Film Rangsa Ni Tonun Ikut Festival di Belanda

Film "Rangsa Ni Tonun" karya Mja Nashir dan Sandra Niessen ikut ambil bagian dalam festival di Belanda.
Poster yang ditampilkan di acara tersebut hasil karya Mja Nashir. (Foto: Facebook Sandra Niessen)

Pematangsiantar - Film "Rangsa Ni Tonun" karya Mja Nashir dan Sandra Niessen akan ikut ambil bagian dalam International Convention of Asia Scholars (ICAS) 11 Film Festival 2019 yang akan berlangsung di Leiden, Belanda.

Hal ini dibenarkan oleh Mja Nashir kepada Tagar, Jumat 21 Juni 2019 malam. Festival diikuti kurang lebih 11 film yang dipilih dari berbagai negara mulai 16-19 Juli 2019.

Menurut Nashir, film dokumenter ini mereka produksi tahun 2013 berawal dari rasa kagum terhadap kekayaan tradisi termasuk ulos Batak yang sejak tahun 1970-an memang diteliti oleh Sandra Niessen, seorang antropolog asal Belanda.

Secara garis besar film dokumenter ini mengangkat tentang teknik menenun ulos Batak oleh kaum perempuan sejak ratusan tahun silam.

Ini juga dibenarkan oleh Sandra Niessen dikutip dari laman Facebooknya. Dia menyebut poster yang ditampilkan di acara tersebut hasil karya Mja Nashir. Menurut Sandra, seusai pemutaran film akan dilanjutkan diskusi tentang latar belakang film.

Kebanggaan ini juga merupakan kebanggaan bagi negeri ini, bagi orang-orang Batak khususnya, juga bagi khasanah kebudayaan Indonesia dan dunia

Namun Nashir sendiri tidak hadir di acara tersebut. "Acara ini akan sempurna jika Mas Nashir juga bisa hadir," tulis Sandra. "Kami akan merindukanmu, Mas Mja Nashir dan terima kasih untuk poster yang indah ini," sambungnya.

Sandra menyebut, film Rangsa Ni Tonun didasarkan pada teks yang ditulis oleh guru Sinangga Ni Adji pada tahun 1872. Dia tinggal di Sait Ni Huta, di Lembah Silindung, 'dongan sahuta' (satu desa) dengan misionaris Jerman, IL Nommensen.

"Saya menemukan teks di arsip Nommensen di Wuppertal, Jerman, atas rekomendasi Petrus Voorhoeve. Merekam teks tampaknya cara terbaik untuk membuatnya dapat diakses. Bahasa teknis tentang tenun, dan bahasa pangarangsaon, akan membuat terjemahan menjadi kata-kata pasti membingungkan dan tidak diragukan lagi membosankan," ujar Sandra.

Sandra menyebut membuat film ini dengan bantuan warga desa di seluruh daerah Batak tanpa latihan atau persiapan. Mereka misalnya didukung oleh Sebastian Hutabarat, Jean Howe, Annette Horschmann, Jesral Tambun, dan omppu Okta.

"Mereka membuatnya mungkin untuk kita. Untuk bangkit di atas banyak tantangan teknis," kata Sandra.

Sedangkan Nashir yang tak bisa hadir tetap senang dan bangga. "Terima kasih sebesar-besarnya kepada Sandra Niessen yang telah mengabarkan dan membagikan kabar indah dan membanggakan bagi kita atas perkembangan hasil karya kolaborasi kita, film Rangsa Ni Tonun ini," ujarnya.

Dia merasa merasa bersyukur mendapat penghormatan atas karya filmnya dengan Sandra Niessen menjadi salah satu dari 11 film dari berbagai negara yang terpilih di festival tersebut.

"Kebanggaan ini juga merupakan kebanggaan bagi negeri ini, bagi orang-orang Batak khususnya, juga bagi khasanah kebudayaan Indonesia dan dunia," tukas Nashir.

Dia berharap acara atas film ini yang akan diwakili oleh Sandra Niessen berjalan dengan baik, lancar, indah dan tetap terus menggugah.

ICAS 11 di Leiden pada 16-19 Juli 2019 adalah pertemuan internasional paling inklusif di bidang studi Asia. ICAS menarik peserta dari lebih dari 60 negara untuk terlibat dalam dialog global tentang Asia melampaui batas-batas antara disiplin akademis dan wilayah geografis.

Tempat pertemuan untuk edisi ke-11 ICAS adalah Leiden, Belanda. Kota bersejarah Leiden adalah rumah bagi salah satu universitas tertua, Universitas Leiden, dan beberapa pusat penelitian Asia yang paling terkenal. []

Berita terkait
0
David Beckham Refleksikan Perjalanannya Jadi Pahlawan untuk Inggris
David Beckham juga punya tips untuk pesepakbola muda, mengajak mereka untuk menikmati momen sebelum berlalu