Jakarta - Percaya atau tidak udara memiliki hubungan dengan “rasa” bahagia seseorang. Selama ini kebahagiaan kerap dihubungkan dengan hal-hal bersifat materi, namun sejumlah studi, seperti diungkapkan Peter Howley dari University of Leeds di The Conversation, udara berpengaruh pada tingkat kebahagiaan seseorang.
Sebuah penelitian di Jerman, misalnya mengungkapkan hal sebagai berikut. Dengan melakukan studi terhadap dampak pembangkit listrik di Jerman yang telah dilengkapi peralatan pengurang kadar emisi, para peneliti mendapat hal berbeda terhadap masyarakat di lingkungan pembangkit tersebut. Tim meneliti dampak terhadap sekitar 3000-an orang di dua daerah tersebut dari pembangkit yang dilengkapi peralatan emisi udara tersebut. Caranya, dengan mengelompokkan setiap orang, apakah mereka tinggal se-arah atau berlawanan dengan arah angin terhadap arag angin dari area pembangkit listrik.
Situasi semacam ini jelas tak akan membuat orang bahagia, sebaliknya stres.
Hasilnya? Ternyata penduduk yang tinggal di daerah berlawanan dengan arah angin mengalami kabahagiaan setelah adanya instalasi pengurang emisi itu di banding yang lain.
Demikian pula di China. Sebuah riset yang diadasarkan atas sekitar 120 juta postingan di Sina Weibo (sebuah platform semacam twitter), pada akhirnya menemukan korelasi antara asal tempat tinggal sang pemosting dengan kualitas udara di tempatnya. Udara yang bersih mempengaruhi rasa bahagia –juga pikiran postif- dari sang pemosting yang tercermin dalam postingan mereka.
Pengaruh kualitas udara bisa dilihat pada negara-negara skandinavia yang dikenal bersih dan menjaga lingkungannya. Masyarakat di sana, tak hanya relatif makmur, juga bahagia. Sistem pemerintahan yang pro kesejahteraan rakyat, ditambah sejumlah regulasi yang menjaga lingkungan, membuat tingkat kebahagiaan warga negara tersebut lebih tinggi ketimbang negara lain.
Menurut Peter, beberapa hal yang menjadi faktor berkaitan hubungan antara udara dan kebahagiaan adalah “ketebalan asap,” “bau,” serta “rasa udara.” Tubuh yang normal akan bisa merasakan mana udara buruk dan mana udara sehat. Ketebalan asap yang buruk otomatis akan membuat tubuh tak nyaman, yang pada akhirnya membuat lenyap atau menurunnya kebahagiaan. Itu sebabnya, sejumlah negara-negara Eropa, misalnya, sejak dulu, memiliki taman-taman kota yang luas sebagai “produsen,” udara sehat. Taman ini kemudian menjadi oase penduduk untuk duduk atau olahraga.
Di Indonesia, taman-taman kota belum tersedia maksimal. Bahkan belum menjadi prioritas. Tradisi yang ada adalah memiliki “alun-alun,” bukan sebuah taman yang fungsinya untuk menyehatkan jiwa dan raga warga kota. Penelitian Peter mengingatkan kita tentang kebakaran hutan di Indonesia yang dampaknya membuat polusi asap -kabut asap- berpekan-pekan. Situasi semacam ini jelas tak akan membuat orang bahagia, sebaliknya stres. Peter menekankan, pemerintah mesti fokus juga memperbaiki kualitas udara untuk warganya –tak sekadar pada hal yang bersifat materi. []