Empat Kelompok Berbahaya dalam Rekrutmen Pemimpin KPK

Ada empat kelompok berbahaya yang patut dicermati panitia seleksi dalam menyaring calon pemimpin KPK. Siapa saja mereka?
Pekerja membersihkan logo Komisi Pemberantasan Korupsi di gedung KPK, Jakarta, Senin (5/2). Dari hasil penindakan rasuah sepanjang tahun 2017, KPK mengklaim telah berhasil mengembalikan uang sebesar Rp 276,6 miliar kepada negara, dari uang tindak pidana korupsi dan pencucian uang serta hibah barang rampasan. (Foto: Ant/Muhammad Adimaja).

Jakarta - Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mengatakan banyak figur yang mendaftar untuk ikut dalam seleksi calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi berkah bagi panitia seleksi (Pansel). 

"Tapi juga bisa menjadi musibah dan malapetaka bagi lembaga anti rasuah itu jika Pansel salah pilih. Apalagi saat ini cukup banyak anggota Polri, jaksa, dan pengacara yang ikut mendaftar, Pansel harus benar-benar teliti terhadap track record mereka," kata Neta S Pane dalam keterangan tertulis diterima Tagar, Selasa, 9 Juli 2019.

Ia menilai ada empat kelompok berbahaya yang patut dicermati panitia seleksi dalam menyaring calon pemimpin KPK. Empat kelompok yang harus dihindari masuk ke KPK. 

Pertama, figur yang post power syndrome harus dicegah masuk KPK. Umumnya pejabat atau mantan pejabat tinggi kerap terjebak post power syndrome dan merasa paling tahu dan serba tahu, terutama dalam hal pemberantasan korupsi. Padahal seharusnya mereka yang menjadi sasaran KPK, mengingat kekayaannya tidak sebanding dengan penghasilannya sebagai pejabat.

KPK membutuhkan figur yang tidak tebang pilih, berani menyapu bersih semua kasus korupsi.

Kedua, mantan pejabat yang selalu berburu jabatan untuk eksistensi. Mereka sudah mengikuti pilkada, caleg atau posisi lain dan selalu gagal tapi selalu mengatakan ingin mengabdi untuk bangsa. 

Ketiga, figur mantan politisi atau mantan tim sukses karena dikhawatirkan loyalitasnya akan tetap tinggi pada kelompok politik tertentu, padahal dalam banyak kasus para politisilah yang kerap terjerat korupsi.

Keempat, figur pencari kerja yang seolah-olah KPK dianggap sebagai peluang lapangan kerja potensial. 

Pane menambahkan, "Pansel jangan terjebak katagorisasi Indonesia Barat dan Timur dalam memilih calon pemimpin KPK karena Indonesia adalah satu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)."

Figur bermasalah harus benar-benar dihindari untuk menjadi pemimpin KPK agar tidak 'tersandera' oleh internal lembaga anti rasuah tersebut, kata Pane.

"Ke depan KPK membutuhkan figur pemimpin yang mampu membenahi internal KPK yang sudah terpecah, figur yang mampu menjadi teladan, figur yang tidak tebang pilih dan berani menyapu bersih semua kasus korupsi, figur yang mampu membangun sinergi dengan Polri dan Kejaksaan sehingga dua lembaga itu bisa disupervisi agar Tipikor (tindak pidana korupsi)-nya juga bisa bekerja maksimal dan tentunya KPK butuh figur yang tidak mudah disetir anak buah di internalnya," ujarnya. []

Baca juga:

Berita terkait