Fix, Orang dengan Gangguan Jiwa Ikut Pemilu 2019

Fix, semua orang dengan gangguan jiwa ikut Pemilu 2019, memilih wakil rakyat dan presiden.
Pasien penderita gangguan jiwa menjalani perawatan di dalam kamar di eks Terminal Cilembang, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Rabu (17/10/2018). Yayasan Mentari Hati yang berdiri sejak 2007 merupakan tempat rehabilitasi para pasien mengidap gangguan jiwa yang ditemukan di pinggir jalan untuk disembuhkan dan dikembalikan kepada keluarganya dengan jumlah pasien 142 orang, dan berharap peran pemerintah memberikan pelayanan kesehatan. (Foto: Antara/Adeng Bustomi)

Jakarta, (Tagar 27/11/2018) - Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendaftar orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dalam kategori disabilitas mental untuk mengikuti Pemilu 2019. 

Ketua KPU Arief Budiman mengatakan pemilih dengan gangguan jiwa dapat memperoleh hak pilih dalam pemilu mendatang, selama tidak ada surat keterangan dokter yang menyatakan pemilih tersebut tidak mampu secara mental.

"Nah kalau pada hari pemungutan suara, dia diberi keterangan dokter karena memang tidak mampu menggunakan hak pilihnya, itu bisa karena sakit atau macam-macamnya, maka dia nanti tidak akan bisa menggunakan hak pilihnya," kata Arief Budiman saat menghadiri rapat pimpinan di Hotel Grand Mercure Jalan Hayam Wuruk Jakarta Pusat, Senin (26/11).

Arief mengatakan, kondisi orang dengan gangguan kejiwaan bergantung pada keterangan ahli (dokter).

"Sehatnya (jiwa) seperti apa, saya tidak ahli untuk memeriksa kesehatan orang, yang penting dalam Undang-undang disebut kalau orang sudah usia 17 tahun atau sudah menikah, bukan TNI/Polri, tidak sedang dicabut hak pilihnya dia wajib didata dalam daftar pemilih tetap," ucap Arief.

Kalau Bajunya Robek-robek, Rambutnya Gimbal...

Senada dengan hal tersebut, Anggota DPR Fraksi Golkar Firman Subagyo mengatakan orang dalam gangguan jiwa memang harus ada standar ukuran yang jelas berdasarkan keterangan dokter ahli jiwa.

"Orang sakit jiwa itu kan harus ada ukuran-ukuran yang jelas. Saya rasa yang dibuat KPU benar, artinya kalau menurut ilmu kedokteran itu semua manusia itu ada unsur sakit jiwanya. Tapi kadarnya berbeda-beda. Oleh karena itu untuk menentukan tingkat kadar sakit jiwa seperti apa yang boleh memilih, maka harus ada keterangan dokter," kata Firman Subagyo saat dihubungi Tagar News, Senin (26/11).

"Kalau sakit jiwanya masih posisi ringan, masih bisa memilih harus diberikan haknya. Tapi kalau orang yang di pinggir jalan yang bajunya sudah robek-robek, rambut gimbal masak disuruh memilih. Gak juga kan. Kalau orang gila yang di pinggir jalan itu kan gak mungkin, diajak komunikasi aja gak bisa," ujar dia.

Ia mengatakan tingkat gangguan kejiwaan ada ukuran dan kriteria dari dokter jiwa.

"Ketentuan orang sakit jiwa itu ada yang  derajatnya rendah, sedang, sampai sakit jiwanya parah, itu ada ketentuannya, yang tahu itu dokter. Makanya betul aturan KPU itu harus dokter jiwa yang menentukan, yang memenuhi kompetensi dokter," tuturnya.

"Kalau orang gilanya itu dirawat di Rumah Sakit Jiwa, dalam pengertian itu masih batas toleransi yaitu harus diberikan hak pilihnya. Tetapi kalau orang yang sakit jiwanya di jalanan kemudian pakaiannya sudah gak jelas, itu kan susah juga. Bagaimana mau memilihnya," ungkapnya.

Sebelumnya seluruh orang dengan gangguan jiwa bisa memperoleh hak pilih selama tidak ada surat dokter yang menyatakan pemilih tersebut tidak mampu secara mental.

"Jadi semua bisa memilih, kecuali yang mendapat surat keterangan dokter bahwa yang bersangkutan tidak bisa memilih," kata Komisioner KPU Viryan.

Mantan komisioner KPU Kalimantan Barat tersebut menjelaskan, pihaknya ingin melayani semua warga negara Indonesia secara setara dalam pemilu. Dari aspek administrasi misalnya, semua harus berusia di atas 17 tahun atau sudah menikah dan memiliki kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). []

Berita terkait