Episode (3) – Absennya NU dalam Hiruk Pikuk Isu PKI

Dalam hiruk pikuk isu Partai Komunis Indonesia (PKI) terkini, organisasi kemasyarakatan NU terkesan menjaga jarak atau tak ingin terlibat terlalu dalam.
MUSEUM AH NASUTION DIPADATI WARGA: Warga mengamati salahsatu ruangan ketika mengunjungi Museum AH Nasution di Jakarta, Sabtu (30/9). Warga memadati Museum AH Nasution bertepatan dengan peringatan 52 tahun peristiwa Gerakan 30 September 1965. (Foto: Ant/Wahyu Putro A).

Jakarta, (Tagar 30/9/2017) – Menilik akun-akun media sosial aktivis muda Nahdlatul Ulama (NU), mereka cenderung menyebut isu PKI hanyalah "membangkitkan hantu".

Dalam hiruk pikuk isu Partai Komunis Indonesia (PKI) terkini, organisasi kemasyarakatan NU terkesan menjaga jarak atau tak ingin terlibat terlalu dalam.

Kalaupun ada beberapa tokoh NU yang berbicara tentang isu PKI, mereka sekadar melayani pertanyaan jurnalis. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang dalam bulan September ini beberapa kali menggelar kegiatan lebih suka menyoroti persoalan kebhinekaan dan krisis Rohingya.

Gerakan Pemuda Ansor Surabaya memang sempat memutar film Pengkhianatan G30S/PKI ketika merayakan tahun baru Islam, tetapi hanya cuplikan saja dengan durasi sekitar lima menit.

Fenomena ini cukup menarik karena bagaimanapun terasa "kurang afdol" membicarakan isu PKI tanpa menyinggung NU. Sejarah mencatat konflik berdarah kedua kelompok ini (PKI dan NU) di masa lalu.

Empat tahun silam, tepatnya 9 Desember 2013, PBNU secara khusus meluncurkan buku terkait hubungan NU dan PKI. Buku berjudul "Benturan NU-PKI 1948-1965" itu dianggap sebagai "buku putih".

Wakil Sekjen PBNU Abdul Mun'im Dz selaku ketua tim penulis mengakui buku sejarah versi NU itu terbit sebagai reaksi atas berbagai laporan yang menyudutkan NU terkait pembunuhan terhadap pengikut PKI, termasuk liputan khusus Majalah Tempo edisi Oktober 2012 bertajuk "Pengakuan Algojo 1965".

Kini, ketika sejumlah kalangan Islam meramaikan isu PKI, juga TNI dengan kegiatan nonton bareng film Pengkhianatan G30S/PKI, NU justru terlihat kalem, bahkan menganggap isu itu "tak penting".

Rais Aam PBNU KH Ma'ruf Amin menegaskan bahwa persoalan PKI sudah selesai. Kader NU yang juga Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar menegaskan PKI adalah masa lalu yang tak perlu ditakuti lagi.

Ketua Bidang Kebudayaan dan Hubungan Antarumat Beragama PBNU Imam Azis, sebagaimana dimuat Tempo.co, menyebut film Pengkhianatan G30S/PKI hanya efektif pada zaman Orde Baru, kalau diputar sekarang akan banyak yang menertawakan.

Mencermati akun-akun media sosial aktivis muda NU juga, mereka cenderung menyebut isu PKI hanyalah "membangkitkan hantu".

Padahal, KH Hasyim Muzadi, ketua umum PBNU dua periode, sebelum meninggal mewanti-wanti agar bahaya komunis dan gerak anak cucu PKI tetap diwaspadai.

Mungkinkah kalangan NU kini, terutama di jajaran struktural organisasi itu dan aktivis-aktivis mudanya, memiliki pandangan tersendiri terkait PKI dan peristiwa 1965?

Mantan Ketua PBNU yang kini menjadi pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang KH Shalahuddin Wahid atau Gus Solah menyebutkan warga NU memang memiliki sikap berbeda-beda terkait PKI.

Setidaknya ada tiga kelompok menurut adik kandung KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur itu dalam artikelnya yang berjudul "Sikap Warga NU Terhadap PKI" yang dimuat Kompas.com pada 29 September 2015.

Kelompok pertama disebutnya sebagai kelompok antirekonsiliasi yang menganggap tindakan NU terhadap PKI pada masa lalu sudah tepat. Namun, Gus Sholah meyakini jumlah yang masuk kelompok ini kecil.

Kelompok kedua memiliki pandangan bahwa baik NU maupun PKI adalah sama-sama korban sehingga kelompok ini mendukung rekonsiliasi.

Kelompok ketiga adalah mereka yang mengakui keterlibatan warga NU dalam pelanggaran HAM berat dan setuju diadakan proses hukum untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Kelompok ini bahkan setuju TAP MPRS Nomor XXV/1966 dicabut dan ajaran komunis boleh disebarkan. Mereka yakin PKI tak akan laku kalaupun diizinkan berdiri lagi.

Menurut Gus Sholah, kelompok terakhir ini terpengaruh cara pandang Gus Dur yang memang berbeda dengan dengan tokoh dan warga NU lainnya dalam menyikapi PKI. Sebagaimana Gus Dur yang tidak merasakan suasana permusuhan dengan PKI karena dari tahun 1963 hingga 1971 belajar di Kairo, demikian pula orang-orang yang mengikuti cara pandangnya.

Bisa jadi kalemnya NU dalam hiruk pikuk isu PKI saat ini karena yang berperan di organisasi NU saat ini berasal dari kelompok kedua dan ketiga berdasarkan pengelompokan yang dilakukan Gus Sholah.

Akan tetapi, juga sangat mungkin pegiat-pegiat NU saat ini tidak ingin rekonsiliasi alami atau rekonsiliasi kultural antara NU ada eks PKI dan keluarganya terganggu hanya gara-gara kegenitan bersikap dan berkata-kata.

Sejak benturan berdarah usai, sebagaimana ditulis dalam "buku putih", kalangan NU memang berupaya merangkul bahkan melindungi eks PKI dan keluarganya dari tindak kekerasan. Tidak sedikit anak eks PKI yang dididik di pesantren NU.

Pada tahun 2002, Imam Azis menginisiasi lembaga nonpemerintah Syarikat Indonesia bersama aktivis muda yang kebanyakan berlatar belakang pesantren. Melalui penelitian, mediasi, dan kampanye publik lembaga yang memiliki jaringan di 35 kota ini terus mendorong rekonsilasi masyarakat dengan eks PKI dan keluarganya.

Sikap kalem NU menyikapi isu PKI belakangan ini bisa juga karena isu itu dianggap tak lebih sebuah permainan politik yang dilakukan kelompok tertentu sebagai pemanasan menghadapi Pemilu Presiden tahun 2019, sebagaimana dikemukakan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj belum lama ini. (Sigit Pinardi/ant/yps)

Berita terkait
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.