pertambangan. (rif/ant)

Berita terkait