Etos Kerja Jakob Oetama yang Diteladani Wisnu Nugroho

Wisnu Nugroho mengenal Jakob Oetama seorang pemimpin yang disiplin dan bertanggungjawab dalam semua hal.
Pemimpin Redaksi Kompas.com Wisnu Nugroho. (Foto: Tagar/ Screenshot Tagar TV)

Jakarta - Jakob Oetama adalah satu-satunya orang yang dipanggil Bapak di Kompas Gramedia (KG). Ungkapan itu tidak sekedar menghormati beliau sebagai orang tua, namun sebutan kultural terhadap apa yang dilakukan oleh Pak JO selama memimpin perusahaan besar tersebut.

Kritik disampaikan bukan untuk memojokkan, bukan untuk menyalahkan, tapi kritik dengan pemahaman sehingga yang dikritik tidak antipati.

Hal itu dinyatakan Pemimpin Redaksi Kompas.com Wisnu Nugroho ketika diwawancarai Tagar TV, Kamis, 10 September 2020. "Sifat kebapakannya itu yang mewujud sehingga kita otomatis menyebut Pak JO sebagai bapak. Sementara yang lain kepada sia papun yang ada di KG, kami menyebut mas dan mbak, tidak ada yang kami sebut bapak," katanya.

Wisnu sendiri mulai berkarir di Kompas sejak awal Juli di tahun 2001. Interaksinya dengan Pak JO relatif tidak banyak. Sebab, Pak JO meski masih berstatus pemimpin umum dan menulis tajuk di tahun 2000-an hingga sekitar tahun 2014, pertemuan intensif itu tidak terlalu banyak.

Setiap Rabu, kata Wisnu, dia menggelar rapat redaksi yang kadang-kadang didatangi Pak JO. Rutinitas rapat bersama Pak JO ini terjadi di rentang waktu sekitar tahun 2012 hingga 2014. Meski tidak sering, namun sering belian datang di hari Rabu dan beliau pun meninggal di hari Rabu.

"Kepergian Pak JO mengingatkan saya akan tradisi redaksi dimana rapat hari Rabu itu Pak JO selalu datang. Datang tidak berbicara berita apa, tidak," katanya.

Menurut Wisnu, Pak JO biasanya datang setelah selesai membaca buku. Dia memiliki gagasan apa, bertemu dengan siapa, dia punya ide apa dari situ, kemudian didiskusikan di ruang redaksi.

"Misalnya, kok Capres ini kayaknya kurang meyakinkan yah mas, mas? Yang di istana bagaimana gitu menurut mas, mas? Saya kok tidak mendapat kesan bahwa calon ini punya cukup kemampuan untuk memimpin negeri? Nah ini keragu-raguan sikap dasar yang dimiliki Pak JO dan sikap dasar para wartawan untuk ragu-ragu terhadap segala sesuatu untuk diuji segala sesuatu kebenarannya," tuturnya.

Ada beberapa hal yang dipegang Wisnu dari Pak JO ketika diamanahi memimpin Kompas.com. Pertama tentang critical missunderstanding. Dimana, wartawan mempunyai tugas dan mempunyai panggilan untuk melakukan perbaikan atas segala hal. Serta memberikan layanan kepada publik, salah satunya memberikan kritik kepada layanan yang buruk.

"Kritik disampaikan bukan untuk memojokkan, bukan untuk menyalahkan, tapi kritik dengan pemahaman sehingga yang dikritik tidak antipati, bisa mendengarkan. Setelah ia mendengarkan, ia akan melakukan apa yang ditawarkan dari si pemberi kritik. Itu yang saya pahami, critical missunderstanding untuk orang-orang atau penjabat atau pihak yang kita beri masukan, masukannya tidak memojokkan pihak itu, tapi memberikan ruang bagi dia untuk memberikan solusi," katanya.

Kedua, soal prinsip dan bagaimana menjalankannya. Pak JO tegas dan keras dalam berprinsip, tetapi dalam pelaksanaannya justru memiliki kelenturan. Hal itu yang membuatnya tidak mudah patah, tidak habis karena prinsipnya tetap dipegang tapi caranya dilakukan dengan kelenturan tertentu.

Dalam perjalanan sejarah mungkin yang direfleksikan oleh almarhum Rosihan Anwar bahwa jurnalisme Kompas itu adalah jurnalisme kepiting, mungkin ini yang dipahami. Namun, kata Wisnu, dia merefleksikan bahwa itu adalah upaya Pak JO untuk teguh dalam berprinsip. Dia meyakini prinsip itu tidak bisa langsung diterapkan. Ada cara yang lebih lentur, lebih liat tanpa adu pukul.

"Ketiga, kepedulian. Jurnalisme itu menghidupi, tapi Pak JO tidak lupa mengembalikan siapa yang memperjuangkan itu, saya tidak menemukan keserakahan di sosok ini. Saya tidak menemukan upaya kapitalisasi, semua dikembalikan kepada karyawan," tuturnya.

Bagi Wisnu, sikap Pak JO memberikan gambaran bahwa perusahaan akan merawat karyawan dalam situasi apa pun, terlebih dalam situasi saat ini. Menurutnya, pemimpin adalah orang yang paling pertama berkorban untuk kemudian memberikan perasaan aman, terjamin bagi level yang mungkin kurang beruntung dan upaya itu yang terjewantahkan dalam situasi sulit.

"Etos kerja Pak JO adalah dia tidak suka dengan kerja yang setengah-setengah, kerja yang tidak keluar dari hati. Tulisan yang dikerjakan dengan hati, kesungguhan, sepenuh hati, optimal itu terjamin dan dia mengapresiasi tulisan seperti itu," katanya.

Kepada penulis tertentu dia bahkan memiliki kedekatan personal. Dari cerita para senior, etos kerja yang membuat beliau kagum itu mendapatkan penghargaan yang baik.

"Etos kerja itu bukan sesuatu yang didengungkan. Di Kompas ini unik, tidak ada penugasan yang direktif, harus ini, itu, kecuali jika ada sesuatu yang benar-benar genting. Semua sudah dipahami sendiri dan high level combination inilah yang berdasar atas sebuah kultur yang dibangun secara bersama-sama," katanya.

Menurut Wisnu, Pak JO datang ke ruang rapat redaksi itu sesuatu yang menenangkan bagi para editor. Sebab dia bukan pertama-tama bertanya, tapi lebih mengajak berdiskusi, bahkan ditanya secara personal.

"Kesejahteraan yang paling nyata adalah setiap ada keuntungan perusahaan langsung dibagi pada karyawan setiap tahun. Ada akumulasi atau kepentingan investasi misalnya, tetapi ukurannya atau persentasenya itu fair dikembalikan untuk karyawan, itu yang saya alami," katanya.

Bentuk kepedulian Pak JO, katanya, dalam setahun, karyawannya tidak digaji selama 12 kali, namun bisa mencapai 18 hingga 20 kali. "Ada keuntungan yang harus dibagi sebagai ungkapan terima kasih dari perusahaan karena etos kerjaan para karyawannya," katanya.

Soal lainnya, Pak JO tidak hanya memikirkan karyawannya semata, namun juga pihak-pihak lain. Bahkan, kata Wisnu, banyak akademisi, lulusan negeri yang pendidikannya dibiayai Pak JO.

"Bisa dicek dan hanya klaim yang disampaikan orang-orang, saya hanya mendengar saja. Saya hanya mendapat dua kesaksian dari orang yang studinya dibiayai oleh Pak JO secara tidak langsung," tuturnya.

Menurut Wisnu, seniman juga menjadi medan bakti Pak JO untuk menyalurkan kedermawanannya. Makanya ada Bentara Budaya di Jakarya dan Yogyakarta, itu salah satunya untuk merawat para seniman memiliki panggung atau tempat dimana media bisa mengekspos dan meningkatkan kesejahteraannya.

Purna tugas di Kompas Gramedia, terutama Harian Kompas, para karyawan juga menerima uang pensiunan. Dana itu baru bisa diambil ketika seorang karyawan telah pensiun. Uangnya bisa diambil langsung atau pun setengahnya.

"Jika seorang wartawan di Kompas sudah 7-10 tahun bekerja, dia punya hak dapat pinjaman tanpa bunga untuk membeli rumah. Rumahnya tentu saja tidak mewah, tapi setidaknya layak atau pantas untuk ditinggali," katanya.

Menurut Wisnu, di bawah komando Pak JO, produk jurnalistik yang baik dan sudah dilakukan Kompas sejak 28 Juni 1965 itu telah menumbuhkan kepercayaan publik yang kemudian menghasilkan bisnis.

"Pak JO itu orang yang tertib dan disiplin untuk semua hal, itu yang saya pahami. Meski sudah bukan eksekutif lagi, setidaknya ketika dia datang ke kantor menggunakan pakaian kerja dengan waktu sama. Contoh, jika saya datang ke kantor jam 8.30 WIB, maka 30 menit kemudian maka akan datang mobil yang membawa Pak JO dan itu saya lihat selama 1-2 tahun belakangan. Di kantor dia duduk di ruangannya, dan didampingi oleh sekretaris dan para orang kepercayaannya, ini merupakan bentuk ketertiban dan kedisiplinan," katanya.

Wisnu juga meyakini Pak JO orang yang bersyukur atas situasi apa pun. Namun, marahnya Pak JO, layaknya marahnya orang Jawa. Dia tidak memperlihatkannya, namun orang sudah tahu kalau dia itu marah.

"Ketika dia menugaskan tertentu, dia jelaskan dengan kata-kata tertentu maka orang akan bisa menterjemahkan. Saya tidak menemukan langsung karena mungkin karena saya tidak berada di posisi ketika Pak JO berada di eksekutif," katanya.

Ketika Wisnu memimpin Kompas.com sejak 16 Januari 2016, dia berpegang kepada pidato Pak JO saat menerima penghargaan Doctor Honoris Causa dalam bidang Ilmu Komunikasi di Universitas Gajah Mada (UGM) pada 17 April 2003. Kala itu, Pak JO menyebut antara jurnalisme fakta dan jurnalisme memakna.

"Pernyataan yang sangat kuat yang saya ambil adalah informasi yang dipersepsikan sebagai sumber pengetahuan boleh diartikan sebagai sumber kecemasan, dan ternyata benar, pilkada dan pilpres membuat kita cemas, informasi tidak memberikan pengetahuan tetapi adalah kecemasan," katanya. []

Lihat wawancara lengkap Pemimpin Redaksi Kompas.com Wisnu Nugroho mengenang Jacob Oetama di Tagar TV:


Berita terkait
Figur Jakob Oetama, Tokoh Pers Indonesia
Ketekunan, keuletan, dan kerja keras mengantarkan Jakob Oetama memiliki media ternama di Indonesia dengan nama Harian Kompas.
Jakob Oetama dalam Kenangan Wartawan Kompas
Dua kali saya dapat hadiah mobil dari Pak Jakob. Sebagai orang otomotif, beliau tahu saya senang mobil. Cerita Agus Lenggang tentang Jakob Oetama.
Deretan Bisnis Jakob Oetama, Pendiri Kompas Gramedia
Jakob Oetama, pendiri Kompas Gramedia sekaligus tokoh Pers Nasional meninggal dunia pada Rabu, 9 September 2020 dalam usia 88 tahun.