Etika Politik Mantan Presiden

Justru tidak elok kalau ada mantan presiden yang saling kritik atau saling serang dengan penggantinya, hanya karena kepentingan politik praktis sesaat.
Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan pernyataan pers soal dugaan penyadapan percakapan telepon dirinya dengan Ketum MUI KH Ma'ruf Amin di Wisma Proklamasi, Jakarta, Rabu (1/2) lalu. (Foto: Ant)

Jakarta, (Tagar/7/2) – Mendekati hari H Pilkada serentak 15 Februari 2017, khususnya Pilkada DKI Jakarta, suasana perpolitikan semakin panas, bahkan cenderung meruncing. Semakin terlihat jelas ketika mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY terlibat langsung dalam perang opini.

SBY merasa telah diperlakukan tak adil karena merasa disadap dan hak pribadinya terganggu. Semakin meruncing ketika ratusan mahasiswa melakukan unjuk rasa di kediaman SBY di Jakarta. SBY semakin merasa terzolimi. Dia lalu melontarkan kekesalannya melalui twitter dan meminta perhatian Presiden Joko Widodo dan Kapolri Tito Karnavian melalui #SayaBertanya kepada Bapak Presiden dan Kapolri.

Reaksi SBY pun lantas membuat dunia perpolitikan, terutama dunia maya juga bereaksi. Banyak yang menyesalkan SBY tak menunjukkan sikap kenegarawanannya bahkan cenderung lebay. Bahkan ada netizen yang menyebut sikap pura-pura dizolimi kini tak laku lagi atau sudah menjadi barang usang untuk menarik simpati.

Pengamat sosial Romo Benny Susetyo menilai, SBY tengah mencoba menarik simpati publik dengan memainkan dramaturgi. Sebagai Presiden keenam RI, SBY, kata dia, seharusnya SBY menunjukkan sikap seorang negarawan.

“Bukan sebaliknya, memainkan dramaturgi politik untuk mencapai tujuan politik tertentu,” kata Romo Benny saat diskusi bertajuk ‘Bila SBY Minta Bertemu Jokowi: Nunggu Lebaran, Kali!” di Jakarta, Senin (6/2).

Hal yang sama disampaikan Viktor S.Sirait, salah satu ketua DPP BaraJP di Jakarta, Selasa (7/1). Menurutnya, sikap yang ditunjukkan SBY tersebut semakin memperkeruh suasana di tengah gejolak  sosial politik  yang sedikit meningkat khususnya menjelang pilkada DKI.

“Sikap yang ditunjukkan SBY ini bukan sikap seorang negarawan. Seharusnya Bapak SBY menunjukkan sikap sebagai seorang bapak bangsa yang mendinginkan suasana yang lagi panas bukan sebaliknya malah memperkeruh suasana,” kata Viktor.

Menurutnya, kalaupun ada yang salah,  seperti unjuk rasa yang dilakukan adik-adik mahasiswa pengunjukrasa di kediamannya, reaksi SBY tak seharusnya demikian. Sebagai mantan presiden SBY punya jalur sendiri ke pemerintahan saat ini untuk melakukan protesnya.

“Bukan malah menunjukkan protesnya ke seluruh dunia melalui akun twitternya, dan menggambarkan bahwa pemerintah (Polri) membiarkan mantan presiden  teraniaya oleh sekelompok mahasiswa pendemo,  Itu reaksi yang tak patut dan berlebihan bagi seorang mantan presiden,”  kata Viktor S Sirait.

Guru Besar Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Airlangga Surabaya Henry Subiakto meminta agar mantan presiden di Indonesia dapat mencontoh etika politik para mantan presiden Amerika Serikat.

Di Amerika, kata Henry, para mantan presiden yang masih hidup dipastikan hadir pada saat pelantikan presiden yang baru, kendati pada pemilihan presiden mereka bersaing ketat. Mereka hadir menghormati sang presiden baru, Donald Trump. Para mantan presiden itu kompak hadir, menunjukkan kesatuan AS. Ini sudah menjadi tradisi lama mereka. Menjadi tradisi yang indah dalam demokrasi di Amerika.

Ada lagi tradisi demokrasi yang bagus di AS, yaitu mantan presiden tidak lagi tampil dalam wacana-wacana politik. Secara etis mantan presiden tidak boleh mengkritik penggantinya di depan publik.

“Kita sulit menemukan kritikan George Bush pada Barack Obama. Atau kritikan Bill Clinton pada George Bush. Nanti Obama pun harus menghindarkan diri dari sikap mengkritik Trump. Itu sudah menjadi etika tak tertulis,” kata Henry.

Henry menambahkan, sebenarnya beberapa mantan presiden Indonesia melakukan hal yang sama seperti di Amerika. “Habibie yang biasa hidup dalam budaya Jerman, juga tidak pernah mengkritik presiden-presiden setelahnya. Gus Dur juga mencoba membangun tradisi itu. Walau Gus Dur diturunkan saat menjabat, setelah lengser ia tidak menyerang atau mengkritik penggantinya,” kata Henry.

Menurut Henry, para negarawan sebagai tokoh-tokoh demokrasi memang sudah seharusnya memegang teguh etika dan mengembangkan sikap-sikap kenegarawanan.” Justru tidak elok kalau ada mantan presiden yang saling kritik atau saling serang dengan penggantinya, hanya karena kepentingan politik praktis sesaat.” (fet/ant)

Berita terkait
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.