Untuk Indonesia

Eko Kuntadhi: Pilpres dan Pileg Harus Dipisah

Dalam pemilu mendatang pemilihan legislatif dan pemilihan presiden harus dipisahkan. Ulasan opini Eko Kuntadhi.
Personel kepolisian berjaga di dekat kotak suara hasil rekapitulasi perolehan suara saat berlangsungya Rapat Pleno Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara Tingkat Kota Tasikmalaya di Jawa Barat, Sabtu (4/5/2019). Hasil rekapitulasi Pemilu serentak 2019 dari 10 Kecamatan di Kota Tasikmalaya tersebut diprediksi baru akan selesai dalam wajtu dua hari ke depan. (Foto: Antara/Adeng Bustomi)

Oleh: Eko Kuntadhi*

Pemilu sudah kelar. Perhitungan suara sedang dilakukan. Kalau melihat dari hasil hitung cepat, Jokowi-Amin bakal memimpin negeri ini. Apalagi hitungan riil KPU sudah mencapai 60% sekarang. Posisi suara Jokowi-Amin sekitar 55% sedangkan Prabosan berada pada level 45%.

Pemilu 2019 adalah kegiatan politik yang paling ribet dalam sejarah, tapi harus diakui kesuksesan pemilu banyak ditopang oleh modal sosial kita.

Ada 7 juta orang yang tercatat secara resmi sebagai panitia pemilu. Mulai dari tingkat TPS sampai KPU pusat. Belum lagi Panwas sampai Bawaslu. Ratusan ribu petugas kepolisian dan TNI diterjunkan untuk mengawal distribusi perangkat.

Tapi di TPS-TPS bukan hanya petugas tercatat yang aktif menjadi penyelenggara. Masyarakat dengan gotong-royong saling menopang keberlangsungan event besar ini.

Penyatuan pileg dan pilpres membuat proses pemilu menjadi lebih panjang. Sementara itu perhatian orang hanya terpaku ke pilpres. Sedangkan pileg banyak diabaikan.

Dengan kata lain pemilu kita berjalan sukses juga karena publik terlibat aktif. Indonesia mempertontonkan kepada dunia bagaimana ikatan sosial bekerja dengan baik. Partisipasi pemilih mencapai lebih dari 80%.

Tapi beratnya kondisi pemilu ini juga punya cerita sedih sendiri. Tekanan pekerjaan maupun tekanan psikologi petugas di level bawah membuat mereka kelelahan. Akibatnya ada ratusan orang yang meninggal karena tekanan tugas yang sangat berat.

Besarnya jumlah korban ini sepertinya perlu menjadi perhatian serius. Kita tidak mau lagi ke depan para petugas itu bertumbangan. Beban kerja, tekanan psikologis untuk bertindak adil dan segala pernik-perniknya harus dihitung secara serius. Disesuaikan dengan kemampuan manusia normal.

Penyatuan pileg dan pilpres membuat proses pemilu menjadi lebih panjang. Sementara itu perhatian orang hanya terpaku ke pilpres. Sedangkan pileg banyak diabaikan.

Karena banyaknya kandidat legislatif mulai dari DPRD II, DPRD I, DPR RI dan DPD yang harus dicoblos masyarakat tidak punya ruang banyak untuk menimbang-nimbang calon legislatif. Apalagi calon DPD yang relatif kurang tersosialisasi. Yang diuntungkan adalah para incumbent yang memang sudah berpengalaman pada pemilu sebelumnya.

Jika saja kualitas legislatif periode lalu nilainya di bawah standar, dengan minimnya serapan informasi masyarakat terhadap caleg, kita akan mendapatkan legislatif yang akan datang tidak jauh berubah. Kasihan rakyat. Menggaji orang-orang yang kinerjanya minim tapi minta fasilitas melimpah.

Ujung dari kondisi ini adalah kerugian masyarakat. Sistem balancing politik tidak berjalan dengan baik. Legislatif tidak memberi pelajaran akal sehat dalam berpolitik, tapi justru sebagian orangnya sibuk mempertontonkan oposisi yang sakit. Asal kritik. Asal njeplak.

Di masa datang sepertinya pileg dan pilpres tidak lagi mesti dilakukan serentak. Meninggalnya ratusan orang karena kelelahan adalah pelajaran penting yang harus dipetik hikmahnya.

Yang membuat pemilu ini punya nilai minus adalah perilaku kontestannya yang membawa-bawa politik identitas untuk mencari kemenangan. Bukan hanya itu, cara oposisi merenggut simpati dengan berbagai informasi palsu juga memuakkan. Rakyat dibuai dengan kebohongan dan hoaks. Rakyat ditipu dengan slogan agama.

Sialnya mereka berhasil. Jika mengamati peta perolehan suara, tampak sekali bahwa politik identitas dan kebohongan jauh lebih efektif bekerja, ketimbang tawaran program kerja.

Isu agama akan membawa dampak renggangnya ikatan masyarakat. Politik etnis akan menciptakan jurang. Padahal Indonesia adalah bangsa yang plural. Bangsa yang terdiri dari banyak suku bangsa dan agama. Hanya politisi bodoh saja yang ngotot memainkan politik agama untuk meraih kekuasaan.

Selain pada teknis pemilu, tampaknya bangsa ini punya PR besar untuk memerangi siapa saja yang menggunakan politik identitas secara kebablasan. Perlu ada aturan lebih serius untuk memadamkan api perpecahan yang mulai dipercikkan. Perlu ada komitman nasional bahwa memainkan politik agama sama saja membuka jalan untuk menghancurkan Indonesia.

*Penulis adalah Pegiat Media Sosial

Baca juga:

Berita terkait
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.