Empu Sungkowo di Sleman Trah Pembuat Keris Majapahit

Empu Sungkowo di Sleman, keturunan Empu Supa, pembuat keris Kerajaan Majapahit. Tagar menemuinya untuk mengetahui ritual membuat sebilah keris.
Dua asisten Empu Sungkowo, yakni Supardi dan Barno, membakar sebatang besi bahan baku pembuatan keris, Selasa, 5 November 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Sleman - Pembuatan sebilah keris bisa memakan waktu hingga sebulan lebih, tergantung jenis keris dan pamor. Dalam pembuatannya pun, sang empu wajib melaksanakan ritual khusus sebelum memulai pembuatan.

Suara kikir yang menggesek bilah keris itu membuat telinga seperti ngilu. Tapi mungkin karena terbiasa, dia seolah tak merasa terganggu dengan suara gesekan tersebut.

Sesekali dia membetulkan letak kacamata, kemudian kembali meneruskan pekerjaannya.

Beberapa kali dia berhenti mengikir untuk melihat hasil pekerjaannya. Bilah keris pada genggamannya diletakkan lurus di depan wajah, untuk memastikan presisi keris buatannya.

Empu Sungkowo merupakan keturunan ketujuh belas dari Empu Supa, yang merupakan pembuat keris Kerajaan Majapahit.

Sejak tahun 1970-an, Empu Sungkowo telah mulai membantu ayahnya, Empu Djeno Harumbrodjo, sebagai panjak atau asisten pembantu empu. Dia mulai menempa keris sejak tahun 1995, setelah Empu Djeno tidak lagi kuat menempa.

Empu Sungkowo membutuhkan waktu antara 1 hingga 1,5 bulan untuk menyelesaikan sebilah keris, tergantung pada tangguh atau modelnya. Itu pun di luar waktu ritual prapembuatan.

Uba rampe ini bukan untuk setan atau jin, tapi untuk sedekah tetangga kanan kiri.

Keris SlemanEmpu Sungkowo Harumbrodjo, perajin keris, memeriksa keseimbangan keris buatannya, di depan ruang tempa, di Gatak, Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, Senin, 4 November 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Diawali Puasa dan Sedekah

Proses pembuatan keris berbeda dengan pembuatan senjata lain, karena keris dipercaya memiliki filosofi dan tuah tertentu. Sehingga pembuatannya pun melalui proses ritual tertentu.

Empu Sungkowo membeberkan ritual yang dilakukan sebelum mulai membuat keris. Setiap kali akan membuat sebilah keris, Empu Sungkowo melakukan puasa selama tiga hari.

Meski terlihat hanya tiga hari, tetapi menurutnya puasa itu terhitung selama 40 hari, karena dia melakukan puasa pada hari-hari tertentu pada penanggalan Jawa.

Setelah selesai berpuasa, kemudian dilanjutkan dengan menyiapkan uba rampe berupa semacam sesaji.

"Uba rampe ini bukan untuk setan atau jin, tapi untuk sedekah tetangga kanan kiri. Kita bikin seperti kenduri kecil-kecilan, tapi komplit. Maksudnya sebenarnya untuk sedekah. Orang zaman dulu sebenarnya juga sudah peduli, karena sedekah juga diutamakan," ujarnya di sela pengerjaan sebilah keris.

Uba rampe itu juga bertujuan memohon doa restu dari para tetangga, agar pekerjaan itu selamat dan sesuai harapan.

Saat memulai menempa atau membuat fisik keris, pun diawali dengan doa-doa biasa, yang dilakukan secara Islam Kejawen. "Diawali dengan doa-doa biasa. Kalau zaman dulu menggunakan cara Hindu, kalau sekarang doa Islam Kejawen," tuturnya.

Ritual dan doa yang dilakukan sebelum membuat sebilah keris berbeda-beda. Empu Sungkowo melakukannya sesuai kondisi pemesan, yakni berdasarkan profesi dan neton atau hitungan hari kelahiran.

"Tergantung tujuan pembuatan keris itu sendiri. Misalnya keris untuk petani, itu ada sendiri. Keris untuk pengusaha dan pebisnis itu ada juga, kemudian untuk raja dan pejabat, jaksa, semua ada sendiri-sendiri," kata Empu Sungkowo.

Keris SlemanEmpu Sungkowo Harumbrodjo, perajin keris, mengukir sebilah keris di depan ruang tempa, di Gatak, Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, Selasa, 5 November 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Butuh 27 Kilogram Besi untuk 1 Keris

Proses pembuatan tangguh dan pamor atau proses penempaan, merupakan proses terlama, yakni mencapai dua hingga tiga pekan, tergantung pada jenis keris.

Dari semua jenis tangguh keris, tangguh Sendang Sedayu merupakan keris yang paling lama proses pembuatannya. Karena tangguh Sendang Sedayu memiliki lapisan pamor terbanyak, yakni 4.096 lapis.

Selain proses pelapisannya yang lebih banyak, keris tangguh Sendang Sedayu juga membutuhkan pamor dan lebih banyak. Sebilah keris tangguh Sendang Sedayu membutuhkan bahan baku besi sebanyak 27 kilogram.

Sementara, keris tangguh Majapahit, 'hanya' memiliki 2.048 lapisan pamor, keris tangguh HB atau Hamengkubuwono memiliki 256 lapisan pamor, dan keris tangguh PB atau Pakubuwono 68 lapis.

"Tangguh PB, itu cuma 68 lapisan, bahan bakunya 8 hingga 9 kilogram sudah cukup. Tapi kalau tangguh HB, itu lapisan pamornya 256. Itu bahan bakunya antara 12 hingga 14 kilogram," ujarnya.

Keris SlemanEmpu Sungkowo Harumbrodjo, perajin keris, membuat sebilah keris di depan ruang tempa, di Gatak, Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, Selasa, 5 November 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Kata Empu Sungkowo, itu baru dilihat dari lapisannya, belum dari model pamornya. Model pamor bermacam-macam. Model pamor yang membutuhkan waktu lama dalam pengerjaan adalah jenis pamor rekan, yakni pamor yang dibuat sesuai keinginan atau direka-reka.

Jumlah bahan baku besi dan bahan pamor, menurut dia harus seimbang. Untuk tangguh keris yang memiliki lapisan hingga ratusan bahkan ribuan, bahan pamor yang dibutuhkan pun menjadi semakin banyak.

"Misalnya lapisannya banyak dan bahan pamornya sedikit, nanti pamornya tidak jelas. Pamor menyesuaikan tebalnya lapisan. Proses awal dari besi dan pamor dicampur dengan dilipat-lipat. Pamor itu terbuat dari nikel atau dari batu meteor, tergantung pemesan," ujarnya.

Masing-masing pamor keris memiliki filosofi dan tuah sendiri-sendiri. Itulah sebabnya saat ada pemesan yang memesan keris tetapi tidak sesuai dengan 'hitungan' empu, biasanya Empu Sungkowo akan menyarankan jenis yang sesuai.

Setiap ada pemesan keris, Empu Sungkowo selalu menanyakan neton kelahiran dan profesi pemesan, agar dia bisa menentukan jenis keris yang cocok.

"Disesuaikan dengan neton tanggal lahir dan profesi. Misalnya petani, nanti dibuatkan dapur dan pamor yang sesuai. Misalnya untuk petani, ada Kebo Lajer, Kebo Teki, Kebo Slurung, dan lain-lain. Kalau Pasopati, itu justru untuk orang tinggi, darah biru," tuturnya.

Keris SlemanAsisten Empu Sungkowo, yakni Supardi dan Barno, bekerja sama dalam menempa besi bahan baku keris, Selasa, 5 November 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Pesanan Hingga Amerika dan Eropa

Proses pembuatan keris yang membutuhkan ketelitian tinggi serta waktu pengerjaan yang lama, dan doa serta ritual khusus untuk menyelesaikan sebilah keris, membuat harganya pun cukup mahal.

Sebilah keris buatan Empu Sungkowo dibanderol seharga Rp 10 juta hingga Rp 20 juta, tergantung dari jenisnya. Harga itu sudah termasuk deder atau handel serta warangka atau sarung keris. 

"Kalau tidak sama warangka tidak sampai sebegitu. Harga itu termasuk ukiran dan lain-lain," katanya.

Keris hasil produksinya bukan hanya dipesan orang Indonesia, tetapi sudah sampai ke luar negeri. Di antaranya Malaysia, Singapura, Amerika Serikat, hingga beberapa negara Eropa, termasuk Inggris, Spanyol, Belanda, Prancis.

"Pemesan terjauh dari Amerika dan Eropa. Mereka datang sendiri. Mereka asli orang Eropa. Dari dulu, Mas. Dulu justru lebih banyak pesanan dari luar negeri," tuturnya.

Saat ini, menurut Empu Sungkowo, pesanan dari luar negeri mulai berkurang. Dia menduga hal itu disebabkan sulitnya membawa senjata tajam ke luar negeri. 

"Karena proses membawa ke negara mereka yang sulit. Yang banyak itu duta-duta besar. Kalau lewat kedutaan kan lebih mudah," ujarnya.

Keris SlemanAsisten Empu Sungkowo, yakni Supardi dan Barno, bekerja sama dalam menempa besi bahan baku keris, Selasa, 5 November 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Pemesan Menunggu 2 Tahun

Proses pembuatan keris yang membutuhkan waktu minimal satu bulan per bilahnya, membuat pemesan bisa saja menunggu hingga dua tahun, yakni jika pesanan menumpuk dalam waktu bersamaan.

Supardi 68 tahun, panjak atau asisten Empu Sungkowo, mengatakan hal itu saat ditemui di lokasi pembuatan keris, Selasa, 5 November 2019.

Saat ditemui di ruangan pembakaran berukuran sekitar 4x6 meter itu, Supardi ditemani keponakannya, Barno 36 tahun, yang membantunya menempa besi untuk dijadikan keris.

Tubuh keduanya tampak mengilap, saat cahaya api pembakaran menerpa kulitnya yang basah oleh keringat.

Sebatang besi yang akan ditempa, tampak memerah di dalam tungku pembakaran. Percikan api membubung saat batang besi itu dibalik oleh Barno.

Sambil menunggu batang besi itu siap ditempa, Supardi dan Barno duduk berhadapan.

Beberapa menit kemudian, Barno mengambil besi merah itu menggunakan penjepit. Lalu, dengan posisi masih terjepit, besi itu diletakkan pada semacam bantalan, untuk ditempa.

Supardi dengan cekatan mengambil palu berukuran besar, kemudian memukul batangan besi itu agar menjadi lebih pipih. Suaranya berpadu dengan deru api pada tungku.

Setelah besi itu dinilai perlu dibakar ulang, Barno kembali memasukkannya ke dalam tungku pembakaran. Sementara Supardi memompa, agar api menyala lebih besar.

Api menjilat-jilat hingga bagian luar tungku, sementara pada bagian dalam, api hanya meliuk-liuk mengikuti irama angin yang ditimbulkan oleh pompa Supardi.

"Prosesnya memang lama, bisa sampai sebulan untuk bikin satu keris. Jadi kalau pas ada besanan bersamaan, bisa saja harus menunggu sampai dua tahun," ucapnya sambil terus memompa.

Senada dengan pernyataan Empu Sungkowo, proses penempaan atau pelipatan pamor membutuhkan waktu paling lama, karena dalam menempa dilakukan berulang.

"Pertama, besi dilipat bersama dengan pamor. Pamor berada di tengah besi, kemudian dibakar dan ditempa agar menyatu. Itu dilakukan berulang. Untuk keris yang sementara saya kerjakan ini, lipatan atau lapisannya sebanyak 256 lipatan. Bahannya bisa mencapai 15 kilogram," tuturnya. []

Baca cerita menarik lain:

Berita terkait
Kenken, Burung Seharga Lebih Mahal dari Mobil Avanza
Belasan ekor burung beraneka warna itu terbang menuju langit biru. Satu di antaranya bernama Kenken, burung seharga lebih mahal dari mobil Avanza.
Legenda Genderuwo Ki Poleng dan Nyi Poleng di Sleman
Gunung Gamping yang angker di Sleman, dijaga dua genderuwo yaitu Ki Poleng dan Nyi Poleng. Mereka yang menyebabkan kematian Kyai dan Nyai Wirosuto.
Warga Sukunan Sleman Daur Ulang Sampah Jadi Batako
Melihat proses mengelola sampah jadi batako di Desa Wisata Sukunan, RW 19, Banyuraden, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.